Aku membisu dan terpaku. Air mataku berderai tak berhenti. Ibu menangis sejadi-jadinya, kemudian berdiri di samping ranjangku dan meraih pundakku, memelukku. “Sayang, yang sabar ya. Kuatkan dirimu.” Terdengar suara ibu di telingaku seperti setengah berbisik.
Dokter menyarankan untuk melakukan kemoterapi. Seketika itu, aku membayangkan biaya yang ditanggung untuk pengobatan ini. Aku benar-benar serasa runtuh. Terbayang seketika wajah ibu dan ayah. Aliran air mataku kembali membanjiri pipiku. “Nara ga usah khawatir, ayah akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari biaya pengobatan Nara.” Ayah mencoba menenangkanku sambil menyentuh bahuku. Ayah… Ucapan itu hanya bisa kuucapkan di hati karena bibirku sudah tak sanggup lagi berkata apa-apa. Aku tahu, ayah memikul beban yang sangat berat.
Eva datang membawa sekeranjang buah dan meletakkannya di atas meja di samping ranjangku. “Hai, Nara!” Ucap Eva, sambil memelukku. Aku membalas pelukannya. Kemudian Eva melepaskannya dan melemparkan senyuman padaku. “Nara kok sedih? Kamu ga senang ya aku datang?” Katanya cemberut. Aku tersenyum padanya. “Ya ga lah, Va. Aku senang kamu ke sini, apa lagi bawa buah banyak. Kan aku suka. Serin-seringlah datang. Bawa buah tangan yang banyak.” Candaku. “Tadi sih mau bawa tokonya sekalian” Timpalnya. Aku tersenyum lagi. Sejenak kami terdiam. Terlihat Eva memandangku dengan iba.
“Ra, wajahmu pucat sekali. Kamu terlihat kurus, Ra. Ayolah makan yang banyak, biar berat badanmu balik lagi. Cepat sembuh, biar kita bisa bareng lagi di sekolah, Ra” Kata Eva memberikan saran padaku. “Sembuh?… Aku ingin, Va… Tapi… ” Aku tidak melanjutkan kalimatku. “Tapi apa, Ra?” “Tapi.. Aku ga yakin, Va.” “Aku kena leukemia, Va” Jawabku. Mataku berkaca-kaca kembali. “Kamu bercanda kan, Ra?” Eva sambil memegang kedua pundakku. Tampak wajahnya terkejut dan tidak percaya. “Iya, Va. Aku serius” Seketika air mataku mengalir tak terbendung. Saat itu pula Eva memelukku. “Yang sabar ya, Ra. Kamu yang tenang. Kamu harus kuat. Kamu harus sembuh.” Eva masih memelukku dan mengusap punggungku mencoba menenangkanku.
Kemoterapi aku jalani. Obat-obatan yang ingin aku hindari kini menjadi bagian di setiap hariku. Ayah selalu kembali ketika hari sudah larut malam. Ayah mencari uang dari pagi hingga malam. Ibu menjagaku siang malam. Aku semakin tidak berdaya. Hari-hari kulewati di rumah sakit. Aku ingin pulang. Aku meminta ibu untuk pulang. Tapi ibu terlalu menghawatirkan keadaanku. Tapi keinginanku untuk pulang sangatlah besar.
Karena desakanku setiap hari, membuat ayah dan ibuku mengalah. Aku akan pulang ke rumah. Ibu mengemas semua barang-barangku. Dan tidak lama kemudian telah sampailah kami ke rumah yang aku rindukan. Setiba di rumah, aku langsung membuka pintu kamarku. Kamarku telah tertata tapi. Ibu yang merapikannya untukku. Boneka kucingku masih di sana, disamping bantal kesayanganku. Kuraih boneka kucingku, dan kudekap. Aku duduk di meja belajarku. Lama aku tidak berada di sana. Aku rindu dengan segala aktivitasku.
Pandanganku tertuju pada sebuah buku catatan yang tergeletak di pojok meja belajarku. Kuambil buku itu, kemudian aku buka. Terlihat catatan-catatan harianku yang tertulis dengan rapi. Teringat kembali akan masa-masa indahku yang aku goreskan di tiap lembarnya. Aku terus membuka lembar demi lembar catatan itu, hingga aku pada akhirnya berada pada lembaran yang masih kosong. Kuambil sebuah pena dan aku mulai menulis pada lembaran kosong tersebut.
Malam ini kali pertama kami makan di meja makan bersama di rumah yang aku rindukan. Kulihat ayah mencoba bersikap biasa saja. Walaupun aku tahu sebenarnya ayah mencoba agar aku tidak terlalu sedih dengan keadaanku sekarang. Ayah mencoba agar aku tetap kuat. Ibu kali ini memasak hidangan kesukaanku. Kami pun berdoa bersama sebelum memulai untuk makan. Setelah berdoa, aku mengambil sendokku dan mulai menyendoki makananku ke mulut. Hening, hanya bunyi sendok yang beradu dengan piring yang terdengar.
Kupandangi satu per satu dari mereka yang ada di hadapanku. Mulai adikku Rafa. Aku berharap kelak ia bisa menjadi seseorang yang bisa diandalkan dalam keluarga ini. Menjadi kebanggaan keluarga dan juga bisa menjaga ayah dan ibu. Sambil memasukkan sendok ke mulutku, aku kembali memandang ibu. Kulihat wajah sedihnya yang sekuat tenaga ia sembunyikan. Ibu adalah wanita sabar dan penyayang. Bagiku ibu adalah sosok hebat. Aku bersyukur pada Tuhan telah mengirimku ke dunia melalui wanita hebat ini. Aku terasa haus, kuraih segelas air yang telah tersedia. Kuteguk perlahan dan kini aku menatap ayah. Sesaat aku teringat akan masa kecilku yang selalu ditemani ayah ketika bermain dan bersenda gurau. Ayah selalu menyempatkan waktunya untukku. Mengajarkanku bersepeda, menemaniku bermain, mengantarkanku ke sekolah dan juga menjemputku dari sekolah, mengambilkan rapor untukku, memberikan semangat ketika aku lemah, mendukungku ketika aku terpuruk, menghiburku ketika aku bersedih. Tapi aku belum bisa memberikan yang terbaik untukmu ayah. Mataku kini mulai berkaca-kaca lagi. Kupercepat makanku. Aku takut kalau mereka melihatku bersedih lagi. Mereka tidak boleh ikut bersedih lagi. Cukup aku saja. Aku ingin mereka bisa tersenyum dan bahagia lagi.
Malam ini aku sudah tidur di kamarku. Sebelum tidur aku meraih buku catatan harianku di meja. Di buku itu lah aku menulis semua rasaku, hariku, apa pun yang ingin aku tuliskan tentang diriku. Setelah itu kulanjutkan dengan tidur. Kutarik selimutku, kupadamkan lampu kamarku dan kupejamkan mataku.
Hari-hari berlalu begitu cepatnya, sampai pada suatu pagi yang cerah. Aku terbangun mendengar suara merdu kicauan burung kala itu. Kemudian aku membuka jendela kamarku. Ibu sengaja tidak membangunkanku di pagi itu. Ayah sudah berangkat dengan motor kesayangannya untuk mengantar Rafa ke sekolah. Kupandangi suasana pagi di luar melalui jendela kamarku. Kuhirup dalam-dalam udara segar pagi ini. Berharap setiap hari ke depannya aku masih bisa merasakannya.
Kujalani hari seperti biasanya. Beraktivitas semampuku, karena sebagian besar tenagaku seakan menghilang begitu saja. Obat-obat yang begitu banyaknya selalu aku konsumsi setiap harinya. Kini rambutku juga telah rontok. Aku masih berharap bisa sembuh dari sakitku ini. Walaupun aku tidak begitu yakin.
Aku berniat pergi ke kamar mandi. Pikirku mungkin segar jika mandi sekarang. Baru aku ingin mengambil handuk, tiba-tiba kepalaku sangat sakit. Darah kembali keluar dari hidungku. Seketika itu aku terjatuh dan aku tidak sadarkan diri.
Aku terbangun, dan lagi-lagi aku terbaring di rumah sakit. Kali ini aku semakin tak berdaya. Aku kini pasrah pada Tuhan jika ia ingin mengambilku. Aku telah ikhlas jika Tuhan telah memilihkan waktu untukku menghadapNya. Dan tiba waktunya…
Di hari itu, adalah saat dimana Tuhan akan memanggilku. Cuaca hujan rintik ketika itu. Semua keluargaku berkumpul mengelilingiku, bahkan bu Mia Dan Eva pun datang. Aku mengucapkan permintaan maaf pada semua orang yang ada pada waktu itu dengan mengandalkan sisa tenaga yang aku miliki. Ibuku berderai air mata, kulihat ayahku pasrah. Walaupun ku tahu betapa hancur hatinya. Maaf kan aku ayah. Tubuhku semakin lemah, mataku kini tak kuat kubuka. Setelah itu aku hanya merasakan gelap. Suara tangis yang pecah disertai dengan memanggil namaku berangsur-angsur terdengar memelan dan setelah itu menghilang.
Pagi itu, setelah beberapa hari seusai pemakaman, Eva mengunjungi rumah Nara. Perlahan ia mengetuk pintu. Tidak lama seorang ibu membukakan pintu dan Eva disambut dengan ramah. Eva ingin menyerahkan catatan harian milik Nara. Sebelum meninggal, Nara meminta Eva untuk menyerahkannya kepada ayahnya. Eva mengeluarkan buku catatan itu dari dalam tas kecilnya. Ibu itu memanggil suaminya yang kemudian laki-laki itu ikut bergabung duduk di sofa bersama Eva dan ibu Nara. Laki-laki itu adalah ayah Nara. Eva menyerahkan buku harian itu kepada ayah Nara. Ayah Nara membuka selembar demi selembar buku tersebut. Bahunya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. Tangannya masih membuka lembar demi lembar, sampai pada akhirnya ia pada lembar paling akhir. Dalam hati ia mulai membacanya.
Surat cinta untuk ayah
Dia… Seorang lelaki sabar yang selalu memikul tanggungjawab besar Lelaki yang tidak pernah mengeluh, bahkan selalu menguatkanku Lelaki yang tidak pernah menangis di depanku, meski ia terluka hebat Lelaki yang berusaha tersenyum padaku, meski aku tahu hatinya teriris. Lelaki yang selalu membuatku belajar tentang banyak hal, bahkan tentang cinta Seorang lelaki yang kucintai sampai ke relung hatiku hingga di akhir hidupku. Lelaki sederhana… Lelaki terhebat… Dia adalah ayahku… Nara mencintaimu… Ayah. Maafkan Nara…
Ayah tidak Perlu khawatirkan Nara lagi. Jika Nara dipanggil Tuhan suatu saat nanti. Nara siap, karena Nara ga akan merasakan sakit lagi. Nara sudah sangat bahagia dengan apa yang Nara terima dalam hidup Nara. Menangislah jika ayah ingin, mengeluh lah jika ayah perlu, ceritakanlah semuanya. Karena Nara, Rafa Dan ibu akan selalu tetap mencintai ayah apa Adanya.
Anakmu, Nara
Seketika bahu ayah Nara berguncang hebat, air matanya mengalir tak terbendung. Tangannya memegang dengan kuat buku catatan yang ada di pangkuannya. Sesekali ia menyeka air matanya yang mengalir. Tampak kesedihan yang amat dalam dari wajahnya. Ibu Nara Dan Eva mencoba menenangkannya dan menguatkannya.
Pagi itu, suara-suara merdu kicauan burung itu masih terdengar, dan udara segar yang berhembus pun masih sama.
Cerpen Karangan: Jum’at Tuniah Blog / Facebook: Jum’at Tuniah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com