‘Kenalin nama aku Adya Savita Ushmila Putri orang terdekatku biasa memanggilku Savita yang berarti Matahari, umurku 17 tahun lahir di tahun 2004 bertepatan dengan bulan kemerdekaan Indonesia, Tidak ada yang salah sampai detik ini bukan? bahkan semua terlihat normal dan aku akan mulai cerita ini’
Namaku Adya Savita Ushmila Putri aku tinggal di sebuah perkampungan kumuh di daerah kota pahlawan, tersingkir dan tak terlihat oleh siapapun 1001 Malam itu nama kampungku, kampung dengan masyarakat berbagai daerah, suku, agama dan budaya, kampung dengan seluruh berita buruk yang disuguhkan di media massa dengan berbagai caption yang menyedihkan dan buruk untuk dibaca apalagi dilihat, teman-temanku bilang rumahku di kolong jembatan kotor, bau dan gelap itu yang mereka bicarakan dan pikirkan tidak sedikit dari mereka yang selalu mengolok olokku karena tempat tinggalku tapi aku selalu menghiraukan omongan mereka, karena andai mereka semua tau itu salah dan tidak benar, mereka hanya mendengar tidak melihat.
“hei Adya apa kalau kau tidur tidak takut kejatuhan truk hahahah” kata temanku yang sedang mengolok olokku “justru rumahku adalah rumah yang paling hebat” jawabku santai “Rumah hebat apanya orang di kolong jembatan hahaha” lanjutnya lagi “Sekarang rumah kalian kalo ditabrak truk hancur nggak?” kataku “ya hancur lah bodoh” lanjutnya “justru kau yang bodoh karena tidak percaya bahwa rumahku hebat, jika rumahmu ditabrak truk saja hancur, rumahku malah dilewati oleh truk di atasnya dan tidak hancur” jawabku santai meninggalkan teman temanku yang wajahnya sedang merah padam.
“Savita kenapa kamu berbohong” ucap dita teman dekatku di kampung “aku tidak berbohong aku bicara jujur” jawabku “tapi kan rumahmu bukan di kolong jembatan” lanjutnya “itu tidak masalah dita lagian rumah kita toh juga melewati kolong jembatan hahah” jawabku “terserah kau saja lah savita suka banget diolok olok” kata dita ‘Sebenarnya aku juga gak mau diolok olok tapi gimana lagi aku harus melindungi mereka yang lemah (yang ada di kolong jembatan)’ batinku dalam hati
Olok olokan mereka adalah sarapanku sehari hari lagian aku anaknya kan aktif dan banyak tingkah jadi nggak sedikit juga dari mereka yang takut padaku.
Matahari telah naik tepat di atas kepala membuat seragam putihku bercucuran keringat dan bau tak sedap, tapi bagaimana lagi aku berangkat sekolah harus jalan kaki karena waktu itu pernah pake sepeda eh sepedanya malah tertinggal di sekolah.
Seperti biasa aku pulang menuju kolong jembatan yang gelap, menyapa orang-orang seramah mungkin dan menunduk agar tidak terbentur atap bawah tol dengan wajahku yang hitam dan tubuhku yang bau keringat setelah pulang sekolah.
“baru pulang savita?” sapa ibu-ibu di kolong jembatan “iya bu panassss” jawabku sambil cengengesan “gimana sekolahnya savita lancar?” tanya ibu-ibu satunya “lancar bu” jawabku “enak ya bisa sekolah kayak savita” kata ifan temanku yang tinggal di kolong jembatan “makanya kerja yang rajin fan biar bisa sekolah” kataku “gimana mau sekolah uang aja ga ada” jawab ifan “makanya rajin rajin berdoa minta uang pada tuhan hahah” sahutku Kakiku terus berjalan di kolong jembatan hingga kakiku berhenti di salah satu rumah di kolong jembatan.
“Assalamualaikum” salamku “Waalaikummussalam nak” jawabnya “bibi masak apa hari in- aww sakit” teriakku sambil memegangi kepalaku yang sakit karena terbentuk atap kolong jembatan “makanya hati hati” ujar bibi aminah “bi, mas catur dimana?” tanayaku pada bibi aminah “lagi main sepak bola di kampung 1001 Malam, kalo ketemu suruh pulang” kata bibi aminah “siap laksanankan”
Kakiku berlanjut menyusuri kolong jembatan hingga menemukan cahaya terang di ujung kolong jembatan, cahaya yang semakin dekat semakin terang saat tepat di cahaya terang itu terdapat gapura dengan bertuliskan ‘Kampung 1001 Malam’ aku terus melangkah sudah tidak ada lagi kolong jembatan, sudah tidak ada lagi kolong yang bau, gelap dan pengap digantikan dengan pepohonan rindang dan angin yang sejuk.
Kampung ini terdapat tiga lapangan, tujuh sumur dan satu halaman belakang yang hijau dan disamping sungai. Aku berjalan menuju rumahku yang ada di ujung, sesekali melihat lapangan mungkin ada Masku disana dan tepat dilapangan ke-dua aku melihatnya
“Mas Caturr” teriakku “Apa” sahutnya “Pulang” suruhku “Nanti aja” “Disuruh bi aminah kalo gak pulang nanti dipukul” aku bertriak dengan mengepalkan tanganku “ahh iya aku pulang” akhirnya mas catur pasrah
Kakiku terus melangkah hingga aku menemukan rumah dengan pohon jambu di depannya, itu rumahku rumah dimana aku dibesarkan, rumah dimana aku belajar arti kehidupan dan rumah dimana aku akan kembali pulang, sebenarnya rumahku sama sekali tidak di kolong jembatan tapi aku selalu mengiyakan orang-orang yang selalu mengira rumahku di kolong jembatan.
Hai teman-teman terima kasih yang sudah berminat membaca cerpen ini jika kalian suka aku akan buat cerita lebih banyak lagi tentang kehidupan di ‘KAMPUNG 1001 MALAM’ ini semoga dengan membaca cerpen ini kalian jadi lebih bersyukur ya atas kenikmatan yang diberi tuhan.
Cerpen Karangan: Syakilla Kharisma Nabila Putri instagram : Ningkillak_ jika ada yang ditanyakan kalian bisa DM di instagram aku yaa @ningkillak_ bye guys i love you 🙂
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 16 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com