Aku tidak bisa masak. Tidak punya hasrat untuk belajar memasak. Bahkan sepertinya aku benci masak. Mencium bau bumbu bikin perutku mual. Aroma bawang bombay bikin aku fertigo. Aku lebih suka memilih bau darah atau antiseptik daripada bumbu rempah yang mentah.
Dan sebagai dokter umum di dua rumah sakit berbeda, aku tidak punya waktu untuk memasak. Urusan dapur aku serahkan pada asisten rumah tanggaku. Lagipula, zaman sekarang segalanya serba online, aku tinggal pesan makanan di aplikasi nanti dikirim kurir. Atau stok Frozen food di kulkas, nanti tinggal panasin. Simpel!
Jadi, ketika ibu menelepon dan bilang dia mau mencicipi masakan buatanku, rasanya seakan disambar petir. Roda dunia seperti berhenti berputar. Tumben ibu minta aku masak, padahal ibu tahu anaknya ini tidak bisa masak. Ugh! Aku bahkan menawarinya untuk makan di restoran terenak dan termahal di kota, tapi ibu tidak mau. “Harus masakan Tantri,” begitu katanya. Ugh!
—
“Morning, babe!” sapa suamiku yang masih mengenakan piyama bergarisnya. Ia memonyongkan bibirnya, meminta jatah kecupan paginya. Aku yang sedang menuangkan kopi ke cangkir, berhenti sejenak untuk menghampiri Lutfi dan mengecup bibirnya. “Pagi,”
“Hari ini kau dapat cuti?” “Ugh! I wish. Beres kumpul di rumah ibu, aku harus masuk ke RSUD. Ada jadwal jam 4 sore ini” “Terus, kau mau masak apa buat ibu?” tanya Lutfi sambil menyesap kopi hitam tanpa gulanya yang masih panas.
Aku membuka kulkas, kepalaku melongok, melihat-lihat stok makanan yang ada dalam freezer. “Aku mau bikin masakan paling simpel. Sop ayam.” Lutfi menyeringai, tahu persis kebencianku pada bumbu mentah. “Kau tahu, supaya sop enak harus pake bawang, ba–” “Stop! Jangan diteruskan. Aku mau bikin sop ayam versi Tantri. Cukup pake kaldu, garam dan merica.” Aku membuka laci di meja dapur, mencari bahan masakan. Lalu membuka laci di sebelahnya, lalu lemari atas. “Dan kau seharusnya membantuku.”
“Sori babe, ibu mintanya kamu yang masak.” “Ugh! Aku bahkan tidak tahu di mana wadah garam!” Jeritku setengah membanting pintu laci. Dan Lutfi, suamiku yang menyebalkan dan saat ini tidak bisa diandalkan. Tertawa terbahak-bahak.
—
Kembali ke rumah masa kecilku selalu menyenangkan. Di komplek ini semua rumah terbuka dengan rerumputan di halaman tanpa pagar pembatas. Hilir mudik dan sapaan para penghuninya selalu hangat.
Dengan termos makanan di tangan serta tas yang mengapit di bahuku, aku melangkah riang ke dalam rumah ibu. Lutfi dan Aksan, putraku yang berumur lima tahun, mengekor di belakang dengan bawaan mereka.
Aku mendapati ibu dan mbak Tita kakakku sedang bercakap-cakap serius. Sementara suami mbak Tita dan tiga orang anaknya sudah sibuk menyendoki makanan di meja makan. Seketika semuanya saling melempar salam.
“Bu, dengan makanan sebanyak ini di meja, ibu masih menyuruh aku masak? Itu siksaan!” ucapku seraya memeluk erat ibu. “Kalau tidak begitu, kamu tidak akan pernah masak.” balas ibu dengan tawa kecil.
“Hey, ibu kok tampak pucat?” Aku memperhatikan wajah ibu, yang walaupun senyum menghias bibirnya, tampak kelelahan dari balik sorot matanya. “Ibu pucat karena takut keracunan masakan kamu,” sambar mbak Tita. Aku balas dengan menjulurkan lidah.
“Serius, ibu kenapa? Hasil tes biopsi sudah keluar?” Ibu mengambil mangkok dan mulai menyinduki sop ayam bawaanku. “Nanti kita bicara, sekarang ibu mau nyobain masakan kamu.”
Sesaat ibu memandangi semangkok sop ayam di hadapannya, matanya berbinar seakan mengagumi keindahan dan keharuman sop ayam itu. Dan saat ibu mulai menyuap sesendok sop ke mulutnya, mata ibu terpejam, sebulir air mata mengalir dari ujung matanya. “Ugh, seburuk itukah rasanya?” Ibu membuka matanya dan tersenyum, “Ini enak, ibu jadi ingat waktu kamu kecil, saat kamu flu, cuma sop seperti ini yang kamu mau makan.”
Selesai makan, setelah cuci-cuci piring, semua pasukan berpencar. Anak-anak keluar main bola di halaman, para suami duduk minum kopi di teras. Dan para perempuan berkumpul di kamar ibu. Aku menghempaskan pantat, duduk di ranjang ibu. Mbak Tita duduk di kursi dekat jendela. Sementara ibu membuka lemari dan mengeluarkan map dengan logo rumah sakit. Insting dokterku langsung siaga.
Ibu menyerahkan map itu padaku dan dengan segera aku memeriksa lembaran evaluasi tahunan yang berisi hasil tes biopsi, radiologi dan MRI. Mataku membesar melihat data yang tertera. Air mata mulai menggenang di kelopak mata.
“Kata dokter Anton, kanker ibu kambuh. Sekarang masuk stadium 4.” Ibu duduk di sebelahku. Tangannya merengkuh bahuku. “Dan sebelum kamu memberikan harapan atau rencana pengobatan, ibu sudah memutuskan untuk tidak menjalani kemoterapi lagi. Ibu mau melewati sisa hidup tanpa obat-obatan atau mesin yang justru membuat ibu sengsara.” “Tapi ibu gak boleh menyerah, dengan kemo ibu bisa sembuh lagi.” “Tantri, sebagai dokter kamu tahu persis peluang hidup ibu sangat tipis. Dan kali ini ibu hanya mau menjalani sisa hidup dengan normal bersama keluarga tercinta.”
Aku melirik ke arah mbak Tita, sorot mataku penuh pengharapan agar mbak Tita bisa meyakinkan ibu untuk menjalani pengobatan lagi.
“Mbak Tita …” Wajah mbak Tita tampak merah, matanya juga berkaca-kaca. Tapi ia selalu lebih tegar dari aku. “Mbak udah berusaha membujuk ibu untuk kemoterapi lagi. Tapi keputusan ibu sudah bulat. Kita gak bisa maksain–”
Mbak Tita berdiri dan mendekati ibu. Tangan kanannya melingkari bahu ibu sedangkan yang sebelah lagi merengkuh badanku. Kami bertiga berpelukan.
Aku menyembunyikan wajahku yang memerah dan basah oleh air mata di dada ibu. Memeluknya dengan erat, tidak ingin melepasnya, tidak rela untuk melepasnya. “Ibu …”
Cerpen Karangan: Yayah Uyah Facebook: Siti Nuryah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com