Mata Faiz melotot lelah memandangi layar komputer di depannya. Ia mencentangi setiap jawaban yang menurutnya benar di setiap soal. Bahkan ia terlalu terfokus kepada layar daripada teman di sampingnya yang melirik ke arah layarnya dengan sembunyi-sembunyi. Hampir semua soal sudah terjawab, hanya saja satu soal di hadapannya kali ini membuatnya mengerutkan dahi dan berpikir keras.
Seorang penjaga ujian datang dan menepuk pundak temannya. Nyaris jantungnya copot ketika ia hampir ketahuan melirik layar orang lain. “Ada masalah, mas?” Wajahnya terlihat pucat ketika penjaga ujian itu berbicara padanya. “Alhamdulillah, nggak ada pak, lancar.” Kemudian ia kembali mengawal kondisi ujian. Faiz menyandarkan punggungnya dan tersenyum kepada temannya. “Tau rasa,” desusnya kepada temannya, Faisal. Faisal pun meninggalkan pandangan sipitnya kepada Faiz. Namun, jari Faiz masih tidak bisa mengalihkan soal lainnya untuk ia jawab.
Durasi waktu tidak berjalan lagi, tapi berlari seperti orang marathon. Durasi waktu ujian mengejar Faiz lebih cepat sebelum ia mengisi jawaban soalan ini. Soal tersebut seakan menghantui Faiz untuk sesaat walaupun ia memutuskan untuk melewatinya terlebih dahulu dan menjawab soal lain.
Suara detik jam dinding membuat jantung Faiz seirama dengannya. Namun, jantungnya terasa berdetak lebih cepat dan ia sama sekali belum memutuskan untuk memilih jawaban di soal itu. Keringat dingin mulai mengotori kerah baju kemejanya. Pada akhirnya ia menggerakkan tetikus ke arah jawaban yang ia sama sekali ragu. Ia mulai bernapas lega sekarang, walau nasib benar-salahnya soal itu akan tetap menggentayangi pikirannya.
Faiz berjalan keluar dari gedung kampus yang ia yakin akan menginjakkan kakinya di sana lagi. Ia bisa melihat temannya, Faisal, dari kejauhan dan menyapanya. “Sialan lo, nyontek gua ya?” “Dih, mata lo tuh yang gue liat, mantengin layar kayak liat setan aja,” balas Faisal. “Yaudah, ini mau ke mana lagi kita?” “Dah ngopi belom? Ke kafe, yok,” ucap Faiz.
Mereka berdua berangkat menuju ke tempat minum kopi yang biasa mereka kunjungi, kafe yang tidak terlalu jauh dari kampus tempat ia dan kawannya secara tidak sadar mendaftar bersamaan. Suara sendok dan cangkir yang saling bersentuhan di kafe membuat hati Faiz merasa lebih tenteram setelah melewati situasi mencekam. Ia tidak sadar tangannya terus mengaduk secangkir kopinya hingga dingin.
“Lo beneran bakal minum tuh kopi?” sahut Faisal. Faiz menoleh ke kopinya, menyadari uap kopinya yang sudah memudar. Ia tetap menyeruput kopinya. “Mau?” ucapnya dengan nada mengejek. Faisal menggeleng-gelengkan kepalanya. “Eh iz, lo ada rencana nggak, kalo semisal pengumuman nanti lo nggak diterima?” “Rencana?” ulang Faiz tergelak. “Ya tergantung sih, kalo udah jelas keterima, ngapain pake rencana-rencanaan,” jelasnya sambil melanjutkan seruputannya. “Tapi kalo ngga keterima…, ngga tau sih.” Faiz tergelak sendiri oleh kata-katanya, “gue pikirin nanti aja.” Faisal hanya mengangkat alisnya setelah itu. “Emang apaan alasan lo daftar ke kampus?” Faiz meneguk minumannya dan menarik napas dalam. Ia memberitahu temannya kalau satu-satunya alasan ia ingin mendaftar ke kampus itu ialah karena sudah menjadi impiannya sejak kecil. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia akan diterima di universitas kesayangannya itu, ucapnya. Namun, yang ia sebenarnya tidak bisa bayangkan ialah ketika imajinasinya itu tidak seperti yang ia akan perkirakan nantinya.
Setelah obrolan ringan di kafe, Faiz kembali pulang ke kosnya. Berbeda dengan Faiz, Faisal bisa langsung pulang ke rumahnya karena jaraknya yang dekat, mungkin karena hal itulah Faisal memiliki tujuan ke kampus yang sama. Faiz menghempaskan tubuhnya ke kasur, lalu membuang napas penat dengan lega. Ia terlihat seolah hidup dengan santai, tapi setiap saat setelah lampu toko di depan kosnya padam pada malam hari, lampu meja dari kamarnyalah yang tetap menyala terang. Dan hal yang ia lakukan bukan menghibur dirinya dengan sesuatu, melainkan mengulang-ulang materi yang ia sudah berkali-kali baca setiap minggunya. Faiz bisa menaruh kepercayaannya bahwa ia akan diterima di kampus favoritnya karena usahanya yang gigih, selayaknya sudah menjadi takdir.
Beberapa minggu terlewati setelah pendaftaran ujian di kampus lalu, Faiz masih menjaga firasat baiknya apapun yang terjadi bahkan walau baju kesukaannya yang ia jemur ini dibasahi oleh hujan yang tiba-tiba. Faiz terlalu sibuk mengatur posisi jemuran bajunya dan memegang jepitan baju dengan mulutnya sendiri. Kemudian, ia mendengar sesuatu dari lorong kamar-kamar kos. Faiz menyadari kalau itu nada dering yang ia setel ketika ibunya menelepon. Ia bergegas menyelesaikan jemurannya itu dan pergi ke kamarnya, lalu mengambil ponselnya.
“Halo, assalamualaikum?” “Waalaikumsalam, anakku. Gimana kabarnya?” sapa ibunya dengan gembira. “Alhamdulillah buk, sehat-sehat aja.” Faiz dan ibunya menikmati waktu panggilannya yang penuh kerinduan kampung halaman.
“Oh iya, Faiz udah tau belum jadwal pengumumannya tanggal berapa?” “Pengumuman penerimaannya?” Faiz melirik-lirik ke setiap sudut kamarnya berusaha mengingat dengan tepat kapan waktu itu akan terjadi. “Erm… besok?” “Hari ini, dong!” “Oh iya, hari ini…,” ucapnya tidak percaya. “Yaudah kalo gitu, jangan lupa berdoa ya, supaya keterima di kampus pilihan kamu,” balas ibunya. “Amin…, minta doanya juga ya, buk. Assalamualaikum.” Mereka menutup panggilan masing-masing. Faiz mengusap dahinya, merasa kurang yakin apakah ucapan ibunya tadi itu benar. Entah kenapa jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Ia pun memeriksa kebenaran dengan membuka laptopnya. Dan benar saja ucapan ibunya yang pasti benar, pengumuman penerimaan akan dibagikan jam enam petang nanti. Kalau gitu aku bisa nunggu sampai nanti, ucapnya.
Selagi menenangkan jantungnya yang tambah berdebar, ia berinisiatif untuk menelepon temannya sambil bersantai di kamarnya. Di telepon, Faiz bertanya kepada Faisal mengenai apakah ia sudah merasa siap untuk pengumuman nanti. Berbeda dengannya, Faisal lebih terdengar antusias untuk menerima pengumuman yang akan ditayangkan nantinya. Namun, Faiz terlalu bersenang-senang dengan Faisal di telepon sampai tidak menyadari kalau ia sudah membawa ponsel di samping telinganya selama beberapa jam. Di tengah percakapan yang masih kian berlangsung, Faisal menanyakan sesuatu yang terdengar tidak jelas di telinga Faiz. “Hah? Apaan?” sahutnya ketika pembicaraan mereka terhenti. Faiz kemudian menyadari setelah ia menelepon Faisal kembali, pulsa teleponnya telah habis seperti yang diucapkan oleh wanita yang justru menjawab panggilan keduanya itu. Ia tidak terlalu terkejut karena dari tadi ia sudah menelepon ibunya dan temannya dalam waktu yang lama.
Namun setelah ia mengisi perutnya pada sore hari, tiba-tiba saja listrik di kosnya padam. Untuk kali ini ia terkejut, tapi ia lebih terkejut ketika satu kampung tempat ia tinggal di sana juga padam listriknya. Mungkin ini saatnya pergi membeli pulsa, pikirnya.
Karena satu kampungnya padam listrik, ia terpaksa mencari toko pulsa di dekat kota. Ternyata walau sudah menggunakan motor, ia tetap kelelahan mencari toko pulsa yang tersedia. Namun, akhirnya ia menemukan satu toko pulsa yang berada di samping kafe yang ia biasa kunjungi. Ia segera mengisi pulsa ponselnya di toko itu. Kemudian mata Faiz melirik ke angka baterainya yang sudah berada di angka 7 persen. Pasalnya, listrik di kosnya masih juga belum menyala lagi dan ia berniat untuk membawa kabel pengisi daya ponselnya itu ke kafe yang menyala terang dengan segera. Ia langsung menaiki motornya dan mengebut kembali pulang ke kosnya dengan tergesa-gesa.
Di perjalanan, ia ingat kalau pengumuman penerimaan akan dibagikan tidak lama lagi. Akhirnya ia kembali memiliki semangat untuk melihat hasilnya. Ia sedikit kesusahan untuk membuka situs pengumuman itu dipajang dan mengendarai motornya yang cepat karena rintik hujan sudah mulai membasahi kulit kepalanya. Faiz menyimpan kembali ponselnya dan menambahkan kecepatan motornya agar cepat sampai.
Ia memarkirkan kendaraannya seperti biasanya di garasi kos. Faiz memeriksa kembali ponselnya dan masih tersisa 2 persen baterainya. Faiz bergegas berlari ke kamarnya sambil melihat hasil di situs pengumuman tadi. Kemudian langkah Faiz melambat. Tangan Faiz menjadi kaku ke posisi ia melihat hasil pengumuman yang tertera. Ia dinyatakan belum lulus.
Energinya untuk membuka kamar kosnya sudah sirna. Ia menjatuhkan badannya ke kasur lagi, tapi tanpa api dari jiwanya yang sudah runtuh, tidak ada kuasa dari tangannya untuk memberitahu ibu maupun temannya itu. Faiz merasa kesepian di kamarnya sekarang. Ia membiarkan ponselnya tertancap pengisi daya walau ia tahu listrik kos masih belum menyala. Namun, tidak ia sangka listrik kembali menyala di kampung kosnya itu. Sayangnya ia mulai merasa lelah dan mengantuk. Tangannya menempelkan bantal ke wajahnya dan membiarkan tangisannya membasahi bantal itu.
Hingga kemudian, ia teringat apa yang dikatakan temannya, Faisal, tentang rencana apabila ia tidak diterima, serta jawabannya kala itu. Penyesalan memenuhi hati Faiz. Ia seharusnya memikirkan sesuatu yang lebih baik dari apa yang ia katakan. Namun bagaimanapun, itu bukan kesalahannya, kalau ia sebelumnya berpikir jika kelulusan berdasarkan kesibukannya mempersiapkan ujian ialah suatu takdir, maka hal yang ia rasakan kini juga berupa takdir; takdir yang sejati. Tiba-tiba terdengar nada dering yang sama lagi, setelah baterai ponselnya terisi oleh listrik yang menyala. Namun, Faiz memutuskan untuk tidak menghiraukannya.
Usai setelah hujan dan tangisnya reda, kumandang suara azan menghiasi kesepiannya. Faiz menyadari kalau sekadar hasil pengumuman itu bukan akhir dari semuanya. Masih banyak kampus yang ia bisa coba mendaftar, walau tanpa temannya yang akan kelihatan menyontek dirinya ketika ujian. Ia menguatkan tangannya dan bangkit dari kasurnya, tidak ada yang ia bisa lakukan sekarang kecuali melaksanakan sembahyang maghrib sebagai satu-satunya obat yang menenangkan hatinya kali ini.
Cerpen Karangan: Midnaya G. Facebook: facebook.com/nychta.skia Farhan Yazid, biasa disingkat namanya menjadi Fy ialah penulis amatiran yang kadang mengikuti lomba-lomba kecil membuat cerpen sebagai hiburan atau tantangan semata. Penulis lahir di Malang pada 29 Januari 2005. Selain itu, penulis masih bersekolah di MAN 2 Kota Malang, tepatnya di Jalan Bandung no.7. Penulis sebelumnya sudah menuliskan beberapa cerpennya dan mengumpulkannya di berbagai lomba-lomba kecil, salah satu cerpennya ia kumpulkan di situs http://cerpenmu.com dengan nama pseudonim Midnaya G. Penulis berharap bahwa tulisannya dapat menghibur ataupun memotivasi pembacanya untuk menyukai karya tulis dari Indonesia.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 6 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com