Kepulan asap rokok memenuhi seisi kamarku. Asap yang terbang beriringan dengan apa yang telah aku pikirkan. Ah, angan-angan kosong berterbangan. Sesaat aku melirik slempang wisuda yang menggantung disamping foto diriku memakai toga. “Sampai kapan aku seperti ini” gumamku.
“Kreek” suara pintu kamarku terbuka, ternyata ibu mengintip dari balik pintu, lalu menutupnya kembali. “Aku tahu maksud itu” gumamku. Aku beranjak dari kursi kayu itu, keluar dan menemui ibu. Kupijit-kupijit pundak ibuku yang sedang memasak sambil berkata “sabar ya bu, beri saya waktu”. “iya, tidak apa-apa” kata ibu dengan sabar. “Buk, aku ingin membantu ibu memasak, saya harus apa?” “oh iya boleh, iris tuh bawang sama wortelnya ya”
Aku pun membantu ibu memasak di dapur pagi itu. Ibu, satu-satunya orang yang paling mengerti aku. Supportnya tidak pernah berhenti mengalir, walau aku kerap kali terjatuh. Apalah aku yang pengangguran yang penuh dengan keputusasaan, walau sebenarnya bisa saja aku melamar lagi kesana kemari, tapi aku memilih tidak dulu, sebab sudah tiga kali lamaranku ditolak. Status masih lajang pula, bangun masih sering kesiangan, dan sampai berpikir bahwa aku bukan manusia yang bisa diandalkan.
Aku adalah anak tunggal. Ayahku meninggal waktu aku masih SMA kelas 2, beliau meninggal karena kecelekaan. Aku hanya tinggal bersama ibuku. Satu-satunya penghasilan untuk kehidupan kami sehari-hari hanyalah toko kelontong di depan rumah. Maka dari itu, bila aku merantau melamar kerja ke luar kota, pengeluaran ibu semakin banyak. Memang, kenyataanku tak sehebat anganku. Betapa panjang angan diriku waktu itu ketika aku punya target harus dapat pekerjaan dan menjadi orang yang kaya raya, sampai aku pernah menolak tawaran Pak Bandi untuk bekerja di Yayasan Dana Sosial Al-Ikhlas yang padahal jaraknya tidak jauh dari rumahku. Pak Bandi sendiri merupakan teman sekolah ibuku dulu. Aku menolak tawaran itu lantaran gajinya yang sedikit. Dan saat itu aku memilih harus bisa mendapatkan pekerjaan sendiri tanpa bantuan “orang dalam”.
Suatu hari aku putuskan harus keluar dari zona nyaman ini. “Apakah aku yakin? Apakah aku akan jatuh ke lubang yang sama? ini keempat kalinya aku melamar kerja, bismillah ini kesempatan terakhirku” pikirku dalam hati. Di atas itu semua, aku percaya takdir Allah. Atas kehendak Allah, tidak ada yang tidak mungkin. Aku ceritakan ke ibu kalau aku ingin merantau dan mencari kerja lagi ke luar kota.
“sebenarnya ibu masih ingin kamu tetap disini Vin, nanti siapa yang bantu ibu memasak, siapa juga yang jaga toko depan” kata ibu sambil terlihat wajahnya seperti tidak ingin aku pergi. “buk, saya gak bisa terus-terusan seperti ini, apakah ibu tidak malu apa kata orang tentangku kalau saya terus-terusan seperti ini?”.
Ibu terdiam, lalu berkata “tidak Vin” “Ibu mungkin tidak malu, tapi saya tahu ibu menaruh harapan besar padaku. Ingatkah ketika ibu menceritakan kesuksesan anaknya Bu Mirna, Bu Sulis, Bu Yanti padaku? jujur saya malu pada diri sendiri karena tidak bisa jadi seperti mereka!” kataku dengan nada agak tinggi dan bergetar.
“untuk sekarang, ibu sudah bangga dan bersyukur kok sama kamu nak. Kamu tidak perlu jadi orang lain, jadilah dirimu sendiri dengan segala ikhtiarmu” ucap ibu, sambil menepuk pundakku. “ibu, teman-temanku banyak yang sukses. Saya beberapa bulan lalu dibuat sakit hati sama mereka waktu reuni akbar SMA angkatanku. Mereka menyindir keadaanku yang menganggur ini.” Ucapku dengan suara gemetar dan mataku pun berkaca-kaca.
“Menyindir gimana?” Tanya ibu “Kami kumpul dan mereka saling membanggakan pekerjaannya masing-masing, ada yang jadi meneger lah, ada yang gajinya sepuluh juta per bulan lah. Nah sementara aku… aku… aku hanya pengangguran yang ditolak melamar kemana-mana bu. Yang paling sakit pas ada teman yang menyindir, kemiskinan dan pengangguran terjadi karena orang itu bodoh dan malas.” Akhirnya butiran bening itu pun menetes di pipiku.
“saya minta maaf bu, persembahan terbaikku kepadamu hanya wisudaku. Saya bangga bisa berfoto bersamamu”. Lanjutku terisak-isak sambil memeluk ibu.
Ibu yang terlihat iba kepadaku, dia mengelus punggungku sambil dan bertanya, “haruskah omongan mereka kamu masukkan ke hati”. “sama bu, haruskah omongan Bu Yanti, Bu Sulis itu ibu masukkan ke hati ibu, sampai kesuksesan anak-anak mereka seolah jadi pembanding keadaanku?” .
Ibu pun terdiam lalu menanyakan tentang tawaran Pak Bandi kepadaku beberapa waktu lalu “Kevin, apakah kamu masih menolak tawaran Pak Bandi?”.
Aku langsung terdiam. Tawaran lama yang tidak pernah terpikirkan sama sekali itu, mendadak menjadi seperti angin segar bagiku. Emosiku saat itupun langsung berubah. Seolah air mataku yang jatuh barusan seperti ikut membuang kebodohan yang melekat di otakku selama ini. Angan-angan terlalu tinggiku yang dulu itu seakan sirna begitu saja. Tangisku pun mulai terhenti.
“aku mau buk!” Jawabku dengan sedikit semangat, “tapi tawaran itu kan sudah lama, memangnya Pak Bandi masih mau?”. “Justru Pak Bandi kemarin silaturahmi kesini sekaligus menanyakan kabarmu, dan menawarkan pekerjaan ini kembali. Tapi, ibu gak berani bilang ke kamu, kamu kan keukeuh pingin kerja di luar kota, jadi ibu bilang ke Pak Bandi kalau kamu masih merintis” kata ibu. “baik bu, aku mau” jawabku sambil tersenyum.
Pak Bandi, seorang ustadz sekaligus pengasuh pondok pesantren Al-ikhlas, memang memiliki kepedulian yang tinggi kepada keluarga kami semenjak kami ditinggal oleh ayahanda tercinta. Enam bulan sudah, aku bekerja di sebuah yayasan sosial milik pondok pesantren Al-Ikhlas di bagian staf umum. Pandanganku soal hidup dan dunia sangat berubah drastis. Lingkungan yang agamis membuat aku hijrah dalam banyak hal. Hari ini aku benar-benar berhenti merokok. Daripada aku membuang uangku untuk rokok, aku lebih senang menabungnya dan sebagian aku sumbangkan untuk yayasan. Aku yang biasanya sholat bolong-bolong dan sering membohongi ibuku jika ditanya sudah sholat apa belum, kini aku semakin takut meninggalkan sholat dan aku selalu mengajak ibuku sholat berjamaah jika aku di rumah.
Bukan suatu kebetulan aku bekerja di tempat ini, bukan suatu kebetulan pula aku dipertemukan oleh Pak Bandi. Inilah takdir Allah yang luar biasa. Aku merasa bahagia bisa bekerja disini. Syukur, syukur, syukur kepada Allah, kalimat alhamdulilah senantiasa kuucap dengan penuh penghayatan dan penuh kesadaran akan besarnya nikmat karunia yang Allah berikan kepadaku setiap hari. Karena dengan rasa syukur itu pula, tidak ada lagi rasa malu ataupun gengsi dalam diriku. Tidak peduli gajiku berapa, Yang jelas sangat cukup untuk kehidupan sehari-hari ditambah penghasilan dari toko kelontong milik kami.
Suatu malam di ruang sholat sehabis sholat isya berjamaah bersama ibuku, aku bertanya pada ibu, “ibu sudah dengar kabarnya anak Bu Yanti?” “iya nak, kasihan beliau” “iya bu, padahal gaji anak Bu Yanti perbulan bisa puluhan juta. sekarang dua mobilnya, sepeda motornya, barang-barang elektroniknya harus dijual semua karena terlilit hutang. Ya Allah, kasihan banget beliau, semoga Allah segerakan angkat bebannya”. Ucapku dan ibu mengangguk lalu mengamini.
Setelah kami bercerita tentang anak Bu Yanti, aku berkata “sekarang kita tahu kan bu, mungkin kita iri melihat orang karena hartanya yang melimpah, siapa tahu justru dia yang iri melihat kita yang sederhana hidupnya ini tapi penuh dengan ketenangan. Benar kata Pak Bandi, hilangkan gengsi, perbanyak syukur, itu yang aku pegang sekarang. Sungguh aku dulu tidak pernah menyadari itu. Ibu, izinkan aku meminta maaf untuk kesekiankalinya”.
Mataku berkaca-kaca dan aku pun salim kepada ibuku yang tangannya masih tertutup mukenah itu, lalu ibu mengecup keningku. Sungguh, aku tidak membenci teman-teman yang berpendapat bahwa orang miskin identik dengan bodoh dan malas, mereka hanya belum tahu, mereka hanya menganggap indikator kesuksesan hidup adalah menjadi kaya raya. Aku yakin suatu saat mereka akan mengerti. Dan aku berdoa kepada Allah supaya saudara-saudaraku dijauhkan dari kesombongan duniawi.
Cerpen Karangan: Deliar Noor Ikhsan Facebook: Deliar Noor Ikhsan Banyuwangi, 060121