“Siniin uang lo, bego!” rundungnya merogoh saku perempuan berambut panjang, dengan seragam lusuhnya.
“Nih! Katanya gak ada!” Ia menemukan uang selembar lima ribu. “Berani lo bohongin gue, lagi, awas.” Ancamannya membuat dia terdiam menunduk. Setelahnya perundungan itu pergi. Tiba tiba, saja hujan turun.
Kepala gadis bernametag Pina itu mengadah ke atas. Melihat rintikan hujan menimpa dirinya. Tak ada harapan lagi, sudah satu tahun lamanya Pina menjadi korban bullying. Tak ada satu pun juga yang mau menjadi temannya. Ditambah lagi, keluarganya yang hancur.
Pina adalah gadis kuat. Walaupun setiap hari mendapatkan umpatan, serta kekerasan, tak membuatnya menyerah. Bukannya tak berani melawan, tapi ia terlanjur biasa akan keadaan.
Awan mendung berubah menjadi sebuah payung hitam yang menutupi. Pina membalikan badan, melihat sosok lelaki berseragam yang mulai membasahi badannya. Moment itu, tak pernah Pina rasakan. Lelaki itu siapa?
“Gak baik hujan hujanan,” peringatnya memberikan payung. “Ta-tapi kamu?” Pria tadi tak menjawab, ia langsung memberikan payung kepada Pina dan pergi meneduh di halte bus. Pina mengikuti langkah tersebut, dan duduk di sebelah pria penolong.
“Makasih, payungnya.” “Gak masalah.” Pina mengamati sebelahnya memeluk tubuhnya sendiri.
“Oh iya.” Pina langsung membuka tasnya, ia baru ingat membawa cardigan. “Ini pakai aja.” Pina memberikan cardigan berwarna cream kepada pria disebelahnya. “Kamu aja.” Tanpa basa basi, cardigan itu berada di tubuh pria kurus. “Udah.”
Hening sesaat. Canggung mengerogoti suasana mereka.
“Kenapa kamu gak pernah lawan mereka?” “Kamu tau?” kejut Pina. “Dari awal aku sering lihat kamu dibully, dicampakin, tapi kamu diem. Makanya, setiap dimana kamu berada, aku juga disitu.” Mata Pina terbelak. “Kamu penguntit?” “Enggak.” “Karena aku udah terbiasa.” “Kamu nggak capek?” Pria berpapan nama Ari itu memandang Pina. “Capek, tapi nggak papa.” “Perempuan kalau bilang nggak papa, pasti banyak apa apanya ya?” kekeh Ari. Pina mengulas senyum manisnya.
“Gak papa, cerita aja, luapin aja emosi yang selama ini kamu pendam. Mumpung hujan loh.” Pina menatap Ari bingung membuat pria berbalut cardigan itu tertawa. “Misal kayak gini, DUNIA GAK ADIL!” Seketika hujan semakin deras, tak ada pengendara lewat melintas.
“Coba.”
Pina menarik nafasnya dalam dalam. “Aku capek, Tuhan,” lirihnya pelan, namun terdengar di telinga Ari. Tubuh kuat Pina mendadak lemas. Ari langsung berlutut untuk menyeimbangi Pina.
“Aku mau pulang.” Air mata Pina turun membasahi pipi. “Pulang yang sebenarnya pulang.” Ari berdiri, dan langsung memeluk Pina. “Ada aku disini, Pina. I always stay with you.”
Pelukan hangat hampir tak pernah Pina rasakan. Ari, pria asing yang baik hati tiba tiba saja hadir membawa sebuah sandaran.
“Kenapa kamu baik, Ari?” “Karena Tuhan udah rencanain buat aku ketemu kamu secara langsung. Aku bakal jaga kamu, Pina.”
Pina langsung mengeratkan pelukannya. Menghirup aroma bau lelaki berhati malaikat. Hujan menjadi saksi bahwa Pina benar benar rapuh di hadapan Ari.
Cerpen Karangan: Nadia Luthfita Faadhillah Blog / Facebook: Nadia Luthfita Menulis itu cara untuk meluapkan sebuah emosi. Hai!
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 16 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com