Menyadari hal itu, dengan sigap Ibu menaiki sebuah pagar di samping mushola pasar. Pagar itu tidak terlalu tinggi bagi Ibu. Sehingga, dengan mudah Ibu bisa melompatinya. Bersamaan dengan melompatnya Ibu ke bangunan sebelah, orang-orang dengan peralatan lengkap sampai di depan mushola pasar. Dari kejauhan, Ibu mengisyaratkan kepada kami untuk tetap bersembunyi di belakang kotak amal. Aku sangat ketakutan. Begitu pula dengan Rumi. Mata Rumi justru sudah meneteskan air mata.
“Tenanglah, Rumi. Ada Kakak di sini.” Aku mencoba menenangkan Rumi. “Hiks.. Rumi takut, Kak.” Jawab Rumi sambil berbisik dan terisak.
Orang-orang itu memeriksa sekeliling mushola pasar. Salah seorang mendapati kami bersembunyi di belakang kotak amal mushola pasar. Ada beberapa detik aku dan orang itu untuk saling tatap. Tanpa diperintah. Aku memberikan aba-aba kepada Rumi untuk segera lari meninggalkan mushola pasar.
“LAAARRIII, RUMI!” Lantang suaraku saat memberikan aba-aba untuk melarikan diri kepada Rumi.
Aku sempat berlari memisahkan diri dari Rumi dengan tujuan mengecoh orang-orang itu. Namun, peralatan orang-orang itu amat lengkap. Dengan mudah, aku dan Rumi tertangkap oleh mereka. Aku sempat memberontak kepada orang-orang itu dengan cara menggigit tangannya. Namun, usahaku tetap saja nihil.
Aku dan Rumi tertangkap. Dari kejauhan, Ibu melihat kami dengan rasa iba. Tapi, Ibu tak punya nyali untuk menghadapi orang-orang ini. Dari kejauhan aku bisa mematikan ada sebutir air yang menetes dari ujung mata Ibu. Aku dan Rumi dimasukkan kedalam kotak besi. Kotak ini lebih terlihat seperti sebuah ‘miniatur penjara’.
“Kak Nara, kita mau di bawa ke mana?” Suara Rumi pelan menyadarkan ku. “Kak Nara tidak tau, Rumi.” Jawab ku singkat. “Kak, Rumi takut.” Rumi kembali mengeluh kepadaku. “Kak Nara tidak takut ya dengan orang-orang ini?” Rumi mulai protes dengan sikap ku yang diam dan hanya memandang keluar saja. “Kakak takut, Rumi. Bahkan orang-orang ini tidak pernah Kakak liat di pasar sebelumnya. Sepertinya mereka adalah orang-orang yang khusus untuk menangkap kita.” “Lantas, jika takut mengapa Kak Nara hanya diam saja? Mengapa tidak menangis. Siapa tau orang-orang itu membebaskan kita.” “Kakak rasa tidak ada gunanya, Rumi. Saat ini, Kakak justru sedang memikirkan keadaan Bang Malik dan Ibu. Apakah Bang Malik juga tertangkap oleh orang-orang itu? Atau bahkan hanya kita berdua?” jawabku.
Beberapa saat orang-orang itu terus berkeliling pasar. Mungkin memastikan tidak ada lagi ‘makhluk-makhluk pengganggu’ yang berkeliaran di sekitar pasar. Hingga mereka selesai memastikan beberapa hal. Lantas ‘miniatur penjara’ yang aku dan Rumi tempati dimasukkan ke dalam sebuah mobil. Ternyata di dalam mobil, sudah terdapat beberapa ‘miniatur penjara’ lengkap dengan penghuninya yang tersusun rapi. Aku sempat melihat beberapa teman-temanku juga ada di salah satu miniatur penjara ini.
“Woi, lepaskan kami. Kami tidak melakukan kesalahan apapun. Mengapa kami harus ditangkap?” Teriak salah satu pengguni yang meminta untuk di lepaskan. “Lapar.. Aku lapar. Apakah kalian tidak kasihan kepadaku? Sudah dua hari ini aku tidak makan apa-apa. Mengapa kalian hanya menangkap dan mengurung kami tanpa memberikan makanan?” Terdengar suara perempuan mengemis untuk diberikan makan. Suara itu amat pelan. Aku saja mendengarnya dengan amat lirih. Mungkin orang-orang itu justru tidak mendengar apa-apa.
Pintu pun ditutup setelah memasukkan beberapa perlengkapan yang digunakan orang-orang itu untuk menangkap kami ke dalam mobil. Terdengar mesin mobil dinyalakan dan mulai berjalan. Sejujurnya aku amat bingung dan takut. Namun, aku lelah. Selain itu, perutku juga mulai sakit menahan rasa lapar. Akhirnya, aku lebih memilih untuk tidur. Tak ada yang bisa aku lakukan.
Entah sejak kapan kami diturunkan dan di pindahkan dari mobil itu. Saat aku terbangun, aku dan Rumi sudah berada di sebuah ruangan yang terang. Udaranya pun sejuk, tidak seperti di pasar. Ruangan ini juga bersih. Aku melihat ada dua orang yang sedang berada di ruangan ini.
“Wah, ada anak kecil. Mereka sudah dikasih makan, Bim?” seorang wanita bertanya kepada kawannya. “Belum, Lis. Kamu kasih makan gih. Makannya ada di atas meja.” Sahut seorang laki-laki yang dipanggil dengan sebutan, Bima. “Oke. Ada berapa banyak yang bisa diamankan hari ini, Bim?” “Sekitar enam, Lis. Empat diantaranya anak-anak dan dua dewasa.” “Sepertinya mereka harus dimandikan setelah makan, Bim. Agar pemeriksaan kesehatannya bisa berjalan baik.” Sahut wanita itu sambil membuka penutup makan. “Kamu bisa memandikan mereka kan, Lis? Aku harus mengurus dua anak yang lain.” Ucap Bima. “Bisa kok, Bim. Kamu bisa urus yang lain kalo begitu.” “Oke, terima kasih, Lisa.”
Wanita itu meletakkan makanan di sebuah tempat makan berbeda. Satu untuk aku, dan satu untuk Rumi. Ia juga memberikan kami air untuk minum. Sesaat, rasa takut dan heranku hilang dikarenakan aroma makanan yang menggoda. Perutku lapar.
Setelah makan, kami benar-benar dimandikan. Dibersihkan dari segala bentuk kotoran yang menempel. Memang, sebelumnya kami tidak pernah mandi dengan air sebersih ini. Sabun di sini juga amat harum.
Setelah dimandikan, aku dan Rumi dipindahkan ke tempat yang berbeda. Tempat ini jauh lebih baik dari ‘miniatur penjara’ sebelumnya. Setidaknya jauh lebih luas dan terbuka. Sehingga, aku bisa dengan leluasa melihat sekeliling ruangan ini.
Rumi masih saja takut. Ia bahkan tidak ingin berjauhan denganku. Selalu duduk dan berbaring di sampingku. Aku masih saja memikirkan nasib Ibu dan Bang Malik. Tapi sekali lagi aku katakan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa memastikan bahwa tidak ada tanda-tanda yang mengancam keberadaanku dangan Rumi di sini.
Beberapa jam kemudian, wanita tadi kembali masuk ke ruangan. Terlihat ia menuju ke sebuah lemari dan mengambil kotak berisakan makanan. Wanita itu memberikan kami makan dengan jumlah, menu, dan bentuk yang sama dengan sebelumnya. Setelah memberikan kami makan, Ia kembali keluar. Jika aku hitung, setidaknya tiga sampai lima kali wanita itu masuk dan melihat keadaan kami.
Tanpa terasa, kami sudah beberapa hari berada di ruangan ini. Rumi terlihat mulai terbiasa dengan keadaan. Itu terbukti dari cara Rumi memakan makanannya. Bahkan, ia selalu menunggu wanita itu datang untuk memberinya makan. Seolah-olah, Rumi sudah menghafal betul waktu makannya.
Sudah sebulan dari di tangkapnya kami di pasar. Itu berarti, sudah sebulan juga aku tidak bertemu dengan Ibu dan Bang Malik. Selama di sini, kami di rawat dengan baik. Jauh lebih baik bahkan. Waktu dan menu makan kami terjaga. Dan akhir-akhir ini, kami sudah mulai diberi kebebasan untuk keluar dari ruangan ini berkumpul dan bertemu dengan teman-teman lain yang juga berada di tempat ini.
Pada mula aku dan Rumi bertemu dengan teman-teman lainnya, kami merasa takut. Sebab, tidak semua dari mereka memiliki umur yang sama dengan kami. Selain itu, tidak semua pula dari mereka memiliki fisik yang sehat seperti kami. Seperti Bang Mocha yang hanya memiliki satu mata, Bang Riko yang harus kehilangan kaki kanan setelah menjadi korban tabrak lari, ada juga Kak Eliana yang harus mendapatkan perawatan itensif dikarenakan siraman air panas saat Ia meminya makan di sebuah kedai makan, dan banyak lagi cerita duka lainnya dari penghuni tempat ini.
Tempat ini adalah shalter bagi kami penghuni jalanan, penghuni pasar, dan tempat-tempat kotor lainnya. Setelah sekian lama berada di sini, akhirnya aku sadar tempat ini bernama Rumah Singgah Kucing. Rumah adalah tempat yang amat jauh lebih baik dari pada pasar. Ibu mungkin keliru jika berpikir tidak ada lagi tempat di dunia ini yang mau menerima kami.
Namun, setidaknya Ibu benar, masih ada orang-orang yang berhati baik untuk memberikan tempat yang layak bagi kami. Seketika aku teringat dengan Ibu. Mungkin aku dan Rumi mendapatkan tempat yang amat layak dari sebelumnya. Namun, tetap saja tempat ini memisahkan aku dengan orang yang amat menyayangiku. Dengan rumah asliku yang menjadi tempat aku kembali untuk merasakan hangatnya pelukanmu. Bagaimana kabarmu di sana, Bu?
Cerpen Karangan: Faisal Dwi Nugraha Blog / Facebook: Faisal Dwi Nugraha Penulis ulung yang berusaha menginspirasi orang lain dengan tulisan-tulisannya.