Sore itu, langit terlihat sangat gelap padahal waktu masih menunjukkan pukul 16:00, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Aku masih berdiri di depan halte, menunggu angkutan umum lewat. Hai kenalin, namaku Sabrina Pertiwi mereka akrab memanggilku Brina. Aku salah satu mahasiswi baru di Universitas ternama di Jawa. Aku terlahir dari keluarga menengah ke bawah, sebut saja perekenomiannya kurang. Aku kuliah mengambil program beasiswa pemerintah, sehingga tidak perlu membayar tunggakan apapun, tapi taruhannya nilai. Iyaa, nilaiku harus selalu tinggi.
Waktu kian berlalu, aku melirik ke arloji yang aku kenakan, rupanya sudah 30 menit lebih aku berdiri di sini. Hujan turun sangat deras, aku sedikit menepi agar tidak terkena cipratan air hujan dari mobil-mobil yang berlalu-lalang. Aku menggosok-gosokan telapak tangan guna mencari kehangatan, dingin! Sungguh dingin di sini, tidak ada angkutan umum yang lewat satupun.
“Tinnnn” suara klakson mobil terdengar sangat jelas, aku tersentak kaget. “Sabrina, ayo ikut.” suara bariton itu terdengar setelah kaca mobil dibuka. Dimas Pratama, teman sekelasku yang terkenal dengan rupanya. Sosok yang sangat perfect, aku tidak terlalu mengenalnya, rumornya Dimas ini pemilik perusahaan terbesar di kotaku. Aku terdiam cukup lama, memikirkan untuk ikut dengan Dimas atau tetap di sini menunggu angkutan datang. Sampai suara klakson membuyarkan lamunanku.
“Ayo, Sabrina. Saya anterin kamu sampai ke rumah!” ajaknya lagi, tanpa menunggu lama, aku langsung masuk ke dalam mobil. Badanku sedikit basah, aku merasa kurang nyaman, duduk di mobil orang dalam keadaan basah begini.
Di sepanjang perjalanan tidak ada yang membuka suara satupun, aku menghadap ke arah jendela sambil melihat jalanan dibasahi oleh air hujan. Aku tersentak kaget, saat tangan milik Dimas menyentuh tanganku. Aku refleks menyembunyikan tanganku ke pangkuan, lalu pura-pura membenarkan anak rambut yang menutupi mata.
“Kamu cantik Brin, sayang susah dideketin.” ucapnya lirih, lagi-lagi aku terkejut mendengar penuturan Dimas. Aku merasa risih, pengen sekali rasanya turun sekarang, namun apa boleh buat, hujan semakin deras, rumahku juga masih sangat jauh dari sini.
“Makasi Mas, ngomong-ngomong kamu tumben pulangnya sore, habis ngapain?” tanyaku bingung, Dimas termasuk mahasiswa yang pemalas, jangankan untuk mengikuti organisasi, hadir dalam jam kuliah pun jarang.
“Sengaja nunggu kamu,” ucapnya enteng. Aku lagi-lagi terkejut mendengar penuturan Dimas. Tak lama kemudian Dimas membelokkan mobilnya ke arah yang berlawanan dengan jalan menuju rumahku. Aku semakin takut, dan pikiranku kemana-mana.
“Dimas, ngapain belok kesini? Ini bukan jalan ke rumahku!” tanyaku panik, aku semakin takut dan pikiranku kemana-mana, Dimas tidak menghiraukan pertanyaanku, sampai kita tiba di sebuah bangunan megah berwarna putih dengan gerbang hitam. Dimas menghentikan mobilnya di depan bangunan itu, lalu seseorang berseragam hitam putih berlari ke arah gerbang, lalu membukanya.
Bangunan yang sangat megah, mungkin sudah tidak pantas disebut rumah, sebutannya berubah menjadi istana. Ya, istana sangat cocok menggambarkan bangunan megah itu. Banyak tanaman hias disini, aku menebak pasti pemilik rumahnya suka bercocok tanam. Netraku memandang takjub pemandangan yang ada di rumah itu, bahkan sampai kagum.
“Ayo masuk.” Lagi-lagi aku tersentak kaget mendengar ajakan Dimas, bukan hanya itu Dimas menggandeng tanganku lalu mengajakku untuk masuk ke rumah megah itu. “Pasti ini rumahnya Dimas,” tuturku dalam hati.
Sungguh mengejutkan, ternyata rumah ini benar-benar megah bak istana. Banyak guci-guci yang terpajang rapih, foto keluarga juga tepapang sangat besar di ruang tamu. Ternyata rumor tentang Dimas, benar. Dimas anak dari pemilik perusahaan ternama di Jawa. Aku berpikir keras, kenapa Dimas mengajakku ke sini? Apa hubungannya sama aku? Kenal saja hanya sebatas nama, tapi kenapa aku diajak langsung ke rumahnya? Aku menggelengkan kepala cukup keras, berusaha berpikir positif.
“Kamu tunggu di sini ya! Aku panggil Mami sama Papi dulu.” ujarnya, lalu Dimas pergi melenggangkan kakinya meruju anak tangga. Jantungku berpacu sangat cepat, panik, bahkan aku merasa stok udara di sini semakin menipis.
Selang beberapa menit kemudian, terdengar tapak kaki menuruni anak tangga, aku menoleh ke sumber suara. Wanita paruh baya, yang terlihat sangat cantik menampilkan senyum manisnya. Di sebelahnya terdapat sosok lelaki bertubuh kekar dengan rambut yang mulai memutih. Lelaki itu juga menampilkan senyum manisnya.
“Sore nona cantik.” ujar Bu Anya. Aku sedikit kaku membalas sapaannya, “Sore Bu…” balasku pelan. “Panggil saya Mami.” potongnya cepat. Aku semakin heran dengan kondisi saat ini. Entah ini mimpi atau kenyataan, yang jelas aku merasakan hawa panas, cemas, bahkan sangat menegangkan seperti sedang sidang.
Lalu mereka mengajakku ke ruang keluarga, berbincang ringan di sana. Banyak pertanyaan yang orangtua Dimas lontarkan. Aku sempat merasa bingung harus menjawab apa. Tapk syukur Dimas selalu bantu menjawab pertanyaanku. Aku sempat terkejut saat mamahnya Dimas menanyakan tentang hubunganku dengan Dimas sudah berapa lama? Padahal kenal aja ngga, apalagi sampai berpacaran dengannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB, aku sempat mengabari orangtuaku tentang kepulanganku sedikit lambat karena main di rumah teman. Kedua orangtuaku memaklumi hal itu, mereka percaya bahwa aku anak baik, walau kenyataannya sangat baik. Orangtuaku selalu mengajarkan hal yang baik, terutama tentang tata krama. Aku anak tertua, dan mempunyai dua orang adik lelaki yang usianya jauh di bawah umurku.
Dimas mengantarku pulang, hanya sampai gang depan saja. Karena, kondisi jalanan menuju rumahku tidak bisa dilalui kendaraan roda empat.
“Sampai sini aja Dim, soalnya rumahku di gang kecil. Mobil ngga bisa lewat.” tuturku. “Masih jauh?” tanya Dimas. “Ngga, cuma lurus terus belok kiri, dahh sampe.” terangku. “Aku antar sampai depan rumah!” ujar Dimas, lalu ia turun dari mobil membukakan pintu untukku. “Ngga usah, udah deket. Aku ngga enak sama tetangga dianter cowo malam-malam gini.” tolakku cepat.
Rupanya Dimas tidak menghiraukan perkataanku, dia berlalu begitu saja, jalan di depanku. Sok tau banget ya, padahal yang punya rumah kan aku, bukan dia. Tapi kenapa seolah-olah di menguasai jalan menuju rumahku. Aku sempat terkekeh kecil saat Dimas menginjak lubang di jalanan yang becek, sepatu putihnya berubah menjadi warna coklat.
Hari berlalu begitu cepat, aku dan Dimas semakin dekat layaknya orang pacaran, bahkan sudah banyak issue yang beredar tentang kami berpacaran. Udah ngga asing lagi bagiku tentang sindiran-sindiran halus bahkan sindiran keras. Banyak dari mereka yang mengatakan aku tidak cocok dengan Dimas yang notabenya anak konglomerat. Namun Dimas selalu menenangkanku, saat aku mendapat sindiran dari mereka.
Dimas sempat menceritakan awal mulanya dia mengajakku ke rumahnya, bahkan alasan-alasannya secara detail. Dimas juga sempat menyatakan perasaannya kepadaku. Namun aku menunda menjawabnya. Aku masih merasa kurang pantas jika berpacaran dengan Dimas.
“Brin?” panggilnya lembut. Aku menoleh ke Dimas. “Kenapa?” “Aku masih nungguin jawabannya. Lihat apa yang aku genggam.” ujarnya lagi, sambil menyerahkan sebuah liontin emas bertuliskan “Brina” sungguh menakjubkan. “Kamu ngga perlu dengerin kata orang yang terus meng-jugde kamu kurang cocok sama aku. Yang menjalankan hubungan kita, bukan mereka. Lagian orangtuaku udah suka banget sama kamu Brin. Sabrina Pratiwi, dapatkah Anda menerima lamaranku?” ujarnya sambil tersenyum manis. Ah sial, senyumnya sangat manis, aku tidak bisa melewatkan kesempatan ini untuk melihatnya tersenyum. menganggukkan kepala pertanda menyetujui permintaannya.
Setelah kami dinyatakan lulus, Dimas langsung mengunjungi orangtuaku untuk menyampaikan niat baiknya, menikahiku.
Inilah kisah kami, dua orang yang asing bahkan tidak pernah bersapa, lalu atas izin tuhan kami dipertemukan dan disatukan, semoga selamanya tetap bersatu sampai maut yang memisahkan.
Cerpen Karangan: Yolanda Tania Blog / Facebook: Yolanda Tania Yolanda Tania, gadis berkelahiran tahun 2003. Penyuka sastra, karya antologinya sudah ada yang diterbitkan.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com