“Kamu suka Cinderella, kan? Ingat kata ibu Cinderella, have courage and be kind” “Kamu kan anak kuat, Abira. jangan nangis, ya”
Abira Danielle Gavrilla, gadis yang kerap disapa Rara ini tersentak dari tidurnya dengan napas yang terengah, serta peluh yang membasahi dahinya. Ia bangkit dan mengambil segelas air putih di nakas samping ranjang tidurnya.
Dilihatnya jam digital yang masih menunjukkan pukul 05.00 subuh. Masih terlalu pagi sebenarnya, namun agenda hari ini masih sama; sekolah, les kimia, fisika, dan matematika, serta mengerjakan pekerjaan rumah dan beberapa latihan soal pada sisa harinya sebelum tidur.
Abira memang bukan anak kutu buku. Bukan juga si kacamata tebal, ataupun si cupu. Tak ada cacat dalam penampilan fisik, akademik, maupun nonakademik dalam dirinya. Semua orang di sekolah mengenal Abira Danielle Gavrilla, dan itu menjadi kebanggan bagi ayahnya. Ya, ayahnya.
Abira segera mandi dan bersiap siap untuk pergi sekolah. Ia sangat gugup. Pasalnya, hari ini ada pengumuman nilai ulangan matematika mereka yang minggu lalu.
“Rara!” panggil seorang gadis mungil berponi saat melihat Abira yang baru saja melewati gerbang sekolah. “Nilai matematika minggu lalu udah keluar. Yuk, liat bareng!” Belum ada persetujuan yang keluar dari mulut Abira, namun Olivia, gadis bertubuh mungil berponi itu sudah menarik tangannya ke kelas.
Di meja guru, sudah terdapat kertas HVS yang berisi nilai hasil ulangan matematika murid kelas 10-1 minggu lalu. Abira mencari namanya dan jemarinya berhenti sejenak pada nilai 99. Itu adalah nilai tertinggi di kelasnya.
Terdengar tepukan selamat dari teman-teman untuknya. Gadis itu tetap tersenyum ramah seperti biasa. Abira yang hampir mendekati kata sempurna! Begitulah kata mereka.
Abira baru sampai di rumah pukul 6 sore. Langkahnya terhenti sejenak saat melihat mobil ayahnya yang terparkir di depan rumah.
Ia kembali berjalan masuk ke dalam pekarangan rumah sembari menghela napas panjang. “Sore, Pa” Pandangan Gideon tetap datar seperti biasanya namun tersirat akan ancaman. “Belajarlah lebih baik” Kaki Abira serasa lemas, laju jantungnya berpacu, dan sekujur tubuhnya mulai bergetar. Dirinya penuh dengan emosi, namun Abira kesulitan untuk menyampaikannya. Selalu kesulitan. “Iya, Pa” Hanya kata itu yang bisa ia ucapkan.
Abira membawa langkahnya masuk ke dalam kamarnya. Meletakkan tas sekolahnya dan pergi ke kamar mandi. Dinyalakannya shower air panas tanpa menanggalkan seragam sekolah unggulan yang masih melekat sempurna di tubuhnya.
Gadis itu hanya berdiri di bawah guyuran air panas itu. Diam, hanya diam. Uap panas mulai menyebar pada kaca shower yang mengelilinginya. Rasanya panas. Namun, tak ada niat dari abira untuk berhenti.
Detik selanjutnya, rasa panas yang menyengat itu kian berubah menjadi rasa nyaman. Semakin lama, dirinya mulai merasa lega karena rasa sakit tidak menyenangkan yang ia rasakan sekarang ini, berubah menjadi rasa tenang.
Sorot Abira sekarang, memperlihatkan dimensi gelap tak berujung, hampa.
“Itu hanya kurang 1. Pa, itu bahkan hanya beda 1”
Abira. Artinya gadis yang kuat. Namun mengapa Abira Danielle Gavrilla mudah menyerah begitu saja?
Cerpen Karangan: Si Januari