‘Sebaik apapun caramu berpamitan, perpisahan akan tetap menyakitkan’. Ingat satu kalimat itu sampai kamu benar-benar tahu definisi sakit yang sesungguhnya. Hidup ini ini penuh kejutan, kamu tidak akan bisa menebak sesuatu yang akan terjadi pada detik selanjutnya.
“Resha kok nangis, kenapa?” Pria yang masih mengenakan setelan jas kantornya itu datang lalu berjongkok di depan gadis kecil yang sedang menangis sembari terduduk di lantai ruang tamu. “Echa jatuh, Pa.” adu anak berusia sekitar tujuh tahunan itu sembari terisak tangis. Pria yang disebut papa tersebut lantas tersenyum sembari mengusap air mata putrinya. “Masa gini aja kamu nangis sih?” “Tapi kan sakit, Pa. Echa nggak kuat.” Resha menunjukkan siku kanannya yang lecet. “Tuh, Pa. Siku Echa ada darahnya.”
Pria berumur tiga puluhan itu meraih lengan anaknya kemudian membersihkan bercak darah yang ada pada lukanya. Resha merasa lebih membaik setelah papanya meniup lukanya berkali-kali. Seolah sihir, entah bagaimana bisa sakitnya langsung hilang begitu saja.
“Tangan Resha masih sakit, nggak?” tanya pria itu. “Enggak sakit lagi, Pa.” “Tadi katanya sakit?” Resha bungkam menatap wajah lembut papanya. Dia bingung. Tadi sebelum papanya datang luka itu terasa sangat sakit sekali, karena itulah dia menangis. Tapi setelah papanya datang sakitnya benar-benar lenyap entah bagaimana bisa.
Pria itu membantu Resha berdiri setelah itu membawanya duduk ke sofa. “Resha mau papa kasih tau nggak?” Resha mengangguk polos. “Mau,” “Luka itu sebenarnya nggak sakit. Saat kamu jatuh dan terluka maka otak kamu yang akan lebih dulu merespon. Jadi kalo Resha berpikir Resha kuat saat terjatuh, rasa sakit itu nggak akan pernah ada, Nak.” Resha tidak mengerti sama sekali dengan penjelasan papanya. Dia memiringkan kepalanya karena tidak paham.
“Resha ngerti maksud papa?” Dengan polosnya Resha menggeleng pada papanya. “Echa nggak ngerti, Pa.” Pria itu terkekeh geli. Merasa gemas dengan putrinya lalu mencubit pipinya.
“Maksud papa, kamu harus berpikir bahwa kamu itu orang yang kuat. Jadi saat kamu terjatuh, kamu tidak akan menangis karena luka apapun.” “Echa kan masih kecil, Pa.” “Iya, Resha memang masih kecil sekarang. Tapi Resha harus berlatih untuk tidak menangis saat terjatuh dan terluka. Resha nggak boleh nangis lagi ya kalau jatuh, masa luka kecil gitu aja nangis sih?” “Tapi Pa… rasanya emang beneran sakit. Papa kalau jadi Echa pasti nangis juga.”
Lagi-lagi tingkah menggemaskan Resha mampu membuatnya terkekeh geli. Pria itu lalu meraih tubuh putrinya dan membawa dalam pangkuannya. “Resha tahu nggak, nanti saat kamu sudah dewasa, akan ada banyak luka yang lebih sakit dari ini. Tapi sebelum kamu merasakannya, papa mau Resha jadi anak yang kuat.” “Kenapa Echa harus kuat? Kan ada papa yang akan nolongin Echa kalo Echa jatuh lagi terus nangis.” kata Resha. “Kamu nggak bisa berharap lebih pada siapapun Resha, termasuk papa. Bagaimanapun juga nanti akan ada saatnya papa tidak bersama kamu lagi.” Resha mendongak memandang mata papanya yang tanpa sadar mengeluarkan sedikit air mata. Menyiratkan akan luka yang bahkan belum terjadi namun dapat dirasakan. Gadis kecil itu tampak bingung pada papanya. Kenapa?
“Kok papa nangis sih? Papa kan nggak jatuh kayak Echa tadi, jadi papa nggak ngerasain sakit.” Pria itu mengusap wajahnya dengan punggung tangan, baru menyadari akan sesuatu yang seharusnya tidak ia tunjukkan di depan putrinya. Lalu sebisa mungkin dia kembali menunjukkan senyum lebar pada putrinya, menyembunyikan rapuh dalam dirinya.
“Sakit nggak hanya disebabkan oleh jatuh. Resha harus tahu satu hal lagi, sakit paling dalam adalah kehilangan.” “Kemarin mainan Echa hilang, Pa. Tapi Echa nggak nangis kok, karena nggak ngerasain sakit.” cerita Resha dengan polosnya. “Resha belum paham. Nanti kalau kamu sudah dewasa kamu pasti paham, Nak. Mungkin hari ini papa masih bisa nolongin kamu saat kamu jatuh. Tapi untuk kedepannya papa nggak bisa janji.” “Kenapa?” “Karena ada saatnya nanti papa harus pergi. Dan kamu nggak boleh nangis ya saat waktu itu tiba.” “Papa pergi kemana? Echa mau ikut, Pa.” “Nggak bisa sayang.” “Kenapa? Echa kan pengin sama papa terus.” gadis itu menatap papanya dengan kecewa.
“Kalau gitu Echa ingat pesan-pesan papa ya. Biar nanti kalo papa udah pergi, Echa bisa inget terus sama papa.” “Echa inget papa terus kok. Echa kan sayang sama papa.” “Kalau begitu janji sama papa, Echa nggak boleh nangis lagi karena alasan papaun. Pokoknya anak papa harus jadi orang yang kuat.” Pria itu menunjukkan jari kelingkingnya. “Echa janji nggak akan nangis lagi, Pa. Echa kan kuat.” gadis kecil itu menautkan jari kelingking mungilnya dengan jari papanya. Menunjukkan sebuah janji yang harus ia tepati sampai nanti.
“Masa kuat? Tadi aja abis nangis.” gurau Pria itu membuat Resha kesal. “Ah, Papa! Echa tadi kan nggak sengaja nangisnya.” alasan Resha yang membuat pria itu lagi-lagi tersenyum gemas lalu mengangguk percaya. “Iyadeh papa percaya, anak papa emang kuat.” Resha tersenyum bangga pada papanya.
Pria itu mengusap lembut rambut Resha sembari berkata “Inget pesen-pesen papa ya, Nak.” Resha hanya mengangguk polos. Dia tidak pernah mengira bahwa apa yang dikatakan papanya itu akan menyakitinya suatu hari nanti.
Semenjak saat itu Resha benar-benar menepati janjinya untuk tidak menangis karena alasan apapun. Resha bahkan tak menangis sedikitpun meskipun dia terjatuh dari sepeda hingga kepalanya berdarah.
10 tahun kemudian… Hari ini, setelah sepuluh tahun lamanya, Resha baru sadar semua yang pernah dikatakan oleh papanya waktu itu. Resha mengerti bagaimana sakit yang sesungguhnya. Lebih sakit dari jatuh yang membuat sikunya berdarah kala itu. Lebih sakit dari semua sakit yang pernah dia rasakan.
Dan hari ini untuk pertama kalinya dia mengingkari janjinya pada papa. Resha tak akan bisa berhenti menangis setelah ini. Kehilangan papa adalah mimpi terburuk yang selalu terasa nyata. Papa telah pergi meninggalkan Resha untuk selamanya.
“Kenapa papa pergi ninggalin Resha? Resha udah nepatin janji, Pa. Tapi sekarang papa sendiri yang buat Resha ingkar janji. Papa yang buat Resha nangis.” perlahan suara isak tangisnya semakin jelas. Resha tak mungkin bisa tersenyum lagi setelah ini.
“Resha ayo pulang. Mama tahu kamu belum bisa menerima ini. Tapi kamu harus belajar mengikhlaskan, Nak. Papa kamu akan sedih jika melihat kamu seperti ini.” Resha menatap mamanya sekilas, lalu beralih menatap kembali batu nisan yang terukir nama papanya disana. Dadanya sesak, tidak mudah menerima kenyataan yang bahkan dia sendiri tidak menginginkannya.
“Papa nggak boleh pergi Ma! PAPA NGGAK BOLEH NINGGALIN RESHA! PAPA NGGAK BOLEH PERGI! Hiks! PAPAA!! Hiks!”
Hari ini, di tempat terakhir papa. Resha menangis bukan karena luka, tapi rasa kehilangan yang sakitnya tak akan pernah bisa dipulihkan.
Cerpen Karangan: AnitaAlfa Blog / Facebook: Tidak punya Anita Alfa, lahir pada 14 Desember 2004 di Tulungagung, Jawa Timur. Pelajar putih abu-abu yang hobby membaca dan menghayal. Akun ig : @anitaalfaa14, Wattpad : @AnitaAlfa. Buat kalian yang baca ini, cuma mau bilang ‘AYO MENYERAH, NGAPAIN SEMANGAT’ haha.