Pernahkah kamu merasa tidak berguna meskipun telah mencoba melakukan yang terbaik? Saat orang-orang yang kamu anggap sebagai support system malah mereka menjadi bumerang untuk kamu. Saat kamu merasa hanya memiliki mereka, tapi kamu tetap sendirian. Ego terkadang memang harus banyak mengalah daripada perasaan. Pernahkan kamu merasa seperti kamu ingin melangkah tapi kakimu terikat, padahal tanganmu bisa melepaskan ikatan itu. Tapi tali itu sudah terlalu lama bersamamu sampai tak tega merusaknya.
Dulu Enea pikir rasa nyaman adalah hal terbaik yang harus didapatkan, namun nyaman itu justru sangat berbahaya karena kita bisa jatuh ke dalamnya dan melupakan rasa yang seharusnya ada. Saat menghadapi masalah, rasanya ingin menyerah saja karena terlalu lama dalam jurang kenyamanan.
Kesal, kecewa dan sedih semuanya bisa dirasakan, hanya satu yang tak bisa Enea rasakan, lega karena meluapkannya. Banyak cara untuk menujukkan emosi. Ada yang melempar barang, marah-marah sampai teriak, memukul sesuatu, lari, bahkan mengakhiri hidup. Tapi sampai saat ini Enea masih berada di tempat dan titik yang sama, terus menahannya sampai takut akan terluapkan lebih kuat dari dugaannya.
Keluarga untuk Enea adalah yang utama, ia tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya jika tidak mengenal mereka. Mendapatkan perhatian dan kasih sayang itulah hal yang layak diterima oleh seorang anak dari orangtuanya. Enea sangat bersyukur hidup dengan orangtua, kakak dan adiknya. Mereka kini menjadi orang-orang paling dekat yang ia miliki. Namun, kebahagiaan itu hanya sampai pada saat ia menemukan lubang hitang dari keluarganya sendiri. Ia perlahan bisa menerima bahwa ternyata mereka tak melulu mendukung apa yang Enea butuhkan, apa yang Enea rasakan mereka tak pernah tahu.
Enea memang hadir di rumah itu, tapi tidak dengan jiwanya yang seperti sedang tersesat untuk pulang sementara tubuhnya masih tertahan di sana. Ia sudah mulai mengubah sikapnya yang dingin menjadi manusia yang lebih hangat lagi. Enea mencoba untuk menerima dan menganggap semuanya adalah hal yang biasa. Tapi mengapa saat ia mantap menentukan tujuan hidupnya, orang-orang yang menjadi bagian dari tujuan itu malah menghancurkannya.
Enea hanya ingin punya waktu sendiri untuk menenangkan dirinya sejenak. Ia sedang kalut karena persiapan pameran lukisannya yang sebentar lagi akan segera digelar. Ia butuh inspirasi bukan konspirasi. Konspirasi antara mereka yang setiap hari rela meluangkan waktu untuk berlomba menujukkan emosinya masing-masing. Kini rumah tak lagi menjadi rumah bagi Enea.
Rumah bukan hanya sekedar tempat tinggal, rumah adalah dimana kamu merasa nyaman dan tenang saat berada di dalamnya. Dimana rumah Enea sekarang, dimana kenyamanan yang dulu ia sempat rasakan, dimana ketenangan yang melahirkan sejuta kenangan hingga menjadi karya.
Hening, hanya suara jangrik yang setia menemani Enea di kursi panjang taman ini. Tak lupa sinar bulan yang terang seakan menyorot diri Enea yang jauh dari kata tenang. Malam itu tak ada bintang, hanya angin yang berhembus tak terlalu kencang. Enea menatap langit, melihat betapa sempurnanya ciptaan Tuhan. Menghirup udara dalam-dalam dan melepaskannya perlahan, seperti ini cara Enea menenangkan dirinya yang hampir putus asa.
“Tuhan, apa yang harus Aku lakukan? dulu Aku punya harapan dan mimpi. Aku ingin melihat mereka keluargaku tersenyum bangga karena karyaku dan juga tentang mimpiku membuat studio lukis. Tapi saat ini semuanya seakan hancur, menyisakan kesedihan yang mendalam.” Ucap Enea mengadu pada Penciptanya. “Maafkan Aku yang sempat membenci bahkan masih membenci.”
Brugg… bantingan pintu dari seorang pria yang Enea panggil “Abang” menjadi perhatian seisi rumah. Pria itu datang dengan wajah asam, penuh amarah. Ia baru saja kehilangan pekerjaan yang ia jalani selama enam tahun ini. Bukan dipecat, melainkan karena keinginannya demi memenangkan emosinya sendiri. Abang memang orang yang tidak suka jika ada yang mengkritiknya, apalagi secara langsung di depan karyawan lain. Enea paham betul sifat kakaknya itu.
“Puas kamu malu-maluin Bapak, kaya bisa cari kerja sendiri aja.” ucap Ibu dengan penuh penekanan. “Kamu harusnya bersyukur, kantor Bapakmu ini masih mau mempertahankan karyawan seperti kamu, tapi apa yang kamu lakukan sekarang Bang.” sambung Bapak yang kecewa pada anak sulungnya itu.
Seperti biasa Enea hanya menjadi pendengar setia di kamarnya yang tak begitu besar. Enea kadang menutup telinganya dengan mendengarkan musik, namun kali ini gagal karena Abang semakin menjadi-jadi. Abang meluapkan semua perasaannya malam itu, bahwa ia sebenarnya tak ingin bergantung pada mereka, orangtuanya. Abang dari dulu juga tidak pernah berubah, selalu berkata begitu, tapi masih saja sikapnya seperti itu.
Selalu seperti ini yang terjadi, konsentrasi Enea terpecah, ketenangannya terenggut, dan inspirasinya menghilang. Mereka selalu mementingkan egonya masing-masing. Tanpa memikirkan harus menjaga perasaan semua yang ada di rumah itu. “Aku sudah dewasa dan bisa menentukan jalan hidupku sendiri.” kata Abang pada orangtuanya. “Kalian tidak usah takut, karena Aku akan tetap memberikan kalian uang itu setiap bulan bahkan sampai sudah mendapat pekerjaan baru nanti.” tambah Abang, kemudian melangkah keluar dari rumah yang entah kemana.
Ibu sedih dan Bapak semakin kecewa karena selama ini Abang menilai orangtuanya seperti itu. Ibu marah pada Bapak karena tidak bisa mencegah Abang untuk tidak mengundurkan diri. Bapak kesal karena Ibu hanya bisa menyalahkan orang lain. Pertengkaran kali ini hanya antara Ibu dan Bapak.
“Assalamu’alaikum.” salam seorang anak SMA bernama Sagi. Sagi adik perempuan Enea baru pulang dari rumah temannya untuk mengerjakan tugas kelompok. Salam dari Sagi memberhentikan perdebatan Ibu dan Bapak tentang Abang. Kini giliran Sagi memulai kehidupan di rumah ini menjadi lebih jauh dari kata tenang.
“Kenapa telepon Ibu ga diangkat?” “Apa kata orang, anak sekolah masih pakai seragam baru pulang jam segini.” “Kamu itu perempuan, orang bisa mikir macem-macem, Sagi.” kalimat demi kalimat Ibu lontarkan pada Sagi. “Sagi, kalau mau pulang malam setidaknya beri kami kabar, Bapak kan bisa jemput kamu.” tambah Bapak.
Sagi yang masih remaja masih suka bermain dan berkumpul dengan teman-temanya. Ia tak terima dengan anggapan bahwa ia melakukan hal-hal negatif di luar sana. Ia juga masih belum bisa mengendalikan emosinya, baik tehadap orangtua maupun kakak-kakaknya. Ia marah, kesal pada Ibu dan Bapak yang menurutnya telah berlaku tidak adil terhadap ia dan kakak-kakaknya. Sagi merasa hanya dia yang selalu dimarahi.
Enea tak sanggup untuk mendengarkan itu semua, ia juga tak terima adiknya berkata seperti itu. Enea ingin tidur untuk lari dan hidup di alam mimpi. Walaupun matanya terpejam, tapi dirinya masih saja berada dalam dunia yang membuatnya meneteskan air mata kepedihan. Ia tak bisa pergi ke alam mimpi. Sungguh memang suasana saat ini sama sekali tak cocok menjadi pengantar tidur.
Enea hendak keluar rumah, bermaksud untuk mencari ketenangan walaupun ia tahu ketenangan itu tak bisa dibawa pulang ke rumahnya nanti. Saat keluar kamar, mereka bertiga menatap Enea dengan wajah penuh emosi.
“Mau kemana kamu Ne malam-malam begini?” tanya Ibu. “Keluar” singkat Enea yang sudah malas untuk banyak berbicara. “Ga usah lama-lama, besok bukan hari Minggu, masih harus kerja Ne.” ucap Ibu yang masih duduk di kursi ruang tamu. “Kenapa ka Enea dibolehin terus, ga kaya Aku yang selalu dimarahin sama Bapak dan Ibu.” Kata Sagi yang tampak iri pada Enea.
Enea tak tahan dengan ucapan anak itu, seolah-olah hanya Enea yang paling bahagia di rumah ini. Sikap Enea yang tidak pernah membantah dan lebih banyak diam atau bisa dikatakan pasrah, berhasil membuatnya terlihat seperti itu.
“Gi, kamu pikir hidupku sebaik kelihatannya?” “Kalian ga pernah kenal Aku, apalagi tahu mimpi-mimpiku.” Ucap Enea pada ketiga orang itu dan segera melangkah pergi.
Dari luar rumah, terdengar suara bantingan benda seperti ada yang melemparnya dengan keras. Setelah melempar gelas di meja, kini Ibu lemas dan merasa kepalanya sakit. Enea sebenarnya tak tega melihat orang-orang yang ia sayangi sedih apalagi sakit, tapi ia tak mau kembali sebelum air matanya kering. Enea keluar dengan tangisan di wajahnya.
Sungguh ingatan ini membuat Enea semakin jatuh dalam tangisnya. Walau taman ini begitu asri dengan banyak bunga, namun tak membuat Enea merasakan keindahannya. Rasanya ia tak ingin pulang. Ia tahu akan banyak hal-hal seperti itu terjadi kedepannya kalau keluarga ini masih sama, masih kalut dengan emosi dan egonya masing-masing.
Mimpinya menjadi pelukis seakan hanya ia saja yang peduli. Bahkan tentang pameran lukisannya saja, keluarganya tak ingat sama sekali. Dari awal Enea tak ingin memberi tahu, namun ia masih percaya pada mimpinya yang akan terwujud dengan pameran ini. Walaupun pekerjaannya saat ini hanya sebagai karyawan di suatu perusahaan, ia bisa menujukkan bahwa karyanya juga mampu membuat mereka bangga.
Kebencian yang sudah terhapus karena kepercayaan Enea pada kasih sayang yang telah ia terima sejak lahir, kadang muncul kembali saat ia berada di rumah. Dulu saat sekolah Enea tidak begini, ia sangat ingin selalu berada di rumah, tapi semenjak ia tumbuh dewasa ia baru menyadari ada yang kosong dalam dirinya.
Sekencang apapun Enea berlari, ia tak akan bisa jauh dari keluarga ini, rumah ini. Perasaan kecewa, sedih dan marah terus ia simpan. Diamnya Enea memang terlihat seakan semuanya baik-baik saja. Namun ia juga tak ingin terus menyakiti dirinya sendiri yang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.
Air matanya telah berhenti. Udara malam semakin dingin dan taman ini semakin sepi. Masih di kursi yang sama, ada seorang Kakek-kakek menawarkan kaos kaki yang dijualnya kepada Enea. Badannya sudah bungkuk rambutnya telah memutih semua, namun Kakek ini masih mampu berjalan sambil menggendong tas besar.
Kenapa Kakek ini jualan sampai malam begini? Mana keluarganya? Apakah dia tidak lelah menggendong tas besar itu di pundaknya yang terlihat lemah itu? Apakah Kakek ini sudah makan? Begitu banyak pertanyaan muncul dalam kepala Enea. Ia teringat pada orangtua, adik, dan kakaknya. Ia teringat pada keluarganya. Walaupun keadaan seperti ini sering membuat Enea tak nyaman, tapi tak bisa dipungkiri bahwa saat Enea sakit Bapak dan Ibu lah yang paling khawatir dan sangat peduli terhadap dirinya.
Ia harus bersyukur atas apa pun yang menimpanya saat ini, baik itu kebahagiaan ataupun kesedihan. Ia harus terus hidup dan berdoa untuk mewujudnya mimpinya yang indah itu. Ikhlas, hal yang harus ia kuasai saat ini sampai nanti.
Kecewa di mata Enea tak bisa menghapus kenyataan bahwa sebenarnya ia sangat mencintai keluarganya. Saat hal tak meyenangkan terjadi pada anggota keluarganya, ia pun merasa sedih. Rasa cinta membuatnya memilih untuk kembali dan bertahan.
Pesimis akan mimpinya kali ini harus mampu ia tangani, jangan sampai ia luapkan dengan hal tak terduga dan merugikan dirinya dan orang di sekitarnya. Enea harus tumbuh menjadi pribadi yang lebih tangguh. Jika air mata bisa menenangkan hati, keluarkanlah. Jika hatimu ingin berteriak, teriaklah sampai suaramu serak. Belajarlah untuk bisa mengobati luka itu sendiri.
Layaknya petak umpet, sejauh dan selama apa pun kita bersembunyi pada akhirnya harus tetap keluar. Baik terpaksa karena ketahuan atau keluar dengan suka rela untuk menang meskipun kita tahu dalam perjalanannya tak selalu mulus. Begitu juga perasaan yang bisa ditahan dan dipendam, namun akan lebih lega jika bisa dikeluarkan.
Cerpen Karangan: Rani Suryaningsih Facebook: facebook.com/rani.suryaningsih.79