Setelah sebulan penuh lamanya berpuasa, tibalah hari yang suci. Idul Fitri. Seperti pada umumnya, orang-orang berkumpul bersama keluarga, begitu pula dengan Kanes dan Denas, si kembar yang terlahir dari seorang Ibu yang subur. Ibu yang memiliki tujuh orang anak. Kanes dan Denas bisa dibilang bungsu. Mereka terlahir dengan selisih waktu yang tidak terlalu lama, hanya sebatas Adzan maghrib dan Iqomahnya dikala Ramadhan. Namun selisih usia dengan saudara diatasnya, Roby, berbeda 22 tahun. Tidak terlintas sama sekali bahwa Ibu akan memiliki anak lagi, apalagi kembar. Diusia hamil yang cukup renta membuat Ibu mengalami kelumpuhan setelah proses melahirkan. Idul Fitri 1450 H tahun ini, Kanes dan Denas genap berusia 6 tahun.
Satu hari sebelum Idul Fitri, Seorang sesepuh desa sekaligus tetangga, Pak Haji Husen meninggal dunia. Kanes dan Denas mengetahui hal itu karena rumah Pak Haji Husen berada didepan rumah mereka. Ramai sekali warga desa silih berganti melayat ke rumah Pak Haji Husen. Kanes dan Denas yang masih kanak-kanak hanya menyaksikan dari teras rumah.
Takbir berkumandang saling bersaut antar masjid menandakan Ramadhan telah usai. “Yah, kapan semua Kakak pulang?” Tanya Kanes pada Ayah. “Besok nak” Jawab Ayah. “Asyik, rumah jadi rame, Aku dan Kanes jadi banyak temen” Saut Denas.
Terlahir dengan selisih usia yang cukup jauh dengan kakak-kakaknya, menjadikan sebagian ponakan serasa teman sebaya dengan Kanes dan Denas. Ibu hanya tersenyum di kursi roda melihat Kanes dan Denas.
“Ayo Kanes, kita tidur biar besok gak kesiangan” Ajak Denas. Kanes dan Denas beranjak pergi ke kamar dan beristirahat.
Mentari mulai menyinari rumah yang sepi. Kanes dan Denas terbangun di pagi yang mereka nanti. “Yah, aku mau mandi” Pinta Kanes. “Aku juga Yah” Timpal Denas. “Ayo semuanya ke Sumur” Ajak Ayah.
Dibelakang rumah terdapat sumur tua, cukup dalam sekitar 7 meter dengan tembok pembatas yang sudah lapuk berlumut setinggi 1 meter dan air yang menggenang cukup tinggi, jika batu kecil dijatuhkan tak sampai satu detik pun sudah sampai ke permukaan air. Tidak seperti sumur pada umumnya yang permukaan airnya begitu dalam.
Tak seperti biasa, Kanes dan Denas mandi sangat berapi-api, gayung demi gayung air mereka tumpahkan ke badan yang mungil itu. Terlihat senyum yang mekar dari wajah mereka, tak sabar ingin menyambut kedatangan ponakan serta kakak-kakaknya.
Sholat sunnah telah usai dilaksanakan. Kanes dan Denas berjalan pulang dengan langkah yang kuat, memutar-mutar sajadah serta menarik sang Ayah agar berjalan lebih cepat. “Ayah, ayo cepetan jalannya, nanti mereka keburu sampai rumah” Titah Kanes. Ayah hanya tersenyum dan meng-iya-kan.
Sampailah Kanes dan Denas di rumah mungilnya yang berukuran 6 x 10 meter. Tak mau berganti pakaian, Kanes langsung duduk bersila di teras rumah sambil menopang dagu, bersiap menyambut kedatangan mereka. Begitu pula Denas yang selalu mengikuti kakaknya.
Tiba-tiba penglihatan Denas tertuju pada seekor anak ayam yang mengambang di kolam ikan tepat di pojok teras rumah. “Ka, apakah anak ayam bisa berenang seperti bebek?” Tanya Denas. “Tidak Denas, anak ayam tidak bisa berenang, seperti kita” Jawab Kanes. “Apa karena masih anak-anak?” “Bukan, karena belum belajar berenang” Jawab Kanes lagi.
Denas menjinjing bangkai anak ayam yang terapung dari kolam dan menaruhnya di depan Kanes yang masih fokus melihat satu titik. Titik dimana mereka akan datang. “Pantesan anak ayam ini mati” Celetuk Denas.
Kanes kaget. Tanpa pikir panjang ia bergegas membawa bangkai anak ayam itu ke belakang rumah dan menguburnya. Denas pun membantunya.
Gemuruh suara mobil terdengar melewati rumah, kurang lebih ada 5 mobil berukuran sedang layaknya mobil keluarga. Suara itu hening menandakan mereka memarkiran mobil-mobilnya. Ada halaman cukup luas yang dimiliki oleh anak-anak Pak Ginanjar, Ayahnya Kanes dan Denas serta kelima kakaknya, halaman luas ini memang khusus untuk parkir mobil ketika hari raya seperti ini.
Kanes dan Denas yang sedang dibelakang rumah mendengar gemuruh itu, dengan senangnya mereka berlari keluar rumah untuk menyambut mereka.
Satu persatu anak-anak Pak Ginanjar yang semuanya sudah berkeluarga ini salim dan bermaafan seperti yang dilakukan kebanyakan orang pada umumnya. Kanes dan Denas tak mau kalah oleh Ayah, mereka juga menyambut dan hendak salim kepada kakak-kakak mereka.
“Kanes, Denas, kalian mandi apa ngga sih? Kotor amat kaya abis maen tanah?” Tanya Robby dengan nada culas. “Kalo masih kotor ga boleh salim dan ga bakal dapat THR” tambah istri Robby.
Kanes dan Denas pun bergegas kembali ke sumur, menimba air sendiri meski yang didapat hanya sedikit, lalu mandi dengan air seadanya.
Sementara itu Pak Ginanjar, Ibu dan anak-anaknya berkumpul di ruang tengah, ruang keluarga yang seadanya. Tidak ada yang berubah dari waktu ke waktu. Kecuali senyuman Ibu yang merekah saat tahu bahwa anak-anaknya telah pulang. Dulu saat Ibu masih sehat, Ibu dan Pak Ginanjar sangat sering berkeliling dan silih berganti tinggal di rumah anak-anaknya yang berbeda-beda kota. Namun saat kondisi Ibu seperti sekarang, beliau hanya bisa tinggal di rumah dan dirawat oleh suaminya, Pak Ginanjar.
“Tumben kalian bebarengan datangnya?” Tanya Pak Ginanjar. “Iya Yah, semalam kita kumpul di rumah Renal” Jawab Ruben, anak pertama. “Kami sekarang juga ga bakal terlalu lama Yah” Timpal Renal, anak kedua. “Loh kenapa? Itu lho, kasian Kanes dan Denas dari semalam udah nungguin cucu-cucu, jadi banyak teman katanya” Jawab Pak Ginanjar. “Kami rencana mau langsung ke Bali, ada undangan liburan dari teman kantornya Kak Ruben” Jawab Renal. “Oh begitu. Ayah dan yang lain ikut?” Tanya Ayah. “Kasian Ibu Yah, Ayah jagain ibu saja di rumah” Jawab Ruben. “Kami boleh ikut?” Tanya Kanes yang ternyata sudah menguping pembicaraan mereka. “Ini, ini” Robby memberikan THR kepada Kanes dan Denas. “Kalian jaga Ibu saja di rumah, khawatir ada apa-apa sama Ibu kalo Ayah lagi pergi ngojek” Lanjut Robby sambil megang pundak mereka.
Belum sempat Kanes dan Denas bermain bersama ponakan-ponakannya. Ruben beserta adiknya yang lain bergegas pergi meninggalkan rumah dengan raut wajah bahagia. Tak lupa mereka pamit dan salim kepada Ibu. Sedangkan di rumah tertinggal wajah kecewa yang tergambar pada Kanes dan Denas.
Rumah kembali sepi. Hanya ada Ibu yang sedang melihat bingkai foto keluarga, Pak Ginanjar yang kembali ke aktifitasnya mencari nafkah, serta si bungsu yang sedang melamun di teras rumah.
“Gimana ya biar kakak-kakak kumpul lagi?” Tanya Kanes pada diri sendiri. “Iya ya, masa setahun cuma sekali kumpul keluarga” Timpal Denas yang menguping. “Aku punya ide” Kata Kanes. “Gimana kalo aku pura-pura meninggal” Lanjut Kanes. “Kenapa emangnya?” Tanya Denas. “Kamu ingat ga ketika Pak Haji Husen meninggal, seluruh keluarganya pada pulang ke rumah Pak Haji. Keluarganya kumpul kan” Jelas Kanes. “Oh iya bener-bener, Ya udah ayo mumpung kakak-kakak belum terlalu jauh perginya” Ucap Denas. “Tapi gimana cara pura-pura meninggal?” Tanya Kanes. Mereka berpikir.
“Aku tau, gimana kalo pura-pura tenggelam di sumur aja? Seperti anak ayam yang mati di kolam. Nanti aku tinggal teriak ke tetangga kalo Kanes tenggelam di sumur.” Jelas Denas. “Oke-oke” Saut Kanes.
Mereka pun pergi ke sumur dan melakukan rencananya dengan hati-hati. Perlahan Kanes turun ke dalam sumur sembari memegang tali yang mengait pada ember, sedangkan ujung tali lainnya dipegang oleh Denas.
“Kanes, gimana aku teriak ke tetangga sedangkan aku disini memegang tali?” “Ya sudah talinya kamu kaitkan ke paku itu” Jawab Kanes sambil menunjuk ke arah paku yang berada di atas permukaan tembok sumur yang lapuk.
Denas lalu hendak pergi keluar rumah untuk memanggil tetangga sesuai rencana. Tiba-tiba dari arah kamar Ibu, Ibu meringis kesakitan, ternyata Ibu terjatuh dari kursi roda. Denas pun bergegas masuk menolong Ibu. Denas berusaha menaikkan kembali Ibu ke kursi roda namun tidak kuat. Akhirnya ia berlari meminta bantuan tetangga, namun para tetangga dekatnya masih belum ada di rumah, mereka masih berkeliling silaturahmi. Tanpa pikir panjang Denas pun berlari ke ojek pangkalan yang jaraknya lumayan jauh dari rumah, berniat memanggil Ayah yang sedang bekerja.
“Ayah, Ibu jatuh dari kursi roda” Ucap Denas lemas. Sedikit panik, Ayah langsung membawa Denas dan pulang ke rumah.
Ibu kembali duduk di kursi rodanya dengan bantuan Ayah.
“Kenapa kamu sendiri, Kanes mana?” Tanya Ayah pada Denas. “Tadi Kanes sedang main di sumur Ayah” Jawab Denas lugu.
Namun, Pak Ginanjar tidak melihat adanya Kanes di dekat sumur. Akhirnya Pak Ginanjar menghampiri untuk memastikan bahwa tidak ada hal buruk yang menimpa Kanes.
“Kanessssss… astaghfirulloh nak”. Pak Ginanjar histeris melihat Kanes yang mengambang, dengan sigap dan hati-hati ia mengangkat Kanes dan membawanya ke ruang tengah. Terlihat air mata menetes di pipinya. Denas tersenyum dan kagum melihat Kanes memerankan perannya dengan baik. Pak Ginanjar menelepon Ruben hendak mengabari bahwa Kanes telah meninggal.
“Ben, cepat pulang lagi nak! Kanes meninggal” Ucap Pak Ginajar dengan tersedu. “Ayah ga usah bohong, Kalo mau ikut ke Bali kenapa tidak bilang tadi. Lagian juga kita baru ketemu kan sama Kanes, dia sehat-sehat aja”. “Tidak Ruben, Ayah tidak bohong”
Ayah mengirimkan sebuah foto kepada Ruben yang memperlihatkan Kanes terbaring lemah di lantai beralas karpet.
Selang beberapa jam, Ruben dan adik-adiknya sampai kembali di rumah. Rumah terlihat ramai oleh para tetangga dan teman ngojek Ayah. Ruben dan adiknya yang lain sedikit terkejut melihat Kanes yang sudah terbaring kaku berbalut kafan. Mereka menghampiri Kanes dan mengecup keningnya bergantian. Air mata menetes di pipi Ruben.
“Maafin kakak Kanes, kakak nyesel gak ngajak kamu ikut dengan kakak” Ucap Ruben tersedu. Mendengar Ruben mengucapkan itu, Denas yang dari tadi duduk dekat Kanes bertanya kepada Ruben.
“Emang beneran kita mau diajak Kak?” Tanya Denas. Ruben hanya mengangguk.
“Kanes bangun, kita mau diajak liburan” Bisik Denas. “Kanes bangun! Ini udah ada Iki, Gani, Siva, sama Lulu, kita maen bareng nanti di Pantai” Ucap Denas sambil menggoyangkan pundak Kanes. Namun, tidak ada respon sama sekali dari Kanes. “Kanes bangun!” Denas sedikit berteriak putus asa.
“Kanes sudah gak ada, Denas” Ucap Ayah rintih. “Nggak Ayah, Kanes itu pura-pura” Balas Denas tegas. “KANES BANGUN!” Teriak Denas lagi, tak terasa air mata mengalir di pipinya.
Denas pergi ke belakang hendak mengambil tali di sumur untuk menjelaskan bagaimana rencana mereka. Namun, tali itu sudah tidak di posisi sebelumnya, melainkan ada di dalam sumur mengapung di atas air. Paku yang menancap di tembok pun hilang terjatuh.
Denas berlari kepada Kanes dan memeluknya erat. Air mata tak terbendung mengalir deras membasahi pipinya.
Ibu yang sedari tadi terduduk di kursi roda, tersenyum.
Selesai
Cerpen Karangan: Adlee www.instagram.com/adllee Muhammad Adli Zulkifli dengan nama pena Adlee, Lahir di Ciamis, ulang tahun bareng Donald Trump. Sekarang sedang menempuh pendidikan dimana saja.