Pagi ini dan memang setiap paginya, ayahku selalu mengantarkanku dan adikku, Rafa, ke sekolah dengan motor butut kebanggaanya. Setiap aku bertanya kenapa ayah tidak membeli motor yang baru, ayah selalu bilang, bahwa motor ini masih bisa digunakan dan tentunya biaya sekolahku jauh lebih penting. Ayahku adalah orang yang selalu mendukung dan memotivasiku untuk menjadi yang terbaik di sekolah. Apapun yang aku butuhkan menyangkut pendidikanku, ayah tidak pernah mengabaikannya. Bagi kedua orangtuaku, pendidikan bagi anak-anaknya sangatlah penting. Pernah suatu ketika ayah berkata bahwa dia memiliki harapan besar agar aku dan adikku bisa mengenyam pendidikan yang tinggi serta menjadi orang yang sukses kelak, tidak seperti halnya dirinya dan ibuku.
“Udah sampai!” Kata ayah seraya menghentikan motor kebanggaannya tepat di depan pintu gerbang sekolahku. Aku bergegas turun dan meraih tangan ayah serta mencium punggung tangannya. “Nara masuk dulu ya, yah” Pamitku sedikit terburu-buru karena pagi ini aku piket kelas. “Nanti ayah jemput ga, Ra?” Tanya ayah yang jaraknya sudah agak jauh dariku, karena aku sedikit berlari meninggalkannya menuju gerbang. “Ga usah yah, Nara naik angkot aja!” Aku sedikit mengeraskan suaraku agar memperjelas perkataanku di pagi yang cukup bising itu. Sepertinya ayah mendengarku, karena seketika itu ayah menyatukan jempol dan telunjuknya, mengisyaratkan ‘ok’. Kemudian, memacu motor kesayangannya lagi untuk mengantar Rafa ke sekolahnya.
Aku kini duduk di bangku kelas XII, sedangkan adikku duduk di kelas VIII. Letak sekolah kami cukup berjauhan. Sehingga ayah harus mengantar kami pagi-pagi sekali. Ayahku bekerja sebagai tukang ojek. Setelah mengantarkanku dan adikku, barulah ayah bekerja. ibuku adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Kami membuka sebuah warung Kecil tepat di samping rumah. Ibuku membantu perekonomian kami dengan berjualan di warung Kecil tersebut.
Tugas piketku telah selesai. Sebentar lagi bel masuk berbunyi. Sambil menunggu bel, Aku duduk sejenak di bangkuku. Aku merasakan beberapa hari ini badanku sangat lelah. Mungkin aktivitas sekolahku yang cukup menyita waktu dan energi. Terkadang aku merasakan sakit kepala yang cukup mengganggu, terlebih ketika aku mengikuti pembelajaran di sekolah.
Bel berbunyi. Semua siswa menuju bangkunya masing-masing dan siap menerima pembelajaran pagi ini. Turut juga seorang remaja perempuan berkulit coklat dan berambut ikal meletakkan tubuhnya di bangku tepat disampingku. Aku memanggilnya Eva. Ia sahabat dan sekaligus teman sebangkuku. Ibu Mia, wali kelas kami yang akan mengajar pagi ini.
“Nara! Hidungmu berdarah!” Tiba-tiba saja Eva mengejutkanku dan seisi kelas dengan suaranya yang terdengar cukup keras dan bercampur kepanikan. Segera ia mengambil tisu dari salah satu kantong tasnya dan memberikannya padaku. Aku menyeka hidungku. Tampak darah segar telah membuat tisu tersebut menjadi merah. “Kamu tidak apa-apa, Ra?” Tanya bu Mia padaku seraya mendekatiku dan memegang bahuku. Nampak ada kekhawatiran di raut wajahnya. “Saya tidak apa-apa, bu” Kataku. Walaupun sebenarnya aku pun merasa bahwa aku memang sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. “Sebaiknya kamu ke UKS aja ya, Ra” Saran bu Mia padaku. Sepertinya aku memang butuh istirahat sejenak, karena pusing ini cukup menggangguku sekarang. “Iya bu” Kataku sambil berdiri dari bangku untuk menuju ke UKS. Baru beberapa langkah aku meninggalkan mejaku, tiba-tiba kepalaku semakin berat dan kakiku terasa susah untuk digerakkan. Seketika pandanganku kosong dan gelap. Aku tidak tau apa yang terjadi setelahnya.
Ketika aku terbangun, aku sudah berada di ruang UKS. Ada Eva dan juga bu Mia disana. Sepertinya suara gaduh dan ributnya siswa sudah tidak terdengar lagi. “Bagaimana keadaanmu, Ra?” Tanya bu Mia sambil menyodorkan segelas air putih padaku. “Aku sudah merasa agak mendingan bu” Jawabku agak lemah. Kuraih gelas berisi air putih yang diberikan bu Mia padaku. Ku minum beberapa tegukan, dan seketika air segar itu menyejukkan kerongkonganku. “Ibu sudah meminta Eva untuk mengantarmu pulang.” Ucap bu Mia. Nampak di wajahnya masih Ada kekhawatiran. Aku hanya menganggukkan Kepala. Ya, hari itu aku diantar Eva pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Eva menceritakan semuanya pada ibu. Tidak lama setelah itu Eva pamit pulang dan memberikan aku semangat untuk segera sembuh. Aku hanya mengangguk pelan dan tersenyum seraya mengucapkan terima kasih padanya. Ibu mengantar Eva hingga pintu depan dan juga turut mengucapkan terima kasih pada Eva.
Tiga hari lamanya aku harus berada di rumah untuk memulihkan diri dan tidak mengikuti pembelajaran di sekolah. Meski sudah tiga hari berada di rumah, tetapi tetap saja aku merasa tubuhku lemah. Terkadang aku merasa mual dan tidak nafsu makan. Selama aku sakit, ibu dengan sabarnya merawatku sambil melakukan pekerjaan rumah seperti biasanya. Adik dan ayahku memberikan semangat padaku agar aku cepat sembuh. Setelah tiga hari berlalu, aku mengumpulkan semangatku untuk bersekolah kembali.
“Ra, bagaimana keadaanmu? Apa kamu sudah baikan?” Eva menanyakan keadaanku sambil mengerutkan keningnya meminta kepastianku. “Iya, Va. Aku udah merasa baikan kok” Jawabku pada Eva. “Wajahmu tampak pucat, Ra. Kenapa kamu memaksakan diri untuk bersekolah?” “Aku merindukanmu, Va. Lagian aku takut kamu kesepian tanpa aku, Va?” Jawabku sekenanya sambil melirik dan tersenyum tipis ke arah Eva. “Nara… Nara! Aku serius, malah bercanda!” Eva langsung menyilangkan tangannya mengisaratkan sedikit kesal. Aku semakin tertawa melihatnya.
Tidak lama pembelajaran pun dimulai. Bu Mia mengajarkan tentang sel pagi ini. Pembelajaran berlangsung seperti biasanya. Setiap harinya aku melaksanakan kegiatanku seperti biasanya. Tapi dengan energi yang sangat berbeda. Dan aku merasa sangat lelah.
Keesokan di pagi harinya ketika mematut diri di depan cermin, aku menyaksikan tulang di kedua pipi wajahku semakin menonjol. Aku kemudian menimbang berat badanku. Aku sedikit terkejut dengan berat badanku saat ini. Nafsu makanku hilang beberapa hari ini. Aku duduk sesaat di ranjangku yang bernuansa putih, ditemani sebuah boneka kucing kesayanganku. Kuraih boneka itu, kemudian kudekap. Kupandangi foto keluarga kecilku yang terpampang di atas meja belajarku. Terlukis kebahagiaan disana. Orang-orang yang kucintai.
“Ra!” Ayah memanggilku. Pertanda waktunya berangkat ke sekolah. “Iya, yah!” Segera kuletakkan boneka kucingku disamping bantal putihku dan segera meraih tasku menemui ayah. “Ra, kamu pucat sekali, nak” Ibu memandang wajahku. Ayah turut mengamatiku. “Nara ga apa-apa kok, bu. Nara baik-baik aja.” Kataku agar ibu tidak khawatir. “Ayo, Yah! Nanti Nara terlambat ke sekolah.” Pintaku pada ayah.
Selama perjalanan ke sekolah, rasanya pusing kepalaku semakin menjadi. Pusing yang kualami semakin tidak tertahan. Aku berusaha sekuat tenaga memegang pinggang ayah agar tidak terjatuh. Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku benar-benar sudah tidak kuat. Rasanya tubuhku lunglai, kepalaku sangat pusing, ada yang mengalir dari hidungku dan segera kuseka dengan tanganku. Aku sedikit terkejut dengan apa yang ada di tanganku. “Yaah, darah.” Kataku pada ayah sambil memandang darah merah pada tanganku tersebut. Seketika itu pandanganku gelap dan sayup-sayup aku mendengar suara ayahku yang memanggil namaku dengan panik. “Ra, bertahan Nak.” Ayah kemudian memegangku agar tak terjatuh. Kemudian aku tak mendengar apa-apa lagi.
Kubuka mataku, dan kulihat sekelilingku. Sepertnya aku berada di sebuah ruangan di sebuah rumah sakit. Disana nampak ibuku yang sedang duduk disisiku sambil menangis. Ayahku mencoba menenangkan ibu. Terlihat pula adikku Rafa yang sedang berdiri memandangku. Tatapan mereka terhadapku penuh kekhawatiran. “Bu, ibu kenapa menangis?” Tanyaku. Aku kebingungan. Apa sebenarnya yang terjadi? Ada apa denganku? Semua pertanyaan itu memenuhi benakku. Ibu semakin sedih dengan pertanyaanku itu. Dan itu menambah kebingunganku. “Ayah, kalian kenapa menatapku begitu? Aku kenapa?” Aku kembali bertanya pada ayah. Tidak jauh berbeda dari ibu, ayah pun tidak menjawab pertanyaaku. “Nara, sebaiknya kamu istirahat dulu aja ya. Nara harus banyak istirahat biar cepat pulih.” Kata ayah sembari menghapiriku dan mengusap-usap rambutku. Aku pun mencoba menuruti perkataan ayah. Tubuhku memang masih lemah. Sepertinya aku butuh tidur. Aku berharap cepat keluar dari rumah sakit ini. Aku tidak menyukai aromanya, bau obat yang menyengat membuat ku tak nyaman.
Esok harinya, bu Mia dan beberapa temanku yang lain menjengukku di rumah sakit. Tidak ketingglan Eva juga ikut serta. Mereka memberiku semangat dan motivasi agar cepat sembuh. Aku harap secepatnya aku bisa bersekolah lagi dan bersenda gurau dengan mereka. Dua jam lamanya mereka menemaniku, dan kemudian bu Mia dan teman-teman pamit pulang. Sekarang aku kembali sepi. Tapi tidak apa-apa, aku cuma sebentar saja di rumah sakit ini. Pikirku.
Beberapa hari di rumah sakit, aku merasa tubuhku semakin lemah. Pusing dan mual menjadi-jadi. Lagi-lagi aku mimisan. Kali ini darah yang mengucur semakin banyak. Tubuhku lemas, seakan semua tenagaku tiba-tiba menghilang. “Ibuuuu…” Aku memanggil ibu dengan suara lemah. Ibu segera menghampiriku. “Suster… Suster!!” Ibu sedikit berteriak memanggil Suster. Tidak lama suster pun datang. Suster tersebut melakukan tugasnya. Suster juga membantu membersihkan dan berusaha menghentikan darah yang mengalir dari hidungku. Aku terkulai lemah di ranjangku. Sambil berbaring, aku bertanya pada suster “Suster, apakah penyakitku parah?” Suster kemudian memandang pada ibu. Ibu tidak memberikan satu kata pun. Hal ini membuatku semakin bertanya-tanya. Ada apa denganku? Selesai melaksanakan tugasnya, suster tersebut keluar ruangan.
Setelah suster berlalu, aku menoleh dan menatap ibu dengan penuh rasa ingin tahu, aku kenapa? Ibu menggenggam erat tanganku. Ingin aku berteriak rasanya, kenapa mereka diam. Aku berhak tau tentang kondisiku saat ini. “Ibu??!” Ada air mata mengalir di pipiku. “Tolong jawab, bu. Nara sebenarnya kenapa? Apa penyakit Nara parah, bu? Tolong kasih tau Nara?” Pintaku sambil membalas pegangan erat ibuku. Sambil menangis, ibu bilang padaku “Ra, kamu mengidap leukemia akut” Usai mengucapkan kalimat itu, tubuh ibu bergetar. Ia mencoba menahan tangisnya. Tapi itu sia-sia. Aku pun terkejut mendengarnya. Seketika aku tidak mempercayai ini semua. Akankan semuanya usai? Apakah aku akan mati? Aku akan meninggalkan orang-orang yang aku sayang? Secepat inikah aku…
Cerpen Karangan: Jum’at Tuniah Blog / Facebook: Jum’at Tuniah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com