Kebengisan dan keego-an akan selalu menjadi tameng pembela atas perbuatan yang jelas keliru juga sangat nyata salahnya. Memang tak akan pernah—orang jahat sekalipun di mana pun mau dilabeli dengan label “jelek”, padahal sudah sangat jelas jelek.
Pertanyaannya yang biasanya berputar kira-kira di, “mengapa menyesal, ini kan sudah jalan pilihanmu?” “Memang dari awal enggak mikir dulu sebelum milih jalan yang bakal ditempuh?” “Kalau udah sejauh ini, mau ke mana?”
Itulah sebuah kenyataan kalau manusia memang berpotensi lebih bengis dari binatang terbuas sekalipun. Kalau saja manusia tahu hari esok apa yang pasti terjadi pada dirinya, tentu “kegagalan dan pembelajaran” tak akan pernah terangkum dalam sebuah disipilin ilmu dari sekian banyak ilmu.
Bu Pendus baru merasa bersalah dan mengakui kalau dirinya adalah bengis, lantaran telah membuang anaknya dengan cara yang dia anggap halus. Sehalus apa pun itu tetap saja bangsat!
Label “kegagalan” yang diucapkan manusia hanyalah sempalan sampah busuk, lebih-lebih ketika label kegagalan yang dipaksa sematkan terhadap para pendukung kebenaran yang bukan hanya omong kosong, tapi tindakan nyata.
Tetapi … Jangila yang makin hari makin tumbuh dewasa, terbesit keinginan di hatinya untuk membantu orangtua kandungnya dengan bekerja paruh waktu, tentu yang berat adalah mewujudkan keinginan itu, kalau tidak, bakal “rencana forever”
Malam itu semua diakuinya, dari kesalahan; pada suami, anak, tetangga, dan masyarakat luas. Ingin memperbaiki kebobrokan hidup, tapi dirinya sudah merasa terlalu nyaman hidup dalam kebobrokan.
Bu Pendus, malam itu, sangat mengakui kalau dirinya jelek, bau, pemalas dan juga pembangkangkang, tetapi semua itu hanya pengakuan palsu, karena dirinya sendiri saja sudah biasa dia tipu apa lagi orang lain.
Pak Pema lah yang makin hari makin mengalami perubahan, yang tadinya suka mabuk, kini perlahan dia tinggalkan, meski sesekali ada rasa ingin meneguk minuman keras itu walau hanya setetes.
Bahkan dengan wajah jelek dan tuanya itu pun tak juga membuat Bu Pendus sadar diri, yang ada tetap memaksakan keyakinan selalu ada proses perubahan ke arah wajah cantik dan muda lagi, seperti bermimpi berenang di tengah padang pasir di matahari yang terik.
Kejelekan wajah Jangila pun tak juga membuatnya sadar, padahal seharusnya itu sudah sangat cukup, karena wajah Bu Pendus sangat terbiaskan ke Jangila yang sekarang, sifatnya pun tak jauh berbeda, sangat dekat.
Jangila ingin hidup penuh dengan fasilitas seperti artis, tak peduli muka hancur bagai tong sampah, bukan etika yang diperbaiki, malah wajah yang lebih dulu dipikirkan. Cantik kurang ajar mending, ini udah jelek kurang ajar, najis!
Pak Pema sebenarnya sedih bercampur muak dengan perilaku istrinya, yang sudah jelek tapi gaya hidupnya macam selebgram, ingin dia menggugat cerai tetapi biaya untuk itu tak pernah mencukupi. Bagai penjara siksaan seumur hidup. Hidup bersama wanita jelek muka tua yang gaya hidupnya sok-sokan meniru artis-artis, makan mau serba mewah dan enak padahal mulut dan badannya saja bau banget.
Malam itu terasa menyentuh hati Bu Pendus. Tetapi itu hanya menyentuh dan tak mengubah perilaku busuknya. Hati busuk, pikiran busuk, tindakan busuk bersampah-sampah, itulah fase kerusakan sesungguhnya.
Kebenaran akan selalu dimanipulasi, selama kebenaran itu tak memihak ke dirinya, akan dimanipulasi sekuat tenaga, tak peduli walau taruhannya harga diri (merasa tak dilihat oleh Penguasa alam semesta). Semuanya … Harus berjalan sesuai intuisinya. Jika tidak akan marah-marah sampai ke penghujung dunia sekalipun. Sering sekali marah dan menyalahkan banyak hal yang tak sejalan dengannya.
Entah atas dasar apa sekarang … Orang-orang yang dulunya terkenal santun dan ramah, kini berubah menjadi berang nan garang, tak mau kalah, harus selalu menang, mendengarkan ucapannya saja membuat sesak.
Beramai-ramai tapi terasingkan, tak ada lagi rasa keramaian yang seutuhnya, ketika sendiri, malah kondisi itulah yang menghadirkan rasa ramai yang seutuhnya. Dunia berubah menuju kehancurannya.
Sedang manusia berubah karena kerakusan dan ambisi yang tak pernah surut akan dunia ini, meski dikejar sekuat tenaga sekalipun, dunia tak akan pernah terkejar, akan selalu berubah bentuk sesuai dengan apa-apa yang sedang ramai dikerubungi orang banyak.
Pagi pun datang … Bu Pendus masih tertidur pulas … Begitu juga Pak Pema … Hanya Jangila yang bangun, dia sudah mandi, lalu sesekali menatap ke arah cahaya yang masuk ke rumahnya.
“Begini kah kehidupan itu—?” Tanyanya dalam hati. Kedua tangannya saling bertautan. “Keras juga, tapi, sebenarnya mengasyikan, itu pun kalau bersyukur sih, heumf—.” Kemudian Jangila menunduk cukup lama, sedang cahaya matahari yang masuk dari celah-celah ventilasi semakin banyak.
Kilauan cahaya itu membuat Bu Pendus terusik tidurnya, dia pun mengucek-ngucek kedua matanya. “… Ngila … Udah bangun?” Tanyanya kemudian mengubah posisi telentang-nya ke duduk. “Pagi Jangila?” Dengan senyum orang baru bangun tidur. “Pagi Bu,” balas Jangila. “Bu,” kata Jangila. Kemudian Bu Pendus terhenti dari beberes alas tidurnya. “Ayah enggak kerja?” Tanyanya. Sambil tersenyum dan menggelengkan kepala, “Enggak Ngil, makanya bahagia banget hari ini, kita semua lengkap, ketika tidur pun tadi ruh kita pasti saling bertemu, berbincang ria, dan saling mengikat.”
Jangila tak tahu ini, basa-basi atau sungguhan ungkapan hatinya yang terdalam. Yang tersulit bagi wanita adalah “menemukan dirinya sendiri” sering kali terjebak pada suatu kemelut pilihan yang hanya ada pada diri sendiri.
Si Bu Pendus masih terbengong melihat Kilauan cahaya matahari yang telah masuk melalui celah-celah ventilasi rumahnya, terlihat dari cahaya itu beberapa debu terangkat, menjadi pemandangan menguras fokus mereka berdua.
Masing-masing dari mereka merasakan hal yang berbeda dari sebelumnya, seolah belum pernah merasakan hal itu. Si Pak Pema malah masih sibuk tertidur setelah sebelumnya bangun hanya untuk beberapa ritual sucinya.
“Meski aku sadar kalau aku harus segera bergabung dengan kedua orangtua kandungku, tetapi semua ini tetap saja berat dan tak semudah yang dipikirkan, mungkin juga tak mudah seperti yang orang lain kira, karena orang-orang hanya bisa mengomentari, sedang keseharian juga proses berat itu tak akan pernah mereka tau dan rasakan, huft! Jadi aku macet di sini ternyata.” Batin Jangila.
Begitu juga dengan alam belukar benaknya Bu Pendus. Naluri keibuannya tetap ada walaupun bajinga*, pendusta, pengkhianat dan seabrek sifat-sifat buruknya, tetap ada secercah percikan cahaya kebaikan yang ingin dilakukannya, tetapi—melangkag memang lebih sulit dari pada berpikir lalu melangkah.
Pak Pema, dia pun sebenarnya inginkan langsung tinggal bersama dengan Jangila dan istri super brengseknya, tetapi dia bukan lagi belum yakin, bahkan tak yakin bisa menafkahi jika Jangila ikut serta di rumah kontrakannya itu. Pelik dan menyuramkan. Maka dalam kesuraman itu Pak Pema lebih memilih diam, diam-diam dan terus berdoa sekaligus tetap coba mencari terobosan-terobosan yang bisa membawa kebaikan bagi Jangila dan Bu Pema.
RTD. Rabu 9 Februari 2022 halub© 22:12
Cerpen Karangan: halub Blog: huzur_yakindir.blogspot.com Saya halub dari Cileungsi, “Kehidupan dalam keluarga kerap terdapat kisah-kisah sulit dan menyulitkan bagi siapa pun yang mendengar, melihatnya. Jangan coba-coba mengomentari kalau bukan praktisi sejati, bahayo~.”
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com