Sudah dibuat terheran-heran orang menghadapinya. Lelaki yang bernama Joni itu masih saja setia berkawan dengan kursi ruang tamunya. Duduk tentram dan menyaksikan apa saja yang terjadi di luar sana melalui televisi setiap harinya. Barangkali ada yang akan membuatnya tergerak untuk melakukan sesuatu. Kenyataannya, ia tetap terdiam dan membisukan diri. Keinginan untuk tumbuh lebih baik sudah membeku, sepenuhnya membiarkan perjalanan hidupnya berlangsung begitu saja. Joni nampaknya sudah benar-benar tidak peduli dengan beragam kecaman yang pernah menghampirinya hingga memasuki umur kepala tiganya saat ini. Di saat banyak orang yang sedang berlomba-lomba memantaskan diri menjadi sosok yang diidamkan, Joni hanya sibuk memikirkan cara bagaimana ia bisa menetap lebih lama bersama ketidakacuhannya.
Rumah yang tidak seramai dulu sepertinya membuat Joni semakin terperangkap dalam kesunyian. Pintu kamarnya yang tadinya kerap mempersilahkan Joni untuk selalu bercengkrama dengan kakak kandungnya, sekarang ikut serta menenggalamkan segala hiruk pikuk yang pernah hinggap. Orang-orang yang sangat disayanginya itu telah pergi seenaknya. Teriris langsung batin Joni setiap mengingat betapa beraninya kedua kakak kandungnya meninggalkan dia seorang diri tanpa memberikan sepatah kata yang seharusnya ia dengarkan. Hidup memang menawarkan sejumlah pilihan dan ini membuat Joni sangat geram melihat semua kakaknya tidak ada yang lihai dalam memutuskan pilihan.
Jika dibandingkan, sejujurnya kakak keduanya, Danu, sedikit lebih berperasaan. Pada beberapa sore setiap akhir pekan, Danu sesekali mengajak Joni mengitari jalanan di sekitar rumah mereka. Sama halnya anak-anak muda pada umumnya, mereka juga memiliki tempat favorit untuk saling bercerita dan bertukar pikiran. Di sinilah kenangan manis Joni bersama kakak kandung keduanya itu banyak terukir.
Suatu ketika selama perbincangan berlangsung, Danu tiba-tiba memasang ekspresi wajah paling seriusnya. Joni jelas terkesiap bukan main. Ia tahu betul kalau Danu sedang menyiapkan dirinya untuk mengutarakan sesuatu yang harus disimak seksama. “Jon, seandainya kamu nanti terpaksa menjalani hidup sendirian, kamu akan bagaimana?”, tanya Danu.
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Danu tersebut, Joni berusaha menstimulasi kinerja isi kepalanya sekeras mungkin agar bisa menjawabnya. Sudah terlalu lama Joni tidak bekerja sama dengan akal sehatnya untuk mengkritisi segala hal yang patut dikritisi, termasuk dia.
Danu sukses mengobrak-abrik batin Joni dalam paduan kata yang sangat mengharapkan sebuah reaksi yang lebih dari biasanya. Namun, Danu ternyata tidak bisa membuat nyata harapannya itu. Joni masih saja terdiam sambil sesekali menyeruput kopi yang selalu ia pesan. Sebenarnya, Danu sudah terlampau lelah menerka-nerka gelagat Joni yang seolah membodohi dirinya sendiri. Ingin meluapkan emosinya yang sudah membara. Tetapi, tidak bisa. Danu merasa tidak pantas untuk melakukannya.
Banyaknya pergantian siang dan malam yang dilalui tidak membuatnya menjadi lebih baik dari adiknya. Yang lebih disayangkan lagi, hari itu rupanya mengakhiri pertemuan dua mata yang saling mengasihi namun pada akhirnya tidak ada satupun yang bergumam dengan semestinya. Sampai pada hari-hari selanjutnya Joni menemukan secarik kertas di meja samping tempat tidurnya. Benar saja, Danu memutuskan untuk pergi jauh yang Joni tidak tahu kemana tujuannya. Kakak keduanya itu ingin menjalani hidup di tempat yang berbeda, entah sampai kapan. Semua ini ia tuliskan dalam secarik kertas yang ada di meja tersebut.
Dipikir-pikir lagi, kakak pertamanya, Bari, tidak sepenuhnya pergi meninggalkan Joni. Ia bersemayam bersama istrinya di daerah yang diketahui pasti Joni masih bisa menjangkaunya. Mau tiba-tiba membuat kegaduhan agar kakaknya itu sadar akan keberadaan dirinya, Joni sebetulnya memiliki peluang yang cukup kuat. Namun, ia terlalu takut. Bukan kepada kakaknya, akan tetapi kepada kenyataan hidup yang mengharuskannya mengarungi berbagai sepak terjang yang mungkin lebih kejam.
Sedari sebelum menikah, Bari terbiasa menunjukkan ketidakacuhannya, kelihatannya seperti tidak ada apa-apa. Mengerti akan hal itu, Joni enggan menyusun harapan lebih untuk kakaknya. Dibelikan makanan saja, tanpa ada bumbu yang tertoreh agar mereka bisa saling menyuarakannya, Joni sudah cukup bersenang hati. Kebisuan begitu tega mengusik ia dan kakak-kakak kandungnya.
Cerpen Karangan: Belaniza Safira Blog: firanizasafira.blogspot.com