“Kenapa aku menjadi manusia? “Kenapa aku ada disini?”
Seketika gelak tawa memenuhi ruang kelasku setelah Algara membaca kalimat yang tertera pada secarik kertas di tangannya. Aku hanya bisa tertunduk, membiarkan mereka menertawakanku dan tulisanku, lagi.
“Hahaha, dasar manusia aneh! Lebih enak bermain dari pada memikirkan pertanyaan seperti ini. Kau kurang kerjaan atau bagaimana?” Algara tertawa remeh dengan mengangkat tinggi-tinggi secarik kertas yang baru dibacanya. Aku berusaha merebutnya dengan perasaan kesal dan malu. Aku tidak suka menjadi bahan tontonan seperti ini. “Alga, tolong kembalikan!” Pintaku berusaha bersabar.
Seolah tidak punya telinga, Algara meremasnya menjadi bulatan, kemudian membuangnya ke sembarang arah tanpa merasa bersalah sedikitpun. Pandangan mengejeknya mengarah padaku. Seperti biasa dia selalu menantangku, berusaha memancing emosiku. “Ayo, marah! Marahi aku, Asha. Mari kita lihat bagaimana gadis aneh ini akan marah, benar kan?”
Aku menggeleng tak mengerti. Selalu saja begini. Algara menggangguku semata-mata hanya ingin melihatku marah. “Untuk apa marah? Aku bukan dirimu! Kita terlahir dengan pikiran berbeda, Algara. Mengertilah!” ucapku benar-benar frustasi. “Itu karena kau aneh! Besok-besok apa lagi? Kau akan mencari tau kenapa di dunia ini banyak benda bulat, hah?”
Sekali lagi aku mendengar riuh teman-temanku yang tertawa. Aku hanya memandang mereka dingin. Percuma, seberapa keras aku meggonggong mereka tidak akan mengerti. Aku keluar dari kelas tanpa kata ketika bel pulang berbunyi nyaring. Perasaanku campur aduk. Salahkah jika aku begini? Salahkah jika aku berbeda dari mereka?
Tuhan Tuhan Bisakah engkau beri aku satu saja yang mau mengerti diriku?
Perkenalkan. Aku Ashara Maulidya. Gadis enam belas tahun yang kerap dianggap aneh oleh lingkungan sekitarku. Aku si penyendiri yang tidak punya teman. Aku terisolasi karena pemikiranku tak sama dengan mereka. Tapi tenang saja, aku tidak pernah membenci mereka. Sejatinya aku tidak bisa menyamaratakan pemikiran manusia kan?
Daripada berjalan-jalan menghabiskan uang, aku lebih suka berdiam diri di kamar dengan tumpukan buku motivasi kehidupan ditemani irama rintik hujan dan secangkir teh hangat. Saat malam hari pun aku suka berjalan kaki menyusuri jalan, berpikir banyak tentang dunia dan isinya.
Seperti saat ini aku menghirup udara malam yang terasa sejuk di pembatas jalan. Menatap gelap dirgantara yang bertabur bintang, membuat perasaanku diselimuti ketenangan dan kedamaian.
“Kak Asha? Kakak kok disini?” suara kecil nan imut dari gadis kecil menginterupsi pendengaranku.
Aku menoleh, lantas tersenyum kecil sambil berjongkok. “Rena, Avaril? Kalian ngapain disini?” tanyaku seraya mengelus lembut rambut mereka. Lewat ekor mata, aku melirik kaleng kecil di tangan mereka. Seketika aku paham.
Keduanya menggeleng polos membuatku terkekeh sendu. Tuhan, pakaian mereka yang tak layak dan tubuh ringkih mereka telah menjelaskan bagaimana perjalanan hidup mereka selama ini. Seberapa menyakitkan untuk tetap bertahan? Mereka masih kecil, Tuhan.
“Kalian lapar?” tanyaku langsung karena melihat Avaril meremas kecil perutnya. Keduanya bertatapan sejenak kemudian menggeleng kompak. “Kalian tidak bisa membohongi kakak, anak nakal” aku menjawil hidung Rena dengan gemas. “Aku kakak kalian ‘kan? Jangan sungkan sama kakak, ya?” Mereka mengangguk terbata, disertai senyum lebar yang kontras dengan netranya berkaca-kaca. Aku membelikan mereka dua bungkus nasi goreng di seberang jalan yang langsung diterima oleh dua anak jalanan itu.
“Bawalah pulang, lalu makan, ya? Ingat, kalian harus bersyukur sama Tuhan,” ujarku memberi petuah. “Iya, kak Asha. Nanti rena bakal bilang terima kasih sama Tuhan soalnya udah baik ngirim kak Asha, hehe,” ucap Rena dengan tulus, disertai cengiran lebarnya. Aku benar-benar bangga dengan mereka yang tidak pernah menyalahkan takdir. Tuhan, sepertinya engkau mendidik mereka dengan baik.
Setelah Rena dan Avaril pamit pulang, aku mulai bernostalgia. Sejak kecil aku hidup berdampingan dengan luka. Hatiku terasa mati setiap hari, pun terlahir setiap hari. Aku kesakitan setiap malamnya karena ulah ayah tiriku yang terus mencambuk punggungku jika pulang tak membawa uang. Ibuku sama sekali tidak peduli. Aku hampir sama dengan kedua bocah itu.
Aku sendiri. Aku tidak punya siapa-siapa. Akhirnya aku melarikan diri dari mereka. Sampai sekarang aku hanya tinggal di kontrakan kecil. Sehari-hari aku bekerja sebagai waiters paruh waktu di sebuah kafe. Sekolah pun aku menggunakan beasiswa. Namun aku bersyukur, setidaknya aku masih diberi kesempatan untuk itu.
Aku terus merasa sesak di dadaku dengan mataku yang memanas setiap mengingat alur hidupku sendiri. Tuhan, kuatkan aku. Tuhan, aku ikhlas menerima segala ujianmu. Tuhan, aku percaya engkau sedang menguatkanku.
“Heh, selain aneh kau cengeng juga ternyata.” celetuk remaja yang tiba-tiba disampingku. Aku berjengkit kaget, buru-buru menghapus air mataku. “Algara?” tanyaku tak percaya. Apa yang sedang dilakukannya disini? Dia tak menjawab. Netranya terus menatap lurus padaku. “Kenapa? Kenapa kau begitu baik?” tanyanya tiba-tiba yang terdengar melantur di telingaku. Apakah mulut pahitnya sudah berbuah manis sekarang? Dia kerasukan apa? “Maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
Menghembuskan nafas berat, Algara memandang langit yang bertabur bintang. “Aku sudah melihat semuanya. Kau, anak jalanan, kehidupanmu. Kenapa kau mau membantu mereka? Aku yakin zaman sekarang tidak ada orang mau repot untuk hal seperti itu.” jelasnya tenang. Aku mengernyit. “Kau ini kenapa? Tumben sekali,” “Jawab saja,”
Aku terdiam, kemudian mengendikkan bahu. “Entahlah, mungkin aku terlahir dengan jiwa mereka, atau pernah menjadi mereka. Lagipula, kebahagiaanku hanya terdapat pada senyum mereka, Algara,” jawabku jujur.
Algara menoleh dengan senyum lebar yang mungkin pertama kali kulihat. “Aku mengagumimu, Asha. Maaf untuk perbuatanku selama ini. Aku selalu mengganggumu karena hanya ingin bisa bicara denganmu. Maafkan aku,” katanya penuh ketulusan. “Aku mengerti dirimu,” lanjutnya.
Aku terdiam kembali. Tuhan. Aku tidak tau takdir-Mu. Tapi pengajaran hari ini luar biasa. Ya, kita tidak boleh menilai sesuatu dari satu sudut pandang saja. Terima kasih, Tuhan
Cerpen Karangan: Julia Firdaus SMA NEGERI PLOSO 16 tahun @ji_jiave