Perkenalkan, namaku Nara. Aku dilahirkan dari keluarga sederhana. Hanya saja, aku dibesarkan oleh orangtua tunggal. Ibuku merawatku sejak aku dilahirkan ke dunia. Aku memiliki dua saudara, panggil saja mereka Malik dan Rumi. Malik adalah abangku yang menyebalkan. Ia selalu saja menyuruhku untuk mengerjakan apa pun perintahnya. Jika aku tidak melakukan apa yang Bang Malik perintahkan, maka siap-siap saja untuk beradu mulut. Bahkan bisa-bisa kami akan saling bergulat dan mengejar satu sama lain. Berbeda dengan Bang Malik, Rumi adalah anak paling bungsu di keluargaku. Oleh sebab itu, Rumi menjadi anak yang paling sering dimanja oleh ibuku. Walaupun demikian, setidaknya Rumi tidak seperti Bang Malik yang menyebalkan. Rumi selalu bermain, belajar, atau beraktifitas apa pun bersamaku. Rumi mana berani melakukan berbagai macam hal sendiri. Apalagi jika ibuku sedang sibuk di pasar.
Ibuku bernama Maia. Menurutku, ibuku adalah orang yang sangat baik hati. Ibuku juga memiliki wajah yang cantik. Hingga tak jarang banyak orang yang merayunya. Pernah suatu hari, ketika aku dan Rumi bermain di sekitar pasar, aku melihat ibuku sedang ditraktir orang untuk makan. Aku dan Rumi saat itu hanya berani melihatnya dari kejauhan. Kami tidak seberani ibu yang masuk ke dalam pasar. Terlalu berbahaya bagi kami berada di sana. Ibuku berkerja sebagai pengawas pasar. Jika menemukan hal yang tidak beres, maka kalian siap-siap untuk bertemu dan berhadapan dengan ibuku. Paras ibuku memang cantik, tapi jangan meremehkan nyali seorang ibu. Ia tetaplah pelindung bagiku dan saudara-saudaraku.
“Pagi, Bu.” Aku yang baru saja terbangun menyapa ibuku. “Pagi juga, Nara. Kau sudah membangunkan Abang dan Adikmu?” “Sudah. Aku bahkan sudah membangunkannya berulang kali, Bu. Tapi tetap saja mereka hanya menguap dan lantas tidur lagi.” Jawabku dengan antusias menceritakan bagaimana sulitnya membangunkan Bang Malika dan Rumi.
“Ibu tidak pergi ke pasar?” Tanyaku kepada ibu. Tumben sekali ibu belum pergi ke pasar. Padahal matahari sudah mulai meninggi. “Sepertinya tidak, Nara. Sangat sulit sekali mencari rejeki di sana. Orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Bahkan, hanya untuk sekedar duduk di depan kedai makan saja, ibu harus diusir berulang kali.” Jawab ibuku sambil tersenyum getir. “Apakah benar-benar tidak ada lagi satu pun orang yang berhati mulia di dunia ini, Bu?” “Pasti ada, Nara. Hanya saja, sangat sulit menemukannya. Orang-orang yang berhati mulia itu bisa dihitung jumlahnya. Mereka belajar untuk terus memiliki sifat rendah hati dan saling berbagi. Orang-orang seperti itu pula tidak akan mungkin membiarkan kita seperti ini. Ibu yakin itu.”
Keluargaku memang tinggal di pinggiran pasar. Entah sejak kapan ibu memulai hidup di pasar. Apakah sejak ayah meninggalkan ibu? Atau sejak aku lahir? Entahlah.
“Bu, aku lapar. Apakah kita punya makanan?” Baru juga bangun, Rumi langsung saja meminta makan kepada ibu. “Ibu belum bisa pergi ke pasar, Rumi. Bersabarlah sedikit. Semoga, ada orang baik yang membagikan makanan lezat seperti minggu lalu.” Ibu berusaha menyemangati Rumi.
Sejujurnya, aku terbangun juga dikarenakan perutku yang kosong. Sejak semalam aku tidak makan apapaun. Hanya air yang mengalir dari keran moshola pasar yang bisa aku nikmati. Meminumnya dengan sebanyak mungkin untuk mengisi penuh perutku dan tentu saja berharap mampu membawaku untuk segera terlelap. Namun, tetap saja ketika aku terbangun, suara perut keroncongankulah yang pertama aku dengar.
“Mengapa kita hanya menunggu satu orang saja, Bu? Padahal, di pasar ini ada banyak sekali orang yang bisa memberi kita makan.” Rumi belum paham dengan apa yang telah ibu katakan kepadanya. “Kau benar, sayang. Hanya saja tidak semua orang di sini memiliki rasa kepedulian yang sama dengan orang yang sedang kita tunggu. Orang-orang di sini hanya sibuk memikirkan perut mereka masing-masing. Jangankan memberikan sedikit makanan kepada kita, melihatnya sedang makan saja itu sudah menjadi alasan mereka untuk mengusir kita dari sana.” Kali ini ibu sedikit menjelasakan lebih banyak tentang kejadian dan orang-orang di pasar saat ini.
“Apakah sebaiknya kita pergi saja dari pasar, Bu?” Sekarang giliran aku yang bertanya kepada ibu. “Kita bahkan tidak tau tampat mana yang lebih aman dan baik bagi kita selain pasar ini. Ibu sudah tinggal di pasar ini sejak masih kecil. Kurang lebih seumuran Abang kalian. Dan seharunya kalian bersyukur, masih ada ibu dan saudara-saudara kalian yang bisa diajak bermain. Dahulu, ibu memulai hidup di pasar ini sendirian. Orangtua asuh ibu tidak sanggup lagi membiayai kebutuhan ibu saat itu. Akhirnya, ibu terpaksa belajar untuk bertahan hidup dari pasar ini.” Ada sedikit serak di ujung suara ibu menceritakan masa lalunya. Selain itu, ini adalah cerita yang tidak pernah ibu certakan sebelumnya.
“Hidup di pasar ini begitu keras. Kaliam harus belajar banyak hal untuk bisa bertahan hidup di pasar ini. Suatu saat nanti, ibu harus mengajarkan kalian memahami selak beluk wilayah pasar ini. Ada banyak sekali keluarga yang nasibnya jauh tidak lebih baik dari kita.” Ibu kembali menasihati Aku dan Rumi.
“Mengapa ibu belum pergi ke pasar? Apa kedua bocah ini membuat ibu khawatir dan memutuskan untuk tidak ke pasar?” Suara Bang Malik yang baru saja bangun dari tidur. Terbukti bukan, betapa menyebalkannya Bang Malik. “Enak sekali, Abang memanggil kami bocah. Kami sudah besar, bukan bocah lagi.” Aku tak terima Bang Malik memanggil kami dengan sebutan bocah. “Hahahaha.. Besar apanya? Kalian bahkan meminta ibu untuk memeluk erat-erat ketika hendak tidur. Hanya untuk tidur sendiri saja, kalian tidak berani. Bergaya tak mau di panggil bocah.” “Sudah, Malik. Kau selalu saja menggoda adik-adikmu ini. Seharusnya kau mengajaknya berkeliling pasar. Biar mereka bisa mengenal dan paham dengan situasi pasar.” Ibu menengahi keributan kami. “Malik tidak mau, Bu. Amat susah menjaga bocah yang jika tidur malam saja, mereka masih mengompol.” Bang Malik kembali berulah. “Apa, Bang Malik bilang!” Aku yang tidak terima sudah bersiap untuk bergulat dengannya. “Ibu bilang sudah. Kau kan sudah tau jika Abangmu itu memang suka menggodamu, Nara.” Ibu mencegahku untuk berdiri. “Lagi pula, kau juga Malik. Seharsnya kau membantu ibu. Bukannya malah pergi bersama teman-temanmu saja.” Kini giliran Bang Malik yang kena marah. “Setidaknya, dalam urusan mengisi perut, aku tidak lagi menyusahkan ibu. Ibu harusnya paham, keadaan kita sedang tidak baik-baik saja. Di luar sana, ada banyak sekali orang-orang yang tak lagi peduli dengan kita. Hinaan, teriakan, bahkan pukulan tak jarang kita dapatkan hanya sekedar untuk mendapatkan makan.” Ujar Bang Malik.
Aku terdiam. Aku baru tau, jika Bang Malik tidak lagi bergantung dengan ibu untuk ursan mengisi perut. Dan fakta lainnya, aku juga baru tau, ternyata orang-orang pasar sudah teramat tidak memiliki hati nurani lagi kepada kami. Ibu terdiam mendengar perkataan Bang Malik. Ibu tidak terlihat ingin marah. Sebab, ibu tau apa yang di katakan Bang Malik adalah sebuah kenyataan pahit yang harus kami rasakan. Cepat atau lambat, aku dan Rumi juga akan merasakannya.
“Malik minta maaf bila berkata begitu kepada ibu. Malik salah.” Suara Bang Malik yang mulai merendah. Sadar akan kekeliruan yang diperbuatnya kepada ibu. “Tidak, Malik. Apa yang kau katakan benar. Mungkin ibu yang terlalu menghawatirkan adik-adikmu.” “Malik pergi dulu, Bu. Ada janji dengan teman malik di pasar.” Bang Malik meminta izin untuk pergi. “Hati-hati, Malik. Hindari orang-orang yang tidak senang dengan keberadaan kita. Kau sudah sangat tau ciri-ciri mereka bukan?” Tanya ibu memastikan. “Iya, Bu. Malik tau akan hal itu.” Bang Malik mantap menjawab pertanyaan Ibu. Namun, bukan Bang Malik jika tidak mencari masalah dengan adik-adiknya. Terbukti, dari sikapnya memperagakan seperti seorang anak kecil yang sedang menangis kepada aku dan Rumi. Jika Ibu tidak menatapku, mungkin aku sudah mengejar Bang Malik.
Di sepanjang pagi, aku, Rumi, dan Ibu hanya berdiam diri di depan teras mushola pasar. Beberapa teman-temanku lewat dan mengajakku bermain. Hanya saja, aku lagi tidak ingin bermain. Perutku masih kosong. Sehingga, tak ada selera untuk bermain bersama mereka. Begitu pula dengan Rumi. Ia hanya sibuk bermain sendiri di samping Ibu. Entah apa yang sedang Rumi mainkan. Aku hanya menatapnya dari tempatku duduk.
Tiba-tiba, beberapa teman yang baru saja mengajakku bermain berlari tunggang langgang. Seperti sedang dikejar sesuatu. Melihat kejaidan itu, Ibu langsung saja siaga. Mempertimbangkan kemungkinan apa yang akan terjadi. Ibu dengan sigap menyuruh aku dan Rumi bersembunyi di belakang kotak amal mushola pasar. Sedangkan Ibu, masih dalam keadaan siaga di tempatnya.
“ADAAA RAZIAAA!” Teriak taman-temanku sambil berlari.
Cerpen Karangan: Faisal Dwi Nugraha Blog / Facebook: Faisal Dwi Nugraha Penulis ulung yang berusaha menginspirasi orang lain dengan tulisan-tulisannya.