Malam telah larut, namun suasana jalanan masih ramai. Aku yang seharusnya lelap dibalik selimut hangat, sekarang malah harus terus berjalan tanpa tujuan. Hanya bintang bintang yang selalu menemaniku dalam kesunyian malam ini.
Namaku Misya, salah satu murid di kelas XIII SMA negeri jogjakarta. Aku tinggal di rumah yang besar bersama ibu, dan adik kecilku bernama Hanna. Tapi sekarang tidak lagi, ibu tiba tiba memutuskan agar aku pergi dari sana. Menurutku itu sangat mendadak dan tidak jelas sekali. Ibuku yang kukenal orangnya penyayang dan lembut.
Masih teringat jelas di kepalaku saat ibu tiba tiba menarikku dan menyuruhku mengemas barang barang lalu secepat mungkin pergi dari sana. Kata kata ini terngiang ngiang di telingaku “Pergilah nak ibu mohon” kenapa sampai memohon mohon seperti itu? Aneh. “Ok, Misya pergi kok! Makasih buat selama ini bu, Assalamualaikum” ibu diam tak berkutik. Untung saja ayah sedang bekerja di luar kota. Kalau tidak ibu pasti sudah dimarahi habis habisan.
Sebelum aku benar benar pergi, aku memeluk adik mungilku, Hanna. Aku mempertegas langkahku, menggendong ransel besar berisi barang barang yang aku perlukan. Entah apa yang dipikirkan ibu saat itu. Tapi aku tak boleh menyerah. Aku sudah dewasa dan sudah saatnya menempuh hidup baru.
Sesekali aku melirik jam tanganku, hari semakin larut tapi aku tak tau harus kemana. Sudah menjadi kebiasaanku begadang tiap hari, jadi aku tak merasa ngantuk. Apa lagi tadi sudah tidur siang lama sekali. Beberapa saat setelahnya, aku memilih untuk duduk sebentar di depan dudukan toko yang sudah tutup. Sesekali aku mengecek handphoneku, dan kulihat ada 12 panggilan tak terjawab dari ibu. Kenapa ibu masih hubungin aku?
Akupun melanjutkan perjalananku dan berniat untuk naik angkutan umum sementara ini. Hal yang tak terduga terjadi saat aku sedang menyeberang jalan. Sebuah mobil putih melaju kencang dan menabrakku hingga aku terbanting di kerasnya aspal. Meski gelap, aku masih bisa merasakan sesuatu mengalir dari hidung dan dahiku. Pemilik mobil itu menghampiriku, aku tak kalau ternyata itu ayahku sendiri. Awalnya ayahpun tak tau bahwa akulah yang dia tabrak “Oh… maaf dek, saya bawa ke rumah sa..” ucapan ayah terpotong. Mungkin karena dia baru tau siapa aku sebenarnya. Sejak saat itu aku tak tau apa apa lagi, semuanya terasa gelap.
Aku terbangun dalam pagi yang suram. Ayah dan ibu berada di sampingku sambil menggendong hanna yang masih berusia 8 bulan. Kulihat mata ibu sembab dan wajahnya pucat. Sudah kutebak apa yang akan dikatakannya, maaf. “Sudah siuman nak? Ibu khawatir sekali denganmu” aku terdiam sejenak dengan ucapan ibu. “Bukannya ini yang ibu inginkan? Ibu udah gak sayang aku lagi kan” mata ibu berkaca kaca. Pandanganku langsung tertuju pada alat pendeteksi jantung di sampingku.
Seketika semuanya terasa berat. Aku pasrah kalaupun Tuhan akan mencabut nyawaku sekarang. Makin lama semuanya makin kelam. Dadaku sesak. Dan mungkin inilah akhirnya, ikhlaskan aku semuanya…
Cerpen Karangan: Lia Warokah Blog / Facebook: Rozi