Ketika itu, langit Jakarta sudah gelap. Hujan deras tidak berhenti sejak sore tadi. Walaupun begitu, jutaan manusia tetap menjalankan aktivitasnya. Hidup tidak bisa berhenti hanya karena hujan tiba.
Sepasang manusia, suami-istri, juga terlarut dengan kesibukannya, sama seperti jutaan manusia lainnya. Sang suami, Yuda, terdiam, berdiri di sebuah bengkel di pinggir jalan Kalimalang, menatap hujan. Sang Istri, Dian, terjebak kemacetan di sekitar daerah Kebun Jeruk, juga diam. Tampak keduanya sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing.
—
Hari ini gua sial banget kayaknya. Gak gak gak, bukan cuma hari ini, sepanjang tahun ini gua selalu dipenuhi sama kesialan. Awal tahun ini, gua resign dari tempat kerja karena gua ngerasa gak pernah sejalan sama atasan-atasan gua. Sepanjang tahun gua coba ini dan itu, belajar ini dan itu tapi gak ada yang berhasil. Terus hari ini lagi, hujan deres, motor rusak, dan di dompet cuma ada 12 ribu, sampe gua terpaksa harus hubungin istri untuk minta jemput.
Aaah istri, kalau misalnya ada fit and proper test buat jabatan istri, kayaknya istri gua gak akan lulus deh. Beberapa hari yang lalu, dia kirm anak-anak ke rumah mertua di Karawang buat liburan, tanpa diskusi sama gua coba. Awalnya gua marah, terus gua pikir, mungkin alasan dia kirim anak-anak ke Karawang supaya kita bisa romantis berdua. Tapi gak, dia tetep kerja aja kayak gak ada besok. Ini tadi aja, entah sampe berapa kali gua telepon istri tapi gak diangkat-angkat. Pas diangkat, katanya lagi rapat tadi, tapi kantor mana coba yang rapat jam 7 malam. Gua pernah kerja di kantoran dan gua gak pernah rapat sampe jam 7 malam.
Bohong kalau gua bilang gua gak pernah curiga sama istri gua. Pertama, entah kapan terakhir kali kita berhubungan badan, 5 atau 6 bulan? Atau lebih dari itu mungkin? atau paling gak ngobrol hal lain selain, cicilan atau tagihan ini itu setiap bulan. Kedua, dia udah gak nurut lagi dan pandangan istri ke gua, ya ampun, that freaking judgy eyes, gua bener-bener ngerasa jadi sampah karena pandangan itu. Trus yang ketiga, Dani. Nyebut namanya aja gua udah jijik. Kalau memang istri gua selingkuh, nama Dani yang akan muncul pertama kali. Dia pernah beberapa kali nganter istri gua ke rumah pas mobil di bengkel, dan gua ngeliat pandangan dia ke istri gua, pandangan mesum. Padahal ada gua di deket istri gua ketika itu.
Tapi sebenernya, hal yang bener-bener gua harapin dari istri gua saat ini adalah supaya lebih suportif. Sepanjang tahun ini bukan tahun yang baik buat gua. Gua butuh waktu dan dukungan emosional supaya gua bisa bangkit lagi, dan gua pikir istri gua gak akan bisa seperti itu.
Gua pengen cerai
—
Aku capek banget hari ini. Pak Dani, gara-gara dia, meeting jadi berantakan tadi. Aku dan beberapa temen lain sudah bilang, ada yang salah sama mata bapak itu yang mestinya diperiksakan ke dokter. Aku tahu pandangan bapak itu sudah tidak jelas, jadi kalau memandang orang dari jauh, seperti menantang mengajak duel satu lawan satu. Tapi entah kenapa bapak itu kayaknya takut sama dokter dan rumah sakit. Padahal, seminggu lalu, dia sempet menabrak mobil di depannya setelah mengantarkanku ke rumah, karena aku protes harus lembur dan tidak ada uang lembur padahal mobilku lagi di bengkel.
Ada satu lagi laki-laki yang bener-bener buat hidupku susah, suamiku. Manusia berkostum celana kolor dan singlet lusuh yang selalu memegang joystick, sibuk main game. Aku bingung, aku menikah dengan laki-laki yang selalu rapih, pandai menjaga badan, berwibawa dan penuh dengan kepercayaan diri tapi setelah 6 tahun yang muncul adalah monster besar tak bercelana yang melekat erat dengan sofa depan TV.
Sejujurnya, tahun ini tahun yang buruk buat aku. Suamiku, dengan egoisnya tanpa memikirkan kebutuhan keluarga, resign dari tempat kerjanya karena sering cek-cok sama boss nya. Maksudku, siapa seeh yang gak pernah cek-cok sama bossnya di tempat kerja. Dan dia melakukan itu tanpa ada rencana baru. Katanya pengen nulis novel tapi kalau di depan komputer, main game. Aku bener-bener ngerasa jadi solo fighter di rumah.
Bohong kalau aku bilang aku tidak kecewa dengan ketidakbecusan suami. Sekarang saja, dia minta dijemput di bengkel karena motornya rusak dan tidak pegang uang. Dia merengek minta dijemput lebih parah dibanding anak-anakku ketika mereka minta dijemput, dan mereka baru 6 dan 5 tahun.
Sebenarnya, aku sudah merencanakan pisah dengan suami. Aku sudah mengirim dua anak-anakku ke rumah orangtua di Karawang supaya aku bisa bicara dengan suami untuk pisah tanpa didengar anak-anak. Setelah itu, aku akan menyusul anak-anak ke rumah orangtua. Awalnya rencanaku adalah, aku akan pisah sebagai ultimatum kepada suami sampai suamiku sadar kalau dia harus berusaha, tidak cuma meratapi hidup sambil menempel sofa sepanjang hari. Tetapi setelah tadi mendengar rengekan suami minta dijemput, pikiranku berubah. Aku sadar, dia bukan lelakiku yang dulu lagi.
Aku ingin cerai
—
Hujan sudah agak reda, walaupun rintik-rintiknya masih terasa. Jam di sebuah bengkel di pinggir jalan Kalimalang, menunjukan pukul 08.30. Sebuah mobil Avanza lama berwarna hitam menepi dari jalan dan berhenti di depan bengkel tersebut. Setelah berbicara sejenak dengan montir bengkel, Yuda membuka pintu mobil yang dikendarai Dian tersebut. Mobil mulai meninggalkan bengkel dan kembali melaju di jalan Kalimalang yang tidak sepi walaupun matahari sudah pergi berjam-jam lalu. Kontras, ramainya jalan bila dibandingkan dengan sepi dan dinginya suasana di dalam mobil. Seakan ada dinding es yang tebal diantara Yuda dan Dian.
Tiba-tiba suara dering handphone milik Yuda memecahkan kesunyian mobil itu. “Papaaaaaah”, teriak dua gadis kecil di video call “Kiranaaaaaa, Karinaaaaaaa, Papah kangeeeeeen” jawab Yuda yang terlihat tersenyum bingar untuk pertama kalinya di hari ini. Dari kemudi mobil, Dian melirik Yuda, tersenyum, tampaknya juga senyum pertama Dian di hari ini. “Mamah mana pah, kok gak bisa ditelepon?” Tanya Kirana, sang kakak. “Mama di sini sayaaaang, hp mamah lobat, maaf ya” teriak Dian berharap suaranya didengar kedua anaknya.
Yuda pun menghadapkan layar handphonenya ke wajah Dian, supaya anak-anak bisa melihat Dian melalui video call, sambil berkata kepada Dian “Ke pinggir dulu Mah”. Dian mengangguk sambil meminggirkan mobilnya untuk berhenti.
“Mamah capek banget pasti yaaa?” Tanya Karina sang adik. “Gak sayaang, ini mamah senyum, kalo senyum kan gak capek” jawab Dian yang memang tersenyum tanpa dibuat-buat. “Kok belum tidur sayaang?” Tanya Dian. “Ini mau tidur, jadi telepon Mamah dulu, kan biasanya tidur kalo udah dicium Mamah” jawab Kirana. Yuda dan Dian tersenyum mendengar celotehan anaknya. “Tapi tadi udah makan kan?” Tanya Dian. “Udah Mah, tadi di rumah eyang ada jagung, tapi enakan jagung masakannya Papah” kata Karina “Trus tadi sore anak-anak di deket rumah eyang banyak yang main layangan mah, aturan mamah sama papah ikut ke rumah eyang, biar bisa main layangan bareng” kata Kirana semangat. “Iya nanti kita main layangan sama-sama berempat di rumah eyang” kata Dian, “Layangannya nanti kita terbangin yang paling gede dari yang lain” timpal Yuda. “Ya udah, Karina sama Kirana sekarang bubu yaa, yang baik-baik di rumah eyang” kata Dian “Iya maaah” jawab Kirana dan Karina, “Mamah sama Papah bubu juga ya, jangan pacaran mulu” kata Kirana. Dian dan Yuda pun tersenyum.
Setelah video call berakhir, kesunyian pun kembali menyelimuti mobil. Dian kembali mengemudikan mobilnya menelusuri jalan di pinggir sungai Kalimalang. Yuda menatap diam jendela mobil, kosong. Dian pun mengemudi tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Akhirnya, keduanya tiba di rumah mereka. Rumah kecil di pinggiran Kota Bekasi. Ketika mobil berhenti, Yuda tidak segera membukakan pintu pagar, Dian pun tidak meminta Yuda untuk membuka pintu pagar. Mereka berdua terdiam, seakan banyak yang ingin dikatakan tetapi entah mengapa mereka hanya memilih untuk diam.
Seketika, Yuda berkata lirih, tanpa menatap Dian hanya memandang lurus ke kaca mobil “Aku sayang anak-anak kita”. Dian pun terdiam, bukan tidak mendengar perkataan Yuda. Beberapa saat kemudian, tanpa menoleh Dian berkata, “Aku juga sayang anak-anak kita”. Yuda pun mengangguk, kemudian keluar dari mobil dan membukakan pagar untuk Dian.
Setelah memasuki rumah, Yuda menuju sofa lipat di depan tv. Membuka rangkaian sofa tersebut menjadi tempat tidur semi permanen. Ia akan tidur di situ, seperti hari-hari sebelumnya. Dian pun masuk rumah dan langsung masuk kamar utama, sendiri, seperti hari-hari sebelumnya.
Tidak ada kalimat “Aku ingin cerai” atau “Gua pengen cerai” di malam itu. Keduanya sadar, mereka bukan pasangan yang baik untuk pasanganya. Tetapi mereka sadar, paling tidak mereka berdua benar-benar berusaha menjadi orangtua yang baik buat anak-anak mereka, Kirana dan Karina.
Cerpen Karangan: Jie Laksono Blog: kompasiana.com/atlaksono