Anbi tak betah lagi di rumah. Sudah sebulan ini anak dari kakak ibunya tinggal di rumahnya. Bersama keluarga kecilnya.
Nama sepupunya tersebut adalah Tita. Tita setahun lebih muda dari Anbi. Kedua orangtua Tita baru saja meninggal akibat kecelakaan mobil. Karena kedua orangtuanya meninggal itulah Tita tinggal bersama keluarga Anbi. Tita sendiri mempunyai seorang adik laki-laki yang kini tinggal bersama tantenya yang lain.
Awalnya, Anbi senang dengan kehadiran Tita di rumah. Bagaimana tidak? Tita sebaya dengannya. Mereka bisa cerita apa saja satu sama lain. Anbi rasa, mereka akan cocok. Belum tentu sih. Lalu, Lalu.. Sayang ternyata benar. Mereka tidak cocok. Bahkan, lama kelamaan, Tita semakin tidak menyenangkan.
Ada yang aneh pada Tita. Ia seperti memiliki gangguan mental. Suka tertawa-tawa sendiri. Ngomong sendiri. Marah-marah sendiri. Apakah Tita stres karena orangtuanya yang mendadak meninggal? Atau apakah ia menjadi begitu karena rindu dengan sang adik?
Anbi sendiri rindu dengan adiknya. Adik angkat sebenarnya. Adik angkat Anbi diberi nama Adelaine. Di mata Anbi, Adelaine sangat cantik dan menggemaskan. Kini, karena sibuk sekolah dan ikut berbagai kegiatan, Anbi sudah jarang bermain dengan Adelaine. Ketika Anbi pulang, Adelaine selalu sudah tidur duluan. Ia tidur cepat sekali. Anbi mencoba mengurangi kegiatannya. Dan, yang sering ditemui Anbi justru selalu Tita. Dulu Anbi benar-benar senaaaang sekali akan kehadiran Tita. Tapi sekarang?
Anbi sudah menceritakan kondisi Tita pada orangtuanya. Tentang beberapa perilaku Tita yang tidak wajar. Namun orangtua Anbi justru meminta Anbi agar memaklumi Tita. Anbi pun mencoba maklum. Sekarang Anbi tertidur dengan doa supaya kondisi Tita cepat pulih.
Ketika ada waktu, orangtua Anbi mencoba memeriksakan Tita ke ahli jiwa. Menurut dokter, Tita mengalami gangguan jiwa yang hebat. Beberapa keluarga telah menyarankan agar sebaiknya Tita dirawat di rumah sakit. Tapi, lebih banyak yang menyarankan agar Tita tetap di rumah keluarga Anbi. Mungkin Tita butuh kasih sayang ekstra. Orangtua Anbi pun setuju. Anbi memilih ikut setuju saja atas keputusan itu.
Sebenarnya, Anbi juga sayang dengan Tita. Sama seperti ia menyayangi Adelaine. Kadang-kadang, Anbi mencoba berkomunikasi baik-baik dengan Tita. Namun, Tita seperti tak punya jiwa. Kosong sekali. Apa yang harus Anbi lakukan? Anbi rasa, saat ini, Tita butuh sendiri. Anbi pun meninggalkan kamar Tita dan menuju kamar Adelaine.
“Mbak Anbi, bantuin pe-er Adelaine dong..” kata Adelaine. Sebenarnya, Anbi malas sekali berurusan dengan pe-er Adelaine karena ia masih jenuh dengan pe-ernya sendiri. Tapi, karena bingung mau berbuat apa, Anbi setuju-setuju saja.
Saat Anbi dan Adelaine tengah asyik mengerjakan pe-er, pintu kamar dibuka. Ternyata Tita masuk, ingin bergabung dengan mereka. Anbi jadi bingung. Tadi, ketika Anbi ke kamarnya, Tita malah diam saja. Di sini, sekarang, Tita terlihat normal. Anbi mengajak ikut membantu pe-er Adelaine. Tita, yang masih tampak normal, setuju. Sebenarnya, Tita adalah seorang anak yang cerdas di sekolah. Namun karena gangguan mental akibat stres itulah dalam beberapa hari ia harus tidak masuk sekolah. Anbi sangat menyayangkan hal ini.
—
“Gimana kabarnya Tita?” tanya Jingga ketika itu. “Well, lumayan sih.” sahut Anbi. Apanya yang lumayan, pikir Anbi dalam hati. Menurut Anbi, meski sering terlihat normal, Tita tetap saja seperti orang yang tidak sehat.
Menurut Anbi, Tita menjadi begini karena ia tidak bisa menerima kematian orangtuanya. Andaikan Tita bisa menerima, pasti ia bisa menjalani kehidupannya, menyambut masa depannya yang cerah. Seharusnya Tita bisa ikhlas, bisa menerima, pikir Anbi. Kalau ia menjadi Tita, ia tidak akan terlalu merengek-rengek atas kematian orangtuanya sehingga hidupnya bisa tetap berjalan seperti biasa. Anbi akan jauh jauh lebih ikhlas dan pasrah atas keputusan Tuhan. Oh andai Tita bisa begitu.
Anbi memesan pop ice rasa coklat. “Hei geeeeeeeng!!” teriak Venus datang-datang. “Udah tugas kelompoknya?” “Udah dong. Lagi pada ngomongin apa?” “Enggak. Itu Jingga. Tanya kabarnya Tita.” “Oh, Tita. Kalau kabar Adelaine bagaimana? Gue kangen sama Adelaine!!!” teriak Venus. Venus ingat saat Anbi semangat sekali sewaktu orangtuanya memutuskan untuk mengadopsi anak sebagai hadiah ulang tahun Anbi yang ketujuh belas. Anbi memang ingin sekali punya adik perempuan. “Kangen sama Adelaine? Main aja ke rumah gue!” “Oke, besok ya?” tawar Jingga.
Anbi pun pulang ke rumah. Ia mencari adiknya yang masih kelas satu SD tersebut. Tapi Adelaine tidak ditemukan. Anbi pun mencari Tita. Firasatnya tidak enak. Ia membayangkan Adelaine diajak Tita pergi ke luar, lalu karena Tita lengah, mereka kecelakaan. Ah, jangan, jangan sampai Ya Tuhan..
Anbi terus mencari. Sabar, sabar, sabar.. Tiba-tiba.. “DOOOOR!!!! Hahahaha!” Anbi kaget sekali. Kaget sekaligus senang. Dan tenang. Ternyata Tita dan Adelaine bersembunyi di balik lemari, bermaksud menyambut kepulangan Anbi yang mereka tunggu-tunggu dengan mengagetkannya. “DASAAAAAAR..” teriak Anbi sambil tertawa. Anbi menyesal telah berprasangka buruk dengan Tita. Anbi pun mengajak mereka makan siang.
Saat makan malam, Anbi, Tita, dan Adelaine berbincang-bincang. Awalnya mereka berbincang hal-hal yang sepele sampai Tita menyelutuk sesuatu. “Ada satu hal yang paling aku benci.” “Apa?” tanya Anbi menanggapi. “Aku benci hidup yang sempurna.” Anbi terdiam. Memang, kadang-kadang, kalau terlalu sempurna, kata orang-orang tidak seru. Tapi menurut Anbi tidak. Ia selalu ingin semuanya baik-baik saja.
“Kalau aku menemui kesempurnaan, aku tidak peduli. Aku pasti bakal rusakin. Biar ada cacat-cacat dikit.” kata Tita lagi.
Tita ngomong apa sih? Anbi tidak mengerti apa yang ada di pikiran Tita. Mungkin ia dan Tita memang tidak ditakdirkan cocok. Menurut perkiraan, perkiraan Anbi sendiri, saat ini Tita sedang normal. Tidak sedang berbicara sendiri, atau marah sendiri, atau tertawa sendiri. Tapi tetap saja, bagi Anbi, Tita terlihat menyeramkan.
“Aku mau ke warung ya, Bi. Mau beli camilan.” kata Tita. “Ya udah.” “Ikuuuuuuuut..” pinta Adelaine. Tita mengangguk setuju. Dasar Adelaine. Kalau jajan langsung semangat banget.
Anbi masuk ke kamar. Ia mencoba melanjutkan pe-er. Sampai setengah jam, Tita dan adiknya belum pulang juga. Kemana lagi sih? Anbi mencoba tenang. Ia harus berbaik sangka. Dulu ia pernah menuduh Tita yang tidak-tidak, ternyata dugaan itu salah. Sampai pintu pagar digedor kencang. Anbi tergopoh-gopoh berlari ke luar. Pasti Tita lupa membawa uang. Tapi Anbi salah. Yang datang justru pembantu tetangga.
“Mbak Anbi. Mbak Anbi!!” pembantu tetangga tersebut tampak ketakutan sekali. “Iya, iya, ada apa?” “Adelaine, Mbak. Adelaine jatuh ke kali yang di belakang sana!!” “Ah? Di belakang mana?” “Di belakang yang perbatasan itu!!” “Kok bisa main sampai ke sana-sana?”
Anbi berlari sambil mencoba menghubungi orangtuanya. Ia takuuuuut sekali. Tetapi orangtuanya juga tidak mengangkat telepon Anbi. Mungkin tidak mendengar. Anbi kesal. Anbi kesal sekaligus menyesal telah membiarkan Adelaine pergi dengan Tita.
Sesampainya di lokasi, Anbi melihat Adelaine sedang ditolong oleh satpam. Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan.. “Kenapa nggak jagain adekku?” tanya Anbi pada Tita. “Justru aku yang dorong Adelaine.” jawab Tita sambil makan biskuit. “GILA KAMU!” “Aku memang gila.” Tita tertawa, ia malah bertepuk tangan, lalu menangis. Anbi tak mengerti apa maksudnya. “Orang stres!” Anbi menangis. Tita menangis. Adelaine tak tertolong lagi.
Di pemakaman Adelaine, Anbi tak kuasa menahan air mata. Tita resmi masuk rumah sakit jiwa. Mama Anbi menangis. Papa juga. Kakek. Nenek. Kakak-kakak Anbi. Kakak-kakak ipar Anbi. Venus. Jingga.
Tita.. Harusnya dia bukan di rumah sakit jiwa. Dia masuk penjara. Dipenjara seumur hidup. Pikir Anbi. Orang-orang bilang Tita seperti malaikat. Mana ada malaikat dari neraka? Pikir Anbi lagi. Ia tak bisa tenang. Anbi memeluk boneka Adelaine. Sesuatu yang sebenarnya justru membuatnya semakin sedih.
“Boleh kok..” kata Anbi disela-sela isak tangis. “Ya?” sahut Venus. “Boleh kok. Dia boleh berantakin rumah gue. Ngabisin makanan gue. Bikin repot orangtua gue..” kata Anbi sambil terus menangis. Venus mencoba menenangkannya. “Tapi dia kan nggak harus bunuh adek gue..” Anbi mencoba sesuatu yang paling sulit baginya. Ikhlas. Sabar. Dan pasrah. Mengapa sulit sekali kadang-kadang?
Cerpen Karangan: Garini Citra Dewati
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 8 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com