Tak ada kata menyerah dalam hidup Dewa, pemuda yang mandiri dan tangguh. Hari-harinya selalu dilewati bersama dua sahabatnya, yaitu Joan dan Asya. Dan tak ada kata semangat jika Dewa berada di bawah kungkungan Ayahnya. Ayah yang selalu menuntut anaknya untuk menjadi orang sukses dengan pakaian berdasi, menurut Dewa. Lain halnya dengan Dewa yang ingin kesuksesannya dibanjiri keringat seperti atlet taekwondo yang sangat dibenci oleh Ayahnya. Namun Dewa salah sudah tidak mengikuti tuntutan sang Ayah karena sekarang Dewa harus siap menghadapi rasa sakitnya dan menutupi rasa sakitnya dari sang Ayah.
“Wa, mending lo istirahat deh ga usah latihan dulu” pinta Joan. “Enggak Jo, 1 bulan lagi gue ada event” jawab Dewa. “Gak usah ikut event-event lagi deh, Wa. Lo gak kasihan sama diri Lo sendiri? Mending Lo vakum aja dari taekwondo” pinta Asya yang diangguki Joan namun tidak dengan Dewa. “Kalo Lo masih ikutan taekwondo gue akan aduin Lo ke Om Dendra” kali ini bukan pintaan dari Asya melainkan ancaman. “Gak usah bawa-bawa Ayah gue” jawab Dewa datar. “Gue setuju sama Asya, bagaimanapun juga Om Dendra itu Ayah Lo Ayah kandung lo, Wa. Gak semestinya Lo tutupin penyakit Lo dari dia” “Iya-iya gue janji ini event yang terakhir. Setelah itu gue gak ikut event-event lagi. Tapi gue gak mau vakum dari taekwondo dan gak mau Ayah tau”
Saat ini Dewa berada di depan rumah Ayahnya. Rumah yang hampir tidak pernah Dewa masuki selama Dewa masuk ke perguruan tinggi. Dewa tinggal di apartemen karena jaraknya dekat dengan kampus. Dengan lesu Dewa memasuki rumah itu, kalau bukan karena sahabatnya yang mengancam tidak akan Dewa pulang ke rumah.
“Inget pulang juga ternyata” suara itu membuat langkah Dewa terhenti. “Dewa capek yah, mau ke kamar”
Di kamar, Dewa langsung menjatuhkan dirinya di kasur, menghiraukan air yang mengucur di pelipisnya. Yang dirasakan Dewa saat ini hanyalah sakit di dadanya. Sudah dipastikan kalau sehabis latihan pasti sakitnya kambuh namun tetap dihiraukan Dewa.
Sudah 1 bulan Dewa rutin latihan dan rutin kambuh sakitnya. Sekarang Dewa akan menepati janjinya setelah tanding ditemani Joan dan Asya. Dua sahabatnya nampak ragu untuk membiarkan sahabatnya bergelut di gelanggang. “Lo yakin, Wa” tanya Asya ragu. “Iya, kalian tenang aja”
Dewa sudah masuk ke gelanggang untuk memperebutkan juara. Joan dan Asya mendekati gelanggang untuk menyemangati Dewa. Di detik-detik kemenangan, sang lawan dengan keras memukul dada Dewa dan di detik itulah Dewa ambruk tak kuat untuk bangkit lagi. Rasanya dada Dewa ingin remuk. Melihat sahabatnya tak berdaya, dengan sigap Joan dan Asya membawa Dewa keluar dari gelanggang.
“Wa, Lo pasti kuat Wa. Jo, tolong telepon Om Dendra” Saat Joan mau menelepon Om Dendra atas perintah Asya, Dewa mengambil telepon yang ada di genggaman Joan. “Jo, please. Jangan kasih tau Ayah gue” hanya itu yang dapat Dewa katakan. Setelahnya Dewa tak sadarkan diri. Joan dan Asya segera membawa Dewa ke rumah sakit.
Di tempat lain seorang pria setengah baya menemukan selembar kertas di kamar anaknya. Betapa terkejutnya saat melihat tulisan itu. Ada rasa marah dan rasa bersalah di dalam diri pria itu. Ingin marah karena telah menyembunyikannya darinya dan rasa bersalah karena telah memarahi anaknya disaat kondisi anaknya yang tak stabil. Cepat-cepat pria itu menelepon anaknya namun tak ada sahutan di seberang sana.
Di depan IGD, Joan dan Asya nampak gusar mondar-mandir ke sana ke sini. “Sya, gue telepon Om Dendra aja ya” “Kalau Dewa tau gimana?” Tanya Asya takut karena Dewa sudah bilang kalau Ayahnya gak boleh tau. “Biar gue yang tanggung resikonya” jawab Joan mantap untuk meyakinkan Asya.
“Hal–” ucapan Joan terpotong dengan orang di seberang sana. “Di mana Dewa!!!” bentak Om Dendra. “Di…di rumah sakit Om” jawab Joan gugup dan sambungannya dimatikan sepihak oleh Om Dendra.
Tak butuh waktu lama, Ayah Dewa sudah sampai di depan IGD bertepatan dengan dokter yang memeriksa Dewa keluar dari IGD. “Gimana kondisi anak saya” “Maaf, kami sudah semaksimal mungkin untuk menyelamatkan anak anda namun Tuhan berkata lain”
Dewa sudah dimakamkan sejak sore tadi dan kini langit mulai gelap namun Dendra tak mau beranjak dari tempatnya. Dia menatap kosong ke arah gundukan tanah yang masih basah. “Maafin Ayah, nak. Kenapa kamu sembunyikan semua dari Ayah? Kenapa kamu ubah duniamu jadi menderita sendiri, Dewa? Maaf. Maafin Ayah”
Cerpen Karangan: Zulfa Khoirun Nisa