“Jangan sembarangan moto napa!” Protes Lia saat mengetahui dirinya diam-diam difoto. Arif hanya diam sambil HP ke dalam saku celanya. Sebenarnya Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi Ia pendam saja kata-kata itu. “Kebiasaan,” Lia mengumpat. “Itu foto yang yang tadi harus dihapus! Awas kalo engga!” Kali ini ngomong kaya mak lampir. Galak bener jadi jadi cewek. Arif yang diomeli dengan santainya kabur dari pada nambah masalah. Sebenarnya dia memoto temannya satu persatu itu ya ada tujuannya. Cuma enggak mungkin disebut diawal cerita.
Arif pergi ke sebuah tempat yang sepi. Dilihatnya foto-foto yang diambilnya itu tadi. Beberapa yang dianggap gagal di hapus sambil kemudian dilihat foto yang sudah diambil sebelumnya. Hampir semua foto diambil. Hanya sisa beberapa lagi. Ia ingin mengumpulkan semuanya. Demi sebuah alasan yang tak bisa diungkap diawal cerita.
“Kau kok seneng banget sih ngambil foto orang gak bilang-bilang? Enggak baik tahu!” Suatu ketika Sari pernah bertanya. “Gimana ya aku menjelaskan? Kalau dah lulus nanti kau tahu sendiri. Segini paham?” “Kurang jelas. Aku enggak tahu maksudmu.” “Intinya suatu saat nanti kau akan mengerti saat kau tak disini lagi.” “Dah lah. Dari pada bahas ginian bikin pusing, Gimana kalau aku pinjam buku fisikamu?” “Untuk apa?” “Gimana ya aku menjelaskan? Kalau udah dipinjemin nanti kau tahu sendiri. Segini paham?” Sari menirukan gaya bahasa Arif. Arif mati gaya. Berasa seperti Senjata makan tuan. Sejenak kemudian Ia langsung memberikan bukunya kepada Sari.
Setahun lagi, Arif tak ingin melupakan teman-temannya di SMA yang begitu mengasyikkan. Walaupun cuma sekedar foto, ia berharap selalu mengingat mereka. Itu sebabnya ia seringkali mengambil foto tanpa izin teman-temannya. Ia ingin sekali menghabiskan lebih banyak waktu dengan mereka. Waktu sayangnya berlalu begitu cepat. Andai waktu bisa dihentikan sebentar saja.
Mereka semua, bahkan mimpi mereka begitu terlihat begitu menyilaukan. Hanya membuatnya menjadi kenyataan butuh protes.
“Aku besok kalau sudah lulus mau masuk UNRI. Aku ingin jadi sarjana yang sukses,” Pernah Arif dengar Novi, salah satu temannya berkata seperti itu. “Kalau aku pingin kursus menjahit aja. Kalau dah bisa menjahit kan bisa buat usaha jahit sendiri di rumah,” Ziyah, temannya yang yang lain berkata. “Aku ingin merantau,” Surya juga menimpali.
Mimpi, harapan yang minta diwujudkan memang terdengar indah. Takdir adalah penuntun yang menentukan nasib. Mimpi yang indah, apakah mewujudkannya mudah?
Arif hanya diam. Dia tak tahu apa impiannya. Bahkan ia tidak terlalu mempercayai mimpi. Yang terpenting baginya sekarang adalah ia ingin ingatan tentang mereka tidak hilang, itu saja.
Mimpi ya? Akh, untuk apa punya mimpi jika tak mungkin tercapai? Arif duduk di teras rumahnya disuatu sore sambil memikirkan tentang mimpi. Rasanya seperti lelucon kedengarannya. Lagipula untuk apa bermimpi jika itu hanya angan? Rasanya ingin menghapus kata mimpi dari dunia ini. Kenapa harus ada kata itu jika hanya memberatkan saja?
Mimpi masuk UNRI? Mimpi untuk punya usaha sendiri? Ingin rasanya ia bertanya kepada teman sekelasnya. Apa sih kerennya punya mimpi? Takdir sudah ditentukan. Bahkan sebelum manusia lahir. Lalu, untuk apa semuanya itu? Rasanya seperti omong kosong.
Mentari hampir terbenam saat ia menertawakan mimpi sendirian. Perlahan-lahan, Arif berhenti berbicara tentang mimpi sendirian. Dia lalu meninggalkan teras bersamaan dengan sempurnanya mentari tenggelam.
Di sebuah siang yang terik saat liburan panjang sekolah an, Arif melihat foto-foto temannya yang dia ambil tanpa izin. Walaupun cuma melihat foto, tapi rasanya ia ingin sekali bertemu dengan temannya. Walaupun berpisah hanya karena karena liburan saja, tapi rasanya kangen juga. Rasanya ia ingin liburan cepat berlalu.
Nanti kalau sudah lulus bagaimana ya? Pasti Akan sangat-sangat rindu. Akh, pasti akan sangat menyiksa rasa rindu itu. Pasti akan sangat rindu keributan di kelas. Canda tawa dan senyuman yang tampak begitu menyenangkan. Omelan dari guru yang kadang yang kadang terdengar begitu nyaring. Suatu saat pasti akan menjadi nostalgia.
Memikirkan terlalu jauh ternyata tak menyenangkan. Ketakutan-ketakutan akan kehidupan akan mulai membayang. Semuanya dipaksa dewasa. Apa menjadi dewasa itu mengasyikkan? Sepertinya tidak juga. Banyak hal-hal yang begitu rumit harus dijalani. Keputusan-keputusan yang berpengaruh di kehidupan selanjutnya harus di ambil. Salah atau benar, menguntungkan atau tidak. Tetap harus mengambil keputusan. Akh, rasanya lebih menyenangkan menjadi anak-anak saja.
Masa SMA yang sungguh menyenangkan, sayang berlalu begitu cepat. Andai bisa diulang. Kali ini sambil melihat-lihat foto kelulusan, ia mengenang masa-masa yang penuh kenangan.
Andai waktu itu Oreo, pasti sudah diputar, dijilat, terus dicelupin deh. Akh, pikiran pagi yang belum sarapan memang fokus kemakanan. (LOL)
Walaupun sekarang sudah tak bisa bertemu. Kenangan-kenangan itu kadang bisa menjadi penawar rindu. Kadang juga menjadi racun yang memaksa untuk kembali kehari-hari yang telah lewat itu.
Mereka semuanya berjalan ke arah mimpi mereka masing-masing. Setiap kali memandang foto mereka, ia berharap semua temannya mengingat juga setiap hal yang telah berlalu.
Potret mereka yang dipenuhi mimpi membuat Arif ingin bermimpi juga. Entah itu akan terwujud atau tidak. Yang pasti ia ingin punya mimpi yang membuatnya ikut berkilau seperti teman-temannya.
END
29 SEPTEMBER 2020 LAST EDITED 6 OKTOBER 2021
Cerpen Karangan: Rahmat Blog / Facebook: Rahmat Pangripto Wattpad: ARSEVENTEEN
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 19 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com