Sajadah biru tua polos satu-satunya bekas milik ibuku sudah dicuci oleh ibu tadi pagi lalu dibentangkan di atas seutas tali jemuran yang dikaitkan di antara dua pancang kayu kajaran di belakang rumah. Ujungnya berkibar-kibar macam bendera tiap upacara hari Senin di halaman Madrasah Ibtidaiyah, karena ditiup oleh bibir angin. Kedua mataku tidak pernah kualihkan kepada benda lain selain ke arah sajadah biru tua itu dengan penuh kagum. Betapa tidak tadi pagi ada sebuah keinginan yang selama ini kueramkan di dalam lubang kecil hatiku yang kusampaikan kepada ibu dan nenekku, yaitu aku ingin shalat berjamaah. Kedua manusia yang selama ini setia merawatku sejak Bapak pergi ke rumah istri tuanya, sangat girang mendengarnya bahwa anak ingusan berusia tujuh tahun ini akan belajar shalat. Lantas laksana seorang ibu yang sedang mempersiapkan barang-barang keperluan anak bujangnya yang akan pergi ke medan perang, ibu dengan sigap langsung mengobrak-abrik seisi lemari pincang, karena salah satu kaki penyangganya patah karena dimakan habis oleh rayap, untuk mencarikan buatku peralatan shalat. Dan akhirnya beliau menemukan benda yang sangat berharga di masa kecilnya dulu, selembar sajadah yang dibulatkan macam cerutu raksasa. Lalu ia kibarkan sajadah tersebut di hadapanku dan aku temukan di ujungnya telah berlubang dimakan tikus lemari.
Selain selembar sajadah, nenekku juga telah menyiapkan selembar baju koko yang warnanya sudah kusam dan ada bekas air hujannya hingga warnanya tampak kekuningan. Tapi seperti seorang pesulap ulung nenek langsung melemparkannya ke dalam bak cucian yang sudah diberi krim deterjen. Lalu baju tersebut dikuceknya dengan tangan dan diolesinya noda kuning tadi dengan garam asem yang diyakini sangat ampuh untuk mengembalikan warna putih pada pakaian. Zaman dulu masih belum ada cairan Vanish. Masih garam asem atau memakai cuka. Setelah dikuceknya beberapa kali dan noda kuning tadi hampir seratus persen hilang, baju koko itu dijemurnya bersebelahan dengan sajadah biru ibu. Selain itu selembar kain sarung kusam warna hijau tua berlomba menahan diri dari sengatan sinar matahari yang menyala-nyala seperti lidah Rahwana yang menjilat-jilat bumi.
Perlahan tapi pasti, cahaya matahari beranjak naik merayapi tubuh senja yang kian menguning. Bayang-bayang hitam benda-benda yang ada di bumi sudah mulai kelihatan. Ibaratnya lakon pewayangan hari ini akan segera usai. Dan manusia tidak ada yang tahu, siapakah di antara wayang-wayang yang tadi berakting di atas layar kehidupan akan dirumahkan ke dalam peti oleh Sang Dalang. Sungguh sebuah rahasia yang tidak bisa ditebak-tebak apalagi diminta. Sungguh, kematian tidak usah diminta karena apabila sudah tiba waktunya dipensiunkan dari dunia pewayangan, maka kita pasti akan dimasukkan ke dalam peti yang gelap gulita bersama wayang-wayang yang lain.
Dag-dig-dug jantungku ketika suara shalawat penanda akan masuknya azan waktu shalat Maghrib mengalir di udara dari corong TOA milik surau tua yang berada di kampung sebelah. Suara indah Ustad Nanang Qosim mengalun-ngalun di kendang telinga. Aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadap Tuhan, untuk pertama kalinya. Mandi sejak pukul lima tadi atau setengah jam sebelum waktu shalat tiba. Lalu aku memakai baju koko yang sudah kembali putih seperti sedia kala. Dipadu dengan kain sarung warna hijau tua dan sebuah kopiah hitam menclok di kepalaku. Aku bercermin di depan kaca sambil mengucek-ngucek kedua mata dengan tangan seolah-olah aku tidak percaya kalau di cermin itu adalah aku.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!,” suara azan melengking-lengking dari corong TOA membesarkan nama Tuhan padahal dia tidak tahu apakah Tuhan itu besar atau kecil. Sebab Tuhan Maha Ghaib. Itu kata si muazin. Kalau menurutku, Tuhan itu ada tapi tidak ada. Dan aku sendiri masih bingung, dimana keberadaan Tuhan selama ini.
Pada saat yang sama, seorang ustadz langgaran menunjukkan batang hidungnya di depanku. Penampilannya sangat berwibawa. Selembar gamis panjang sampai terjuntai nyaris menyentuh tanah menutup tubuhnya. Tentu pula ia mengenakan kain sarung. Sebab kalau tidak pakai sarung bahaya kalau sedang sujud. Sebuah kopiah putih menclok di kepalanya dan nyaris membungkus rambutnya. Lalu yang terakhir, selembar kain sorban terselempang di bahu kanannya. Sedangkan jari-jemari tangan kanannya sibuk memilin-milin biji tasbih.
“Kyai Zayadi sudah berangkat!,” kata nenekku memberitahuku supaya aku lekas mengikuti langkah kyai langgaran yang selama ini dijadikan salah satu pemuka agama di kampungku. “Kalau begitu aku berangkat ke musallah dulu ya, Mak!,” aku pamitan pada nenekku yang biasa aku panggil Emak, dan juga pada ibu yang duduk di sebelah emak di atas bale-bale bambu di belakang rumah kami yang juga berdinding anyaman bambu. “Ikuti gerakan shalat yang dicontohkan oleh Kyai Zain!,” pesan ibuku ketika aku berjalan di belakang Kyai Zain yang berjalan lambat macam orang lagi thawaf. “Iya, Bu”
Ketika azan Magrib selesai, akhirnya Kyai Zain yang diiringi olehku seperti seorang raja yang diiringi oleh prajuritnya yang kebagian memayungi sang raja, tiba di mushalla kecil yang letaknya berada di timur rumah, tepatnya di RT sebelah. Di dalam sana para jamaah sudah menunggu kedatangan Pak Imam yang sudah dipercaya selama puluhan tahun menjadi imam sekaligus pemuka agama di sana. Mereka sangat khusyuk-masyuk melantunkan lagu puji-pujian kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw. “Lailaha illallah almalikul haqqul mubin, muhammadar rasulullah, shadiqul wabil hamim. Abu Bakar sahabat Nabi, Umar-Utsman-Sayyidina Ali, Nabi Muhammad Kanjeng Nabi, Allah Ta’ala kang moho suci…”
Aku mengikuti lirik-lirik lagu pujian kepada Kanjeng Nabi Muhammad dengan lipsinc meski salah terus. Kedua mataku plengak-plengok ke penjuru isi dalam musalla. Meski aku sudah mengenal jamaah musalla, tapi aku belum kenal dengan Yang Empunya musalla, yaitu Gusti Allah. Kadang aku ada merasa rada-rada malu dan sungkan. Kok bisa-bisanya ya aku datang ke musalla, rumah-Nya untuk melaksanakan shalat. Apakah aku sudah mengaca kepada diri? Apakah Gusti Allah memanggilku? Aku merasa tidak. Gusti Allah bukan memanggilku. Aku merasa tidak pernah diundang oleh-Nya. Lantas kalau aku tidak mendapat undangan dari-Nya, kenapa kakiku membawaku menginjak musalla?.
Tibalah waktu shalat. Aku berdiri di shaf kedua. Di sebelah kananku berdiri seorang bapak-bapak dengan tubuh kurus macam cagak pohon kelor, dahi menonjol, hidung mancung, gigi agak tonggos macam anoman, dan rambut keriting macam mi ayam. Saat takbiratul ihram tubuhnya bergoyang-goyang ditiup angin dari luar. Sedangkan di sebelah kiriku berdiri seorang mas-mas yang tubuhnya tak kalah kurus dari bapak-bapak di sebelah kananku. Wajah mereka juga hampir mirip. Suaranya juga sangat mirip. Tubuhnya juga bergoyang-goyang diembuskan angin. Usat punya usut ternyata mereka berdua memang masih bersaudara. Bapak-bapak itu masih pakliknya alias sepupu dari bapaknya. Dan di atas selembar sajadah biru tua itu aku berdiri yang entah apa yang harus aku baca. Mulutku juga ikutan merapal bacaan yang sama sekali tidak aku mengerti.
Isya’nya pun juga begitu. Aku kembali berjalan di belakang Kyai Zain yang sangat dihormati seumpama emban yang selalu mengikuti kemana tuannya pergi. Aku benar-benar mirip seorang kacung yang mengikuti kemana indak semangnya pergi sesuka hatinya. Tapi ketika sudah masuk waktu shalat, aku berdiri di barisan paling pojok dekat dengan jendela musalla yang masih menggunakan kaca riben putih bening yang bergelombang sesuai motif. Dan akupun kembali terpontal-pontal saat membaca doa-doa mulai dari awal shalat hingga selesai salam. Kalau makmum menjawab amin, aku juga ikutan menyahut amin. Kalau imam rukuk, aku pun juga ikutan rukuk. Kalau imam duduk, ya aku juga ikutan duduk. Kalau imam menguluk salam, aku pun menguluk salam. Jadi intinya aku menjadi anak beragama muslim yang ikut-ikutan.
“Shalat itu apa sih, Mak?,” tanyaku keesokan harinya kepada emak yang sedang sibuk memetik daun kangkung yang mau ditumis dengan tempe dan udang. “Shalat itu sembahyang, Le,” jawab emak sekenanya sambil terus memandangi kangkung-kangkung dipreteli di dalam baskom keranjang plastik. “Sembahyang itu apa?,” aku masih diselubungi rasa penasaran. “Sembahyang itu menyembah Gusti Allah” “Allah itu siapa, Mak?” “Allah itu nama Tuhan, Le” “Tuhan itu siapa?” “Tuhan itu yang menciptakan makhluk dan alam beserta isinya. Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan makhluk. Yang Maha Memberi hujan, rezeki, dan segalanya,” jelas emak menuturkan.
Aku masih ragu dengan sesuatu yang bernama Tuhan itu. “Lalu Tuhan itu dimana, Mak?” “Di atas langit”
Aku lantas mendongak ke atas langit. Tapi aku tidak melihat sesuatu yang emak bilang Tuhan itu kecuali burung-burung yang terbang sambil beratraksi, awan-awan gemulai, langit biru, dan matahari. Aku sama sekali tidak menemukan Tuhan. “Dimana, Mak” “Ya di langit, Le,” kali ini emak beringsut ke tempat bak air untuk mencuci kangkung supaya bersih dari zat pestisida. “Di langit mana, Mak. Nggak ada Tuhan” “Hehehe. Nanti kamu akan tahu dengan sendirinya dimana keberadaan Tuhan. Dan kenapa nama Tuhan adalah Allah,” tukas emak seraya tertawa terkekeh-kekeh.
Itulah pelajaran pertama bagi seorang anak yang baru saja belajar shalat. Dia terlihat bersemangat ke musalla dengan sajadah biru ibunya. Tapi dia tidak mengenal agama juga tidak mengenal nama Tuhan. Lebih-lebih dirinya sendiri. Oh sajadah biru. Pikirannya sebiru sajadah itu.
Selesai di Probolinggo, Desember 2020. Naskah ini dipetik dari novelet antologi berjudul Kumpulan kisah-kisah hikmah penggugah jiwa berjudul Mengapa Harus Kanjeng Nabi? Karya Khairul Azzam El Maliky.
Cerpen Karangan: Khairul A.El Maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliky Khairul A.El Maliky, Author dan Tim Penulis fiksi Penerbit Maharani dalam buku Antologi Cerpen Muara Kasih Bunda dan Rain The Story in December (2021).