Namaku ayu, manusia normal seperti perempuan pada umumnya, suka ngrumpi, mencari banyak kenalan, hangout saat sepi kerjaan, rutin setiap hari update story whatsapp, masak dan bersih-bersih sudah menjadi hobiku setiap hari, hanya saja, di usiaku yang baru dua puluh delapan ini aku masih single dam tak ada satupun teman laki-laki yang bisa membuatku tertarik.
Jangan tanyakan bagaimana nasib teman seangkatanku. Ada yang sejak lulus SMA sudah menikah, ada yang sekarang mempunyai dua anak, ada yang memintaku mengambilkan rapor anaknya lantaran suaminya bekerja dan dia jatuh sakit, bahkan ada yang baru menikah dua tahun tapi sudah mempunyai tiga anak. Bagaimana bisa? Yaa karena dia menikah dengan duda beranak dua yang ditinggal mati istrinya. Semoga aku tidak seperti itu.
Aku sudah bosan dengan omongan orang-orang yang mendesakku untuk segera menikah. Bahkan bisa dibilang aku sudah tuli dari omongan seperti itu. Tidak sadarkah mereka bahwa ini adalah hidupku? Tak tau dirikah mereka mengatur jalan hidup yang nantinya hanya aku yang menjalani?. Biarkan saja.
Kalian tanya orangtuaku? Menurutku mereka sangat bangga mempunyai anak perempuan yang tangguh, pintar, mandiri, sanggup bangkit dari keterpurukan, sukses dalam dunia pendidikan dan karir, bahkan dengan gajiku yang jutaan tiap bulannya, aku bisa menebus SPP sekolah adikku dan membantu bapak merenovasi rumah.
Tapi masih menurutku juga dan aku jujur mengatakan ini, mungkin bapak dan ibuku memendam harapan yang begitu besar agar aku segera menikah. Hufftt.. aku hanya bisa pasrah jika mengingat kenyataan itu.
“Kali ini kau pulang untuk berapa hari yu?” “Mungkin tiga hari bu.” Itu adalah percakapan dengan ibu satu bulan yang lalu. “Ibu sangat bangga denganmu nak, begitu juga bapakmu. Punya anak yang sangat pintar, sukses, dan sayang kepada orangtuanya.” “Terimakasih bu, doakan ayu selalu bisa berbakti dan membahagiakan ibu”. Kusandarkan kepalaku ke bahu ibu. “Kau selalu membuat ibu bahagia nak. Tapi bolehkah ibu mengutarakan sesuatu?” “Iya bu, silakan. Apa yang ibu minta akan ayu usahakan”.
Kupandangi wajah ibu lamat-lamat, terlihat betul raut wajah ibu yang berbinar-binar penuh harap. Aku bisa membaca itu. Mata ibu memandang lurus ke depan seperti melihat sebuah angan-angan yang begitu ingin diraihnya. Kurasakan perlahan tangan hangat ibu menyentuh jemariku, dan menggenggamnya penuh harap. Lalu ibu berkata, “Ibu ingin menimang cucu yu” Seketika itu jantungku seperti terhenti, merasakan kalimat ibu masuk lewat telinga dan menjalar ke sekujur tubuh. Genggaman tangan ibu pun sangatlah halus dan lembut, tapi aku seperti ditekan beratnya sebuah harapan yang sudah dipendam dan menumpuk sekian lama.
“Ibu membayangkan nak, saat cucu ibu sudah lahir nanti, ibu akan menggendongnya jika kamu lelah, meninabobokkannya saat susah tidur, membantumu mencucikan bajunya, membimbingnya mulai dari merangkak, berdiri, berjalan, sampai akhirnya dia bisa naik sepeda, tumbuh dewasa dan pintar sepertimu yu”
Aku benar-benar tak bisa berkata apapun. Kupeluk ibu. Kupeluk erat. Kupeluk tubuhnya yang sudah tak sekokoh dulu. Kupeluk ibu dengan tubuhku yang gemetar mendengar harapannya yang begitu besar. Aku mantapkan hatiku untuk menatap wajah ibu. Dan saat aku melihatnya, Ya Allah… Sebegitu besarkah keinginan yang ibu pendam selama ini? Sampai-sampai harus menjatuhkan air mata?
Tiga hari berlalu sangat cepat. Liburku habis, dan sekarang aku harus kembali ke ibu kota. Setelah percakapan di pagi hari itu, ibu tak pernah sekalipun membicarakannya kembali. Begitu juga dengan bapak. Aku tau ibu menutupi semuanya. Menampakkan ketabahan dan kesabaran, menutupi harapan dan keinginan yang tak terkatakan, hanya agar anak perempuannya ini tidak merasa terbebani, dan tidak tersiksa memikul besarnya harapan kedua orangtuanya.
Sesaat sebelum benar-benar meninggalkan rumah dan pergi, aku salami kedua orangtuaku, aku peluk mereka berdua, aku rasakan hangat kasih dan sayang meraka mengalir ke sekujur tubuhku, dan saat itu juga aku mengerti.
“Sudah yakin tak ada yang tertinggal yu?” Ibu bertanya meyakinkan. “InsyaAllah bu” “Bapak dan ibu selalu mendoakanmu nak” “Njih pak. Bapak jangan memaksakan diri untuk tetap ke sawah ya, jaga kesehatan bapak” “Siap Komandan!!!” Sahut bapak yang membuat aku dan ibu tertawa. “Ya sudah bu, bapak, ayu pamit dulu ya. Assalamualaikum” “Waalaikumussalam”
Aku berjalan meninggalkan bapak dan ibu yang masih mengawasiku di ambang pintu. Dan saat sampai ujung pelataran tiba-tiba ibu berteriak kencang, “Ayu!! Jangan lupa kirim kabar ya kalau sudah sampai!!” Ternyata bapak tak mau kalah dengan ibu, “Bapak juga yu!! Di SMS!!” Aku pun yang masih muda dan bertenaga lebih tak mau kalah lagi. Kutegapkan tubuh, pandanganku lurus kedepan, seraya mengangkat tangan kananku dan meletakkannya tepat di samping dahi aku berteriak, “Siap Laksanakan!!”. Kami tertawa, dan kemudian berakhir dengan saling melambaikan tangan.
Tiga jam perjalanan kuhabiskan dengan mendengarkan music genre acoustic gaya anak muda sekarang, sedikit bercakap dengan penumpang sebelahku, dan selebihnya aku manfaatkan untuk mengumpulkan tenaga. Terlelap.
Sampai di ibu kota tepat pukul 11:00 siang, masih ada waktu bagiku untuk sekedar mandi dan sholat dhuhur. Walaupun hanya setengah hari, melihat posisi jabatanku di kantor, aku tetap harus berangkat. Kehadiranku lebih dari sekedar dibutuhkan.
Satu minggu pertama aku benar-benar terlelap dalam kesibukan. Berangkat pagi tepat pukul tujuh, istirahat siang sekedar untuk makan dan sholat, melanjutkan perkerjaan hingga pukul lima sore, barulah tubuh ini bisa meregangkan saraf dan otot-otot yang kaku.
Sampai pada minggu kedua, pekerjaanku mulai normal seperti biasa. Karena beban pekerjaan yang kutinggal cuti selama tiga hari sudah kulahap habis di minggu pertama. Alhasil, sekarang aku mendapatkan waktu untuk lebih bersantai.
Dan benar adanya, bahwa jika kita tersibukkan oleh suatu pekerjaan, jangankan memikirkan perkara lain, memikirkan perut sendiri pun kerap terabaikan. Tapi saat tak ada beban kerja apapun, otak kita mulai terkontaminasi pikiran dan bayangan yang berseliweran. Dan itu terjadi padaku.
Yang biasanya usai jam sepuluh malam bisa dipastikan aku sudah banyak terlelap, hari itu berbeda. Mataku benar-benar tak mau dipejamkan. Setiap detiknya aku seperti melihat kilatan bayang-bayang keluargaku. Bapak, ibu, dan juga adikku yang sekarang baru menginjak dewasa. Silih berganti mereka datang menghampiriku. Kucoba memiringkan tubuh dan sedikit merubah posisi bantal, tetap saja aku masih tak bisa tidur.
Saat kupaksakan untuk lari dari bayangan itu, bukannya menghilang justru tiba-tiba aku seperti diseret oleh waktu. Flashback.
Tergambar jelas apa yang ada di depan mataku. Tangan ibu yang menyentuh jemariku, menggenggamnya penuh harap. Dan dengan tatapannya yang teduh, kuperhatikan bibir ibu mengeluarkan kata-kata yang benar-benat membuatku lumpuh. “Ibu ingin menimang cucu yu”. Hatiku benar-benat kelu.
Setelah malam itu pikiranku benar-benar kalut. Pekerjaan kantor pun mulai kacau satu per satu.
“Ayu, kamu baik-baik saja?” “Iya pak. Maaf” Atasanku begitu khawatir melihatku yang mulai sering melamun. Takut akan terbengkalainya pekerjaan menumpuk yang harus segera aku tuntaskan. Diam dengan tatapan kosong, bukannya aku, justru laptoplah yang memandangiku.
Ibu, sekarang ayu mengerti bu, sekarang ayu tau. Bahwa ibu menyimpan harapan yang begitu besar, memendamnya sendiri dalam senyum dan ketabahan. Maafkan ayu bu, maafkan ayu. Yang hanya demi karir, ayu rela menduakan kebahagiaan ibu.
Cerpen Karangan: Yusril.Alim