Aku masuk ke sekolah dalam keadaan rapi. Tentu saja, mengingat hari ini adalah Hari Pahlawan. Tanggal 10 November. Semuanya memakai seragam rapi juga tentunya. Dan senangnya hari ini sekolah tidak mengadakan pelajaran, tetapi diganti dengan kegiatan bersepeda nasional. Semacam bersepeda bersama.
“Selamat pagi, Raina!” Tia menyapaku ketika aku duduk di sampingnya. Ya, mulai hari ini sampai minggu ke depan, kami adalah teman sebangku, begitu peraturannya. “Pagi juga, Tia. Sudah siap bersepeda hari ini?” “Tentu saja siap. Bagaimana denganmu?” tanya Tia balik. Aku mengangguk antusias. “Menyenangkan sekali bersepeda itu. Aku penasaran kenapa kita tidak ada pelajaran hari ini. Memangnya hari ini ada apa?” tanya Tia polos, atau mungkin tidak tahu. “Astaga! Kamu tidak tahu kenapa kita bersepeda hari ini?” tanyaku kaget. Tia menggeleng, membuatku menepuk jidat karenanya. “Dengar, hari ini Hari Pahlawan, apakah kamu tahu?” tanyaku memastikan. Kalau sampai Tia tidak tahu, kebangetan sekali. “Aku tahu. Tapi tidak tahu asal-usulnya.” Tia terkekeh. Aku kembali menghela napas dibuatnya. “Jadi … ”
Awalnya aku ingin bercerita tentang Hari Pahlawan itu, tapi tiba-tiba suara bel berbunyi menandakan kelas sudah masuk. Berbeda dengan hari biasanya, hari ini kami diminta berkumpul di lapangan untuk melaksanakan upacara.
“Nanti aku lanjutkan. Sekarang, ayo kita pergi ke lapangan,” kataku menarik lengan Tia menuju lapangan. Tia hanya pasrah dan menurut.
Selepas pembukaan dan beberapa rangkaian upacara, selanjutnya berisi inti. Yang menyampaikan inti hari ini adalah Bu Ran, kepala sekolah kami. Bu Ran bercerita banyak soal pahlawan zaman dahulu ketika berjuang di Indonesia. Tidak hanya satu pahlawan, namun banyak sekali pahlawan yang Bu Ran ceritakan membuat beberapa siswa mengeluh karena cuaca yang lumayan terik enggan untuk mendengarkan. Awalnya aku dan Tia juga enggan, tetapi ketika didengar lebih lanjut lagi membuat kami ingin terus mendengarkan.
Sejarah pertempuran di Surabaya dahulu juga diceritakan oleh Bu Ran. Aku dan Tia terus mendengarkan dengan saksama. Bu Ran juga tidak membosankan ketika bercerita, kadang mimik wajah dan suaranya berubah-ubah. Itulah yang membuat kami tertarik untuk terus mendengarkan sampai selesai.
Usai mendengarkan, aku melirik ke arah Tia yang tengah tersenyum menatapku. Aku heran kenapa dia menjadi tersenyum aneh begitu.
Selesai upacara kami langsung menuju ke parkiran untuk mengambil sepeda karena jadwal hari ini adalah bersepeda memperingati Hari Pahlawan, Tia mengajakku ke sebuah tempat di sudut parkiran. Ketika semuanya sudah siap dengan sepedanya masing-masing, aku dan Tia justru masih berdiri di sudut parkiran memandang satu persatu orang pergi menggunakan sepedanya.
“Hei, kenapa? Nanti kita ketahuan guru kalau kamu gak cepetan,” kataku panik. Bahkan sekarang semua siswa sudah pergi untuk bersepeda. Menyisakan beberapa guru yang berjaga di sekolah. Sekolah ini sudah sunyi.
“Sekarang aku tahu Hari Pahlawan itu. Ternyata seperti itu ya kenapa Indonesia mempunyai bendera bewarna merah putih.” Tia mulai berbicara. Aduh, hanya itu ternyata. Kupikir akan sepenting apa. “Iya. Dulunya ada tiga warna. Merah, putih, dan biru. Para pejuang Surabaya merobek kain bewarna biru dan mengibarkan bendera merah putih itu.”
“Aku juga jadi ingin berjuang. Bagaimana kalau kita kembali ke zaman dulu?!” Mata Tia berbinar. Aku selalu terkejut dengan tingkahnya yang tiba-tiba. Selalu spontan dan bodoh. Seperti itulah kenyataannya. “Kenapa kamu malah mau kembali ke zaman dulu? Zaman dulu itu banyak pertumpahan darah, hidup juga tidak tenang.” Aku tidak setuju dengan kata-katanya. “Lalu bagaimana caranya agar aku bisa menjadi pejuang?” tanya Tia sedih. Aku terdiam, merasa bersalah karena sudah mengatai Tia bodoh dalam hati tadi. Sebenarnya dia juga tidak bodoh, dia punya tekad yang kuat.
“Pakai cara lain. Berjuang dengan cara belajar. Pahlawan kita dulu sudah mengorbankan banyak untuk negeri ini agar bisa damai dan tenteram. Sekarang Indonesia menjadi tenteram karena jasa mereka. Kita hanya perlu membalasnya dengan belajar giat dan bersungguh-sungguh, lalu buat prestasi untuk membanggakan negeri ini,” kataku sok bijak. Kenapa sok bijak? Karena baru kali ini kata-kata itu terlintas begitu saja terucap dari mulutku. Aku sendiri tidak tahu apakah yang aku katakan barusan benar. “Iya juga.” Dan parahnya, Tia malah mengiyakan perkataanku. “Kita harus banyak belajar untuk membalas jasa mereka. Semangat Raina!” Tia menyemangatiku, membuatku tersenyum simpul.
“Hei kalian yang disana! Kenapa masih di sekolah? Cepat bersepeda!” Tanpa kami sadari, seorang guru yang tidak begitu jelas wajahnya memergoki kami masih berdiri di sudut parkiran. Kami langsung tersenyum kecut kemudian segera mengambil sepeda dan mengendarainya menjauh dari sekolah.
Cerpen Karangan: Muthiah Meira Blog / Facebook: Muthi’ah Yasmin Tsaniyah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com