Matahari siang itu terasa terik sekali dan menyengat di kulit. Suamiku pulang dengan wajah yang sedih dan lesu. Dia duduk di sudut teras sambil ditemani sebatang rokok yang selalu setia menemaninya.
“Eh pak.. Asapnya, ada anak-anak ini” ujarku supaya ia alihkan hembusan asap dan tidak mengenai kami. “Ini hari terakhir aku antar jemput anak-anak…” kata suamiku lirih sambil mengisap rokoknya dalam-dalam. “Ah, memangnya ada apa, pak?” sahutku sambil menatap wajah lesunya untuk mencari sebuah jawaban. “Kamu ga bisa bayar cicilan mobilnya lagi, ehm… atau anak-anak ga mau ikut kamu lagi ya?” cecarku padanya. “Ah, bukan itu… kamu ga dengar berita, nonton TV gitu?” Tanya suamiku serius, seolah tidak percaya bahwa aku tidak tahu akan kekhawatiran yang dirasa olehnya, tentang bayangan akan semakin beratnya beban yang akan ditanggung keluarga kami kedepan. “Tunggu aku ambilkan minum, o iya ada surat pemberitahuan juga dari sekolah anak-anakmu..” aku menyelanya sebelum dia berkata lebih panjang lagi.
Aku tinggalkan dia bersama dengan anak-anak, kemudian aku masuk ke dalam rumah. Dari dalam rumah terdengar suara anak-anak bertanya pada bapaknya “Bapak capek ya, mau dipijit?” ujar anak kembar kami. Disusul derai tawa mereka bersama dengan bapaknya. Bercerita tentang sekolah mereka masing-masing. Senangnya.
“Ini pak surat dari sekolah, sambil diminum kopinya ya..” aku serahkan sepucuk surat pemberitauan dari sekolah dan secangkir kopi hitam pahit minuman kesukaan dia.
“Ayo, kalian masuk ke dalam dulu, tidur siang sama Bang Lian ya, nanti sore kita belajar lagi supaya jadi juara..” kataku kepada mereka bertiga, maksudnya sih supaya mereka tidak mendengar percakapan kami. “Iya ini, mulai besok semua murid dirumahkan karena covid…” katanya sambil meletakkan surat itu. “Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan besok” Ucap suamiku sambil bersandar dan memejamkan mata.
Sebenarnya aku juga sudah dengar berita ini sekitar bulan Januari lalu, Diawal tahun 2020. Dimana pemberitaan sedang gencar-gencarnya, banyak orang yang tinggal di Wuhan bertumbangan di jalan karena sakit Covid-19, tapi waktu itu aku berpikir virus ini tak akan pernah sampai ke Indonesia apalagi di kota kami yang letaknya sudah sangat jauh dari Negeri Tirai Bambu itu. Suatu hal yang mustahil.
Aku melihat dia sudah hampir benar-benar terlelap di kursi itu, segera aku berdiri menghampirinya dan menepuk bahunya dengan perlahan sambil berkata, “Istirahat di dalam aja dulu pak, nanti sore kita bahas lagi ya…” usahaku membangunkan suamiku yang tampak lelah sekali hari ini. “Ya.. aku tidur aja bareng anak-anak ya…, kamu jangan lupa istirahat” sahutnya, aku anggukan kepala sambil tersenyum tipis menutupi kegalauanku yang akhirnya muncul juga.
Disaat mereka sudah terlelap, tanpa aku sadari otakku berpikir keras, apa yang bisa aku lakukan, saat ini keluargaku juga butuh biaya yang sangat besar. Ketika dia tidak bekerja apa yang bisa menjadi pemasukan kami, aku berjalan dan mengambil pena serta secarik kertas. Aku mulai menuliskan biaya setiap bulan yang harus kami keluarkan:
1. Cicilan mobil angkot 2. Uang sekolah untuk 3 orang 3. Sewa rumah 4. Makan satu bulan 5. Sabun dll 6. Token listrik 7. Paket Data untuk anak-anak belajar secara online 8. Keperluan lain-lain
Terdiam, tertegun dan tak bisa berkata-kata. Apa yang harus aku lakukan. Berat sekali bayangan didepan sana Tuhan.
Untuk sejenak aku termangu sambil menatap list pengeluaran keluargaku, dalam benak aku berkata, “Tuhan tolong aku…, aku harus semangat, jangan kasih kedor… hehe” buatku tersenyum sendiri menunjukkan rasa semangat.
Aku berjalan masuk ke dalam kamar dan kulihat mereka berempat sedang tertidur, aku pandangi wajah-wajah anak kami yang tanpa dosa. Keringat mereka mengucur deras karena kamar itu berukuran sempit hanya 3×4 meter, dan berisikan empat orang disana berebut oksigen.
Akhirnya kunyalakan kipas angin supaya agak sejuk udara di dalam. Kemudian kulanjutkan memasak dan bersih-bersih rumah. Sehingga ketika mereka bangun ada yang bisa dimakan dan rumah dalam keadaan bersih.
Akhirnya, setelah semua selesai, tapi tetap saja pikiranku tidak tenang. Aku bingung harus berbuat apa untuk menolong keluarga kecilku ini.
“Daripada kepikiran terus, mending nyapu halaman saja” gumamku. Lalu mengambil sapu dan mulai menyapunya. Ketika aku sedang menyapu halaman, datanglah mbak Siti menghampiriku dan akhirnya kami duduk di bawah batang mangga, punya bapak pemilik rumah kami. Tempat teduh dan biasa kami ngumpul disini bersama yang lain.
“Kamu gimana, Rin?” Tanyanya tiba-tiba, aku kebingungan dengan pertanyaan awalnya. “Apanya yang gimana mbak?” Tanyaku balik “Besok suamiku sudah ga kerja lagi, aku bingung harus gimana, di kampung kami juga katanya ada pembatasan jadi kalau mau pulang harus sekarang, minggu depan sudah harus pake tes, tes apa ya… lupa namanya, lagi pula ongkosnya dari mana?” keluh mbak Siti padaku dan kujawab dengan hanya mengangkat kedua bahuku.
“Koq diam, ada apa Rin?” Lanjutnya “Sama mbak, besok Bang Osir ga kerja lagi, karena anak-anak ga datang sekolah lagi, siapa yang mau diantar jemput, Jailangkung?” Sahutku disambut ketawa mbak Siti. “Hush, kalo ngomong hati-hati, ucapan adalah doa lho dek Rin…” sahutnya sambil mengingatkan aku tentang hal baik, Ucapanmu adalah Doamu.
“Oh jadi Bang Osir ga bawa angkotnya lagi, narik penumpang juga ga bisa kan dirumahkan semua, pekerja pada kerja dari rumah, terus kamu gimana dek Rin?” lanjut tanya mbak Siti mencari solusi yang mungkin juga bisa dia gunakan. “Nanti sore baru kami mau ngobrol lagi mbak, tadi aku lihat Bang Osir dah capek, jadi kuminta istirahat dulu, Sebenarnya aku juga bingung mbak, kalo dia ga kerja, siapa yang akan membayari semua ini?” Aku keluarkan catatan kecilku tadi, yang kemudian dibaca oleh mbak Siti.
“Wah iya berat juga, kalo aku cicilan motor dek Rin. Kalo anak-anak ga ada yang sekolah besok, mana laku jual mainan, mau jual dimana, sekolah pada tutup. Kita disuruh kerja dari rumah, kerja apa tho. Kalo kita orang kantoran ya bisa ya, bawa apa tuh yang kotak dek Rin, buat ketik-ketik..” tanyanya “Oh laptop mbak…” sahutku sambil senyum. “Nah itu, dek Rin” timpalnya sambil senyum-senyum. “Mbak sendiri rencananya gimana?” tanyaku balik “Lihat dalam 3 hari ini dek Rin, Mas Wardi mau lihat kondisi dulu, masih bisa cari makan ga disini.. kalo ga bisa kami berempat mau pulang ke Tegal aja, bantu bapak ibu di sawah dulu.” Jawab Mbak Siti dengan tertunduk dan memainkan jari kakinya. “Wah, anak-anak sekolah disana juga ya..” tanyaku “Iya dek Rin, kalo disini ga ada apa-apa lagi, mau gimana. Kamu anak 3 lho, ada yang kembar lagi, Juli ini masuk SD kan, saran mbak nih ya, sudah sekolah aja di sekolah negeri, bisa meringankan bebanmu tho buat bayar uang sekolah?” terangnya padaku. Yang kusahut dengan anggukan kepala, seolah-olah mengiyakan saran mbak Siti.
“Bu…!!!” Salah satu anak kembarku terbangun dan memanggil. “Ya, bentar.. Eh mbak, dah dulu ya, dah sore juga… Tugas sudah menanti..” candaku sambil mengangkat tanganku memberi hormat pada mbak Siti. “Koyo bu Polisi aja kamu dek Rin…” ujar mbak Siti sambil ketawa. “Makanya sekolah yang tinggi biar senang hidup kita ya mbak…” sahutku sambil berjalan masuk kerumah menghampiri anak-anak ku yang sudah terbangun.
“Eh, dah pada bangun ya.. ayo cuci muka dulu, nih ibu goreng pisang, sambil minum teh ya…” ujarku sambil mengambil pisang goreng dan teh hangat buat mereka. Tak lama muncul juga bapaknya, “Wah ada pisang goreng, mau juga ah…” Mereka berebut mengambil pisang goreng itu dan langsung laris manis, ludes ga tersisa. Aku hanya memandang kejadian baru saja dan membayangkan, esok kita bagaimana.
Malamnya, ketika mereka sudah selesai makan malam, mandi dan ngobrol dengan kami. Anak-anak menonton TV dan bermain. Sedangkan aku duduk diluar bersama dengan bapak mereka, membahas tentang esok kita harus bagaimana, makan apa, kerja apa, cari uang dimana.
Ah, pembicaraan yang lumayan berat dan jangan sampe kita pulang kampung seperti Mbak Siti. “Jadi besok gimana, pak?” tanyaku mengawali percakapan. “Mbak Siti tetangga kita sepertinya 3 hari ini akan lihat keadaan, tapi kemungkinan besar sepertinya dia akan pulang kampung, kita gimana?” lanjutku “Sampe akhir bulan ini, kita masih ada duit dari anak-anak yang belum bayar sih, tapi bulan depan, itu yang aku juga belum tahu..” sahutnya diakhiri dengan mengisap rokoknya dalam-dalam. “Ya kita bertahan paling ga sampe si kembar selesai TK ya pak…” sahutku “Ya itu juga bisa, ah udah sana masuk, aku mau keluar dulu cari info ada kerja dimana… jangan lupa kunci pintu, aku pulang malam, hati-hati di rumah ya…” kata suamiku, kemudian dia memakai motorku dan menghilang di tikung jalan.
Setelah memastikan dia pergi, aku masuk ke dalam rumah dan menguncinya dari dalam. Kami berempat menonton acara Film Korea di salah satu stasiun TV swasta. Sebenarnya film ini sudah sering ditonton, bahkan berulang-ulang tapi rasanya buat mereka selalu seru. Akhirnya selesai film itu dan waktu sudah menunjukkan pukul 22.00, saatnya mereka cuci muka, tangan, kaki, dan sikat gigi. Setelah itu ajak dulu berdoa sebelum tidur. Sambil menidurkan mereka, pikiranku terus berputar, setelah suamiku tidak bekerja kami harus bagaimana. Aku paksa mataku untuk terpejam dan akhirnya aku terlelap.
Alarm berbunyi dan tentu saja langsung membangunkanku dan memberi tanda bahwa sudah pukul 04.00 pagi. Dengan tergesa-gesa aku keluar dan lihat di ruang tengah belum ada motorku. Aku masuk lagi ke kamar dan kulihat tidak ada juga suamiku. Aku lihat diluarpun motorku belum kembali. Ketika aku hendak menelepon, tiba-tiba terdengar suara motorku mendekat. Oh Ternyata suamiku baru pulang.
“Baru pulang pak, ehm bau minuman…” kataku hampir saja marah. “Iya, udah aku mau tidur dulu…” sahutnya agak kasar. Saat ini aku juga harus sabar, dia bingung begitu juga denganku, apalagi dia seorang kepala keluarga. Sabar…
Akhirnya dia masuk ke kamar dan tidur, sedang aku lanjutkan Tugas harianku. Memasak, menjemur baju, tetapi ada yang berbeda hari ini tidak mengantar anak ke sekolah, tidak menyiapkan bekal mereka berempat.
Setelah selesai sudah pukul 06.00, aku tetap membangunkan mereka untuk mandi dan sarapan. Aku menunggu informasi dari sekolah hingga pukul 08.00, tapi belum ada pemberitahuan dari sekolah mereka masing-masing. Jadi aku biarkan mereka bermain dan menonton TV. “Rumah jadi lebih kotor ya karena anak-anak ada di rumah, ah biarlah…” gumamku.
Pukul 11.00 akhirnya suamiku bangun, makan dan duduk di teras bersama secangkir kopi hitamnya. Tak lama aku lihat dia sudah duduk bersama Mas Wardi suaminya Mbak Siti, lama juga mereka duduk disana, dibawah pohon mangga, tempat kami juga biasa duduk.
Tiba-tiba suasana rumah sepi, eh ternyata anak-anak tertidur di depan TV. Aku biarkan mereka tidur dan tak mengganggu. Aku duduk di teras tapi mbak Siti juga tak nampak. Akhirnya suamiku kembali ke rumah dan duduk di teras bersamaku.
Cerpen Karangan: Erna Widiati Blog / Facebook: Erna Widiati Nama saya Maria Magdalena Erna Widiati, lahir di Semarang, 31 Juli 1980. Saya tinggal di Pulau Bangka Belitung lebih tepatnya Kota Pangkalpinang. Saya seorang guru dan mempunyai 3 orang anak. Ini adalah pengalaman saya mengirimkan cerpen untuk yang pertama kalinya. Semoga cerita yang saya sajikan bisa menambah semangat kita dalam hidup ini. Salam