Kegelapan menelanku. Kemudian seperti dipertontonkan sebuah drama, aku menyaksikan hidup yang aku lewati selama 18 tahun ini. Bergelung dalam kenangan dari ingatan yang tersimpan rapi dalam memori otakku. Berbagai emosi itu menyelimutiku. Dominan rasa sedih, kecewa dan hampa.
Itu aku. Hanya seorang tokoh yang tersisih perannya. Bahkan di dalam kisah yang seharusnya milikku. Aku bayangan bagi mereka. Aku nyata hanya untukku sendiri. Kasih sayang itu apa? Mengapa aku merasa tak ada? Aku dipaksa bungkam terus-menerus. Kataku pernahkah terdengar? Atau tepatnya didengar? Membisu, padahal lidahku berfungsi dengan utuh.
Keluarga apa? Tak ada penopang seperti itu. Aku lemah, mentalku cacat. Ma, pa, aku ini apa? Anakkah? Atau sampah yang tak sengaja ada? Mengapa rasa-rasanya aku selalu salah. Berusaha membuat kalian bangga itu seperti omong kosong. Nyatanya aku seperti aib bagi kalian. Apa yang salah?
Aku ingat, tak sengaja aku menjatuhkan sebuah gelas. Selanjutnya bibirku menyusul. Telapak tangan mama lembut, namun terasa perih. Boleh kugenggam sebentar? Sepertinya tak boleh. Tak apa ma, aku senang merasakan tangan mama di pipiku. Meski bukan elusan sayang, kuanggap itu tanda cinta mama agar aku tidak ceroboh.
Maaf, tak bisa menjadi kebanggaan kalian. Maaf karena aku ada. Aku menyerah ya. Aku sudah lelah. Biarlah aku tenggelam dalam gelap itu.
“Sayang, bangun nak.”
Terima kasih telah mengatakan itu ma. Aku bahagia, maaf tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku terlalu lelah.
Cerpen Karangan: Pita Aprillia Blog / Facebook: Pita.Apr.