“Hei, nanti aku bilangin mamamu lho, kalo kamu ngerok*k.” Aku berbalik sembari menghisap rok*k yang sedari tadi berada di tanganku. “Lho, emangnya kamu kenal sama mamaku?” “Aku kemarin kenalan kok, cuman sama anaknya doang yang belum”
Gadis berkacamata yang memiliki rambut medium short hair ini duduk disampingku. Ini pertama kalinya aku mengobrol kembali dengan perempuan selain Ibuku. Dan ini pertama kalinya juga aku bertemu dengan gadis ini, ibuku tak pernah menceritakan gadis ini kepadaku. Aku tak tahu bahwa gadis ini sudah berkenalan dengan ibuku.
“Oh iya, namaku Febi Rahayu. Kamu bisa panggil Febi aja.” “Emm.. Aku Bryan Rahardian. Panggil aja Bryan, ngomong-ngomong… Kenapa kamu keluar malam-malam begini?” “Aku lagi nyari udara segar, sumpek di kamar melulu. Tadinya mau sekalian ke minimarket, tapi aku lupa sekarang sudah jam setengah 12 malam, kurasa minimarket sudah pada tutup.” “Ahh.. Begitu ya, apa kamu ga akan dimarahi oleh orangtuamu kamu keluyuran tengah malem begini?” “Yahh.. Kalau mereka bangun ya pasti aku sudah dimarahi oleh mereka, toh mereka kalau sudah tidur pasti ga akan bangun tengah malam begini. Kamu sendiri ngapain disini sendirian? Ngerok*k pula, kamu kan masih anak sekolahan, emangnya ga dimarahin orangtuamu kalo kamu ketahuan ngerok*k?” “Kalaupun ketahuan aku ga akan dimarahi, toh mereka sudah ga peduli lagi padaku.” Gadis ini dengan lugunya bertanya… “Kok bisa? Aku lihat ibumu baik banget, lho. Kok bisa bisanya dia gak peduli sama kamu?”
Kedua orangtuaku sebenarnya jago banget berkamuflase. Di sekitar orang orang, mereka tak ingin kelihatan bahwa mereka punya masalah dikehidupan mereka, sehingga orang-orang menganggap bahwa keluarga kami sangat harmonis. Namun itu semua hanyalah omong kosong belaka. Ayahku tak pernah mempedulikanku sejak aku dilahirkan. Ayahku merupakan seorang pej*di yang sering kali menghabiskan uangnya secara singkat. Ayahku pernah ketahuan mencuri dana kantor untuk dia pakai berj*di. Dan akhirnya dia dipecat dan menjadi pemabuk berat. Tiap hari para debt collector mondar mandir di halaman rumah kami. Itu sungguh membebaniku.
Dan akhirnya ibuku lah yang harus kerja, meski caranya yang tidak halal. Aku tahu bahwa ibuku menjadi pelayan untuk para pria berhidung belang. Aku menemukan chat yang berasal dari para pria pria brengsek itu. Sungguh, jika kalian tanya apa aku sakit hati, aku merasa hancur sehancur-hancurnya. Melihat ibuku harus jadi pemuas hawa nafsu orang orang brengsek demi menafkahi keluarganya. Seakan-akan semuanya tak peduli lagi padaku. Ayahku sibuk mabuk dan ibuku sibuk menjadi ‘pelayan’. Jadi untuk menghindari stress, aku berlari ke rok*k. Rok*k ternyata bisa menghilangkan stress, sangat tak disangka.
Akhirnya, aku bercerita tentang keluargaku dan masalah keluargaku kepada gadis ini. Dia sungguh merupakan pendengar yang baik.
“Ternyata gak cuman aku aja yang punya masalah berat kayak kamu.” Katanya. “Hah?” tanyaku keheranan. “Yahh… Sebenarnya kedua orangtuaku ini ambisinya besar banget kepada anaknya. Aku dilarang melakukan ini-itu dan aku hanya hidup dengan belajar, belajar dan belajar. Aku sungguh muak dengan belajar. Namun aku tak punya pilihan lain selain menurut. Aku tak mau mengecewakan orangtuaku.”
Aku merenung, kurasa masalah kita berdua merupakan masalah yang sulit diatasi oleh remaja. Kami juga butuh perhatian dari orangtua kami. Namun ternyata kedua orangtua kami tak berniat untuk mengurus anak-anaknya.
“Kita cocok banget ya, hahaha.” Gadis itu tertawa, tawanya sangat manis. Hatiku yang tadinya sakit terasa seperti disembuhkan oleh tawanya. Kurasa aku harus menjaga senyumannya.
“Hei, nanti ajarin aku ngisep rok*k, dong!” “Lho, kok minta diajarin? Padahal tinggal diisep doang.” “Ya kan aku juga mau bikin asep bulet-bulet kaya kamu gitu.” “Dih, apaan sih?”
Kami berdua tertawa. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa sangat senang sekali. Mungkin sudah sejak lama saat pertama kalinya aku dibelikan mainan robot-robotan oleh ibuku saat aku masih kelas 2 SD.
“Ah, kurasa aku harus balik. Takutnya ibuku malah kebelet kencing terus sadar kalo anaknya udah gak ada di rumah.” “Yahh, sayang banget. Kenapa ga sampe subuh?” “Gila, kali. Mama-papaku suka bangun subuh-subuh. Abis itu bangunin anaknya cuman buat disuruh belajar lagi. Ntar kalo tau anaknya gak balik, pasti aku kena damprat abis-abisan.” “Ya sudah. Besok kesini lagi kan? Mau aku ajarin ngisep rok*k ga?” “Mau, mau. Malem ya, jam 12 kamu udah harus ada disini!” “Iya iya, apa sih yang enggak buat tuan puteri?” Tak kusangka ternyata gombalan receh itu bisa membuat muka Febi jadi mirip tomat.
“Muka kamu merah banget, udah kaya kepiting rebus.” “Aku belum pernah digombalin, tau!” Aku terkejut. Gadis secantik ini belum pernah digombalin oleh seorang cowok satupun. “Ternyata beneran jodoh, ya. Aku juga baru pertama kali nge-gombalin cewek.” “Serius?” Kami memutuskan untuk berbincang selama beberapa saat, hingga akhirnya kami berdua memutuskan pulang.
Setiap malam, kami selalu datang ke taman di tengah-tengah apartemen kami berdua. Kami selalu menikmati malam-malam itu. Terkadang aku membawa gitar, dan kami bernyanyi bersama. Kadang kadang, kami berdua belajar bersama di taman itu. Mengingat bahwa kami merupakan siswa kelas 12, dan kami juga diharuskan menempuh jalur kuliah seperti apa yang diharapkan oleh orangtua kami masing masing.
3 bulan berlalu, kami berdua sudah melewati masa ujian kelulusan. Setelah berusaha semaksimal mungkin, akhirnya aku menerima beasiswa di Amerika. Aku harus memberitahu hal ini kepada Febi, karena berkatnya nilai nilaiku jadi naik.
Aku datang lagi ke taman ini jam 12 malam, dan menunggunya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam, namun tak ada tanda tanda bahwa Febi akan datang malam ini, namun kurasa aku harus tetap menunggunya. Aku tak punya ponsel, jadi aku tak bisa menghubunginya. Aku terus menunggu. Hingga akhirnya ada seorang bapak bapak berjalan ke arahku. Aku tak tahu mengapa, tapi raut wajahnya begitu tidak mengenakkan. Dia seperti menyimpan amarahnya. Pria tua itu mendekatiku, lalu menamparku, kencang sekali.
Aku terkejut. Sambil memegang pipiku, aku mencoba untuk bangkit kembali.
“Dasar anak SIAL! Berani-beraninya kamu mendekati anakku, hah?! Kau sudah punya apa berani beraninya mendekati anakku?! Kau hanyalah seorang berandalan tak berguna! Kau sampah masyarakat, tak cocok untuk dekat dengan anakku! Bapakmu itu tukang j*di dan pemabuk, ibumu merupakan seorang PEL*CUR! Kau seharusnya tahu diri kalau mau mendekati anakku!!”
Kesabaranku sudah habis. Tanpa ba-bi-bu aku langsung meninju muka pak tua itu, sekalipun aku tahu bahwa pak tua sialan ini merupakan orangtuanya Febi, takkan kubiarkan dia bisa menghina lagi keluargaku. Aku terus memukulinya dengan membabi buta. Hingga akhirnya aku dihentikan oleh beberapa warga yang terbangun akibat keributan yang kami buat.
Pada akhirnya, aku tak mengucapkan salam perpisahan pada Febi. Pada malam itu juga aku tak melihatnya ada di sekitar taman, meskipun aku memukuli ayahnya, dia tetap tak datang ke taman. Kurasa dia tak peduli lagi pada ayahnya yang telah membuat dia membangkang pada orangtuanya.
Aku melanjutkan studiku ke Amerika, dan aku tinggal disana selama 6 tahun. Aku berhasil lulus dengan predikat yang lumayan memuaskan, meskipun tak menjadi yang tertinggi, aku tetap dapat meraih predikat ini. Dan kuputuskan untuk kembali lagi ke Indonesia.
Aku rindu sekali dengan Febi, aku ingin kembali menikmati masa masa kami pada saat itu. Rasanya aku ingin memutar balikkan waktu hanya untuk bisa merasakan kembali kehangatan hatinya, senyumannya, canda tawanya. Aku ingin sekali merasakan hal itu meskipun untuk yang terakhir kalinya.
Aku putuskan untuk kembali lagi ke taman ketika pertama kalinya kami bertemu. Aku memakirkan motorku di parkiran apartemen. Tak banyak yang berubah disini, semuanya masih terlihat sama, hanya saja sekarang ada taman untuk membaca. Aku bersyukur karena di zaman modern seperti ini masih ada anak-anak yang mau membaca. Aku berjalan mendekati taman yang sering aku gunakan untuk berbincang dengan Febi.
Samar samar aku melihat perempuan berambut panjang sedang merok*k di bangku taman, bangku yang sering kita duduki saat itu. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Mataku terbelalak, tak salah lagi. Wanita ini pasti Febi. “Febi, ternyata kau banyak berubah, ya” batinku.
Aku menyapanya dengan kata kata yang ia gunakan pada saat pertama kali kita bertemu. “Hei, aku bilangin mamamu, lho, kalau kamu ngerok*k.”
Wanita ini berbalik, dia menjatuhkan rok*knya, matanya yang indah itu mulai berkaca-kaca.
“Bryan… Akhirnya kamu kembali.” ucapnya sambil tersenyum. Dia lalu melompat ke arahku. Aku tak dapat menahan air mataku saat Febi menangis di dalam pelukanku. Takdir akhirnya mempersatukan kami kembali, rindu yang selama ini kami simpan. Akhirnya terbayarkan dengan pertemuan kami yang tidak disengaja ini. Aku berdoa agar kami bisa terus selamanya seperti ini, selamanya, hingga maut memisahkan kami berdua.
Cerpen Karangan: Dhafin Fauzan Facebook: Lucas
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 6 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com