Kuberanikan bertanya, “Darimana semalam, pak?” “Dari Warung ujung gang aja, ga kemana ternyata semalam rame, yang dibicarakan ternyata hal yang sama, hari ini pada mau cari makan kemana…” sahutnya. “Terus gimana..” tanyaku sambil menatap dia “Hari ini aku temuin Pak Kamid (pemilik rumah) barengan ama Mas Wardi jam 3 sore, mau minta mundur bayar atau kalo ada keringanan sewa…, Doakan ya” lanjutnya “Terus besok ga kerja lagi, kalo boleh aku mau cari kerja ya… bantuin kamu buat cukupin kebutuhan kita..” ujarku sambil mengangkat gelas kopi kosong ke dalam. “Ga usah aneh-aneh, di rumah aja.. urus anak-anak itu, biar aku yang mikir.. besok aku kerja di gudang beras Koh Amen, lumayan seminggu ini sebelum lock down…” terang suamiku sambil berdiri di pintu. “wah kita akan lockdown ya..?” ujarku sambil berlari kecil mengejar suamiku. “Iya.. udah mau mandi dulu, terus janjian ama Mas Wardi itu..” jelasnya yang membuat aku menghentikan langkah mengikutinya.
Aku kembali lagi di ruang tengah untuk melipat baju-baju, kan ga ada lagi baju seragam.. biarlah dilipat saja, hemat biaya listrik juga. Selang tak berapa lama suamiku keluar bersama dengan Mas Wardi untuk menemui Pak Kamid. Mereka lama sekali baru keluar dari rumah pemilik rumah sewa dan wajah mereka terlihat muram. Semakin penasaranlah aku, tak lama disusul Mbak Siti yang keluar dengan agak terburu-buru menghampiri suamiku.. Ada apa ya.. Tapi Bang Osir memintaku tetap di dalam rumah saja… Ah, biarlah ntar juga masuk rumah.. baru nantiku tanya pikirku melanjutkan melipat baju-baju.
Sudah pukul 5 sore, ternyata suamiku belum kembali juga, aku melihat dari balik jendela dan melihat dia sedang membantu Mas Wardi mengangkut barang-barangnya.. Melihat hal itu aku segera keluar rumah dan akhirnya tau, bahwa Pak Kamid tidak memberi keringanan pembayaran.. harus tetap dibayar sesuai jumlah dan harganya sama sekali tidak turun. Keterlaluan juga!
“Mbak Siti, ayo mari aku bantu.. Pindah kemana mbak?” tanyaku kepada mbak Siti yang sedang beres-beres. “Kami ga pindah dek Rini, tapi pulang kampung sekalian aja… sambil mikir apa yang bisa kami kerjakan disana…” Jelasnya sambil terus beres-beres. “Tapi ini dah hampir malam lho mbak, mau jalan sekarang ya…?” sambungku “Besok subuh kami jalan dek Rini, kata Mas Wardi kami nginap di perbatasan saja..” lanjutnya “Hah, kenapa gitu mbak, ga semalam di rumah kami dulu, terus subuh baru jalan ke Tegal mbak.. Kasihan anak-anak” aku berusaha membujuknya. Tapi mbak Siti hanya menggelangkan kepala dan melihat kearah Mas Wardi yang daritadi sudah naikkan beberapa barang-barang berat.
Satu jam berlalu dan akhirnya semua sudah siap, aku hanya membungkuskan nasi dan ikan goreng untuk bekal mereka malam ini, serta memberi uang seratus ribu untuk beli minum. Setelah itu mereka mulai berjalan tanpa pamit ke Pak Kamid dan tak lama menghilang di tikung jalan.
Tinggal kami berdua di halaman itu, suamiku meletakkan tangannya di atas bahuku, “Ih bau sekali, mandi sana…” kataku sambil menutup hidung. “Oh gitu ya… Ga mau lagi nih didekatin… bener…?” Suamiku mulai jahil.
Ketika kami mau masuk ke rumah tiba-tiba Pak Kamid berada dibelakang kami dan berkata, “Kok ga pamit mereka, ga punya sopan!” Suamiku langsung menjawab, “Mereka terburu-buru pak, sebelum kota mereka lockdown, harap maklum juga pak… ini tadi kan mendadak…” “Ah sudahlah, kalian jangan lupa, 3 hari lagi bayar sewa rumah ya…” kata Pak Kamid dengan nada agak kasar. Aku yang sedang kebingungan akan apa yang terjadi, malahan tanganku ditarik oleh Bang Osir untuk masuk ke dalam dan tak lagi bertanya.
Setelah di dalam, suamiku segera menutup pintu dan duduk di depan TV karena anak-anak ternyata sudah tidur, yah wajar ini sudah pukul 23.00 WIB.
Sambil menonton TV dan menghilangkan keringat untuk mandi, akhirnya Bang Osir mengawali cerita tadi sore hingga kejadian baru saja, “Yah emang keterlaluan Bapak itu, sudah tau keadaan sedang genting begini, Dia tidak memberi solusi malahan bisa dibilang tadi mengusir secara halus…” “Emangnya kenapa tadi pak?” tanyaku ingin tahu. “Ternyata Mas Wardi ini juga belum bayar bulan lalu, jadi dengan sekarang sudah dua bulan.. Jadi ketika minta waktu lagi bapak itu langsung ngegas, katanya ga ada lagi kesempatan. Semua orang butuh uang, apalagi keadaan sedang begini, Bapak itu mau beli beras juga untuk jaga-jaga saat lockdown nanti.” Jelas Bang Osir sambil menonton TV. “Terus Mas Wardi keluar tadi tanpa bayar?” Tanyaku lagi “Ada diberi lima ratus ribu uang bulan lalunya. Tapi ini juga yang membuat aku kesal, ternyata mereka membayar tidak sama dengan kita. Rumah kita tujuh ratus lima puluh ribu, bedanya jauh kan…?” Ucapnya dengan nada kesal. “Koq bisa gitu, pak… Alasan Pak Kamid apa, kan sama ukuran, fasilitas, ga ada beda dengan rumah yang dipakai mereka…” sahutku pun dengan kesal. “Katanya sih mereka tinggal sudah lama, dan dulu tertib bayarnya.. tapi setelah beberapa bulan ini baru agak tersendat, setelah mereka ambil cicilan motor itu…” Sambung Bang Osir menjelaskan lagi. Aku jadi termangu di depan TV dan terkejut dengan suara air yang mendidih, segera aku berlari dan menyiapkan air hangat untuk Bang Osir mandi.
“Mandi dulu pak, keburu lebih malam lagi.. katanya besok mulai kerja di gudang beras Koh Amen…” teriakku dari dapur. Kemudian Bang Osir segera mandi dan gantian aku sekalian merendam baju-baju supaya besok pagi bisa dicuci.
Ketika selesai mandi dan merendam baju-baju, aku lihat mereka berempat sudah tidur lelap. Aku matikan semua lampu dan TV dan bergegas menyusul mereka untuk bermimpi dan menyakini bahwa esok akan jauh lebih baik.
Alarmku berbunyi lagi, menandakan sudah pukul 04.00 pagi, rutinitas mulai berjalan lagi dan semua terasa tidak ada masalah hingga sampailah waktu membayar sewa rumah.
“Brak!!” suara pintu dibanting. Segera aku lari keluar dan bertanya “Ada apa pak, pulang-pulang koq marah?” “Siapkan barang-barang, besok kita pindah!” sahut suamiku lagi. “Hah, ada apa ini?” tanyaku kebingungan. “Bapak itu ga mau aku bayar sedikit dulu, maunya lunas… padahal aku bilang mau beli beras dulu!” teriaknya “Eh sudah-sudah, besok pindah ya, kemana?” tanyaku serius “Aku mau telepon dulu sebentar ya, kamu siapkan barang-barang aja…” sahutnya mulai tenang.
“Bang Lian, buat kopi untuk bapak terus kesini bantu ibu kemas-kemas ya.. besok kita pindah” panggilku pada anak bujangku karena adik-adiknya sedang menonton TV. “Iya bu…” sahutnya terus lanjut ke dapur untuk membuat kopi untuk bapaknya. Sementara aku sambil agak menggerutu tapi tetap mengemasi barang-barang yang terbilang lumayan banyak. Sekalian harus memilah yang mana bisa dibawa atau yang mana dibuang saja.
Waktu sudah menunjukkan pukul 00.00 dan suamiku belum juga nongol batang hidungnya, aku minta anak sulungku untuk pergi tidur saja, dan aku lanjutkan sebentar lagi, sambil nunggu suamiku pulang, karena dia juga ga bawa kunci rumah. Ah, malam yang panjang, capek, ga jelas dan terburu-buru.
Pagi ini semua berjalan terburu-buru, suamiku pulang pukul 6 pagi dan langsung mengangkat barang-barang. Anak-anak dan aku diminta naik ke mobil, sedangkan dia mengangkut barang-barang penting pada trip yang pertama terlebih dahulu.
Setelah agak lama kami jalan, akhirnya kami pindah ke rumah yang kami tuju, jauh dari perkotaan dan suasana ramai jalan. Namun rumahnya agak tenang, ah.. semoga ini pindah yang terakhir kalinya. Capek harus pindah-pindah terus. Tapi pastinya kami pindah juga ga berpamitan dengan yang punya rumah.
Akhirnya pindah barang-barang sudah selesai dan waktunya merapikan tapi sepertinya ga sanggup juga hari ini, banyak yang harus dibereskan, dibersihkan dan lain sebagainya. Akhirnya kami pergi beristirahat dulu untuk melanjutkannya esok hari lagi. Pindah rumah bukan membuat semuanya berjalan lancar, sampailah kami pada masa-masa yang paling sulit, ketika uang sekolah ditagih, perlu beli kuota, token listrik, cicilan mobil angkot, kebutuhan sehari-hari dan yang lebih fatal rumah kan harus tetep dibayar walaupun harga bulanan sekarang lebih murah.
Kami menjalankan hari-hari kami dengan kesabaran, doa, ketekunan. Sekolah anak-anak harus diutamakan jangan menyerah pada keadaan. Walaupun kami terseok-seok, tapi tidak hanya kami yang mengalami. Diluar sana jauh lebih banyak yang susah hidupnya.
Pada akhirnya setelah tiga bulan menyesuaikan dengan keadaan, kemudian diputuskan untuk menjual angkotnya dan membayar pinjaman, sisanya untuk modal lagi.
Suamiku sudah mantap dengan pekerjaan barunya, ya mungkin terlihat hanya seorang pemulung, baju terlalu kotor untuk dicuci hingga harus dipisahkan sendiri, namun itulah penggerak roda kehidupan kami saat ini. Bang Osir mendapatkan mobil dari temannya, dengan sistem bayar sewa mobil dan bagi hasil. Terlihat kecil pendapatan Bang Osir, namun begitu masih cukup uang yang dibawanya untuk setiap hari. Yah, tergantung kita pintar-pintarnya mengatur keuangan supaya semua terpenuhi.
Dalam beberapa bulan kemudian, aku mulai mendenngar banyak bantuan yang datang, namun karena alamat kami tidak sesuai dengan tempat tinggal sekarang, maka nama keluarga kami tidak tercantum disini.
Terkadang kami mendapatkan sembako dari teman partai Bang Osir, ya lumayan lah, kadang beras 5 kg, minyak goreng 1 liter, ataupun mie satu dus tak menentu. Yang penting kita berusaha jangan sampai anak-anak putus sekolah. Mereka harus pintar untuk mendapatkan masa depan yang jauh lebih cerah daripada orangtuanya.
Pada akhirnya Covid-19 sudah menyebar keseluruh muka bumi dan tidak ada lagi yang bisa menghindari, semua hanya bisa berserah pada Yang Maha Kuasa dan Sang Pencipta Kehidupan. Memohon perlindungan, dijauhkan dari hal yang buruk, dibukakan pintu rejeki, serta diberi keselamatan juga kesehatan. Dimana saat ini kita sangat butuh sehat demi mencari nafkah bagi keluarga.
Di rumah sewa yang baru ini, aku juga memulai usaha online. Aku tau saat ini saingan juga banyak, karena semua orang juga butuh uang untuk bertahan. Aku memulainya dengan membuat kue, posting dan kadang dititipkan ke toko ujung jalan, semua itu untuk menambah serta membantu membeli kuota menyambung pembelajaran anak-anak. Kadang aku juga berjualan kosmetik yang ada tanda penjamin keamanan dari BPOM juga tanda halal.
Semoga kita semua tetap semangat walau banyak halangan dan rintangan, kita jangan patah semangat walau keadaan kita benar-benar sudah diujung tanduk sekalipun. Karena kita masih punya Tuhan, penguasa diatas penguasa segalanya.
Cerpen Karangan: Erna Widiati Blog / Facebook: Erna Widiati Nama saya Maria Magdalena Erna Widiati, lahir di Semarang, 31 Juli 1980. Saya tinggal di Pulau Bangka Belitung lebih tepatnya Kota Pangkalpinang. Saya seorang guru dan mempunyai 3 orang anak. Ini adalah pengalaman saya mengirimkan cerpen untuk yang pertama kalinya. Semoga cerita yang saya sajikan bisa menambah semangat kita dalam hidup ini. Salam