“Kenapa hidupku hanya begini saja?” pertanyaan itu selalu saja menghantuiku selama ini, sudah kutanyakan pada mesin pintar yang kata orang-orang dapat menjawab semua pertanyaan namun aku tak dapat menenukan jawabannya. Kemana lagi aku harus mencari jawaban yang sangat sulit itu.
Sudah setahun ini aku hanya di rumah saja, setelah lulus kuliah aku belum juga mendapatkan pekerjaan yang sesuai keinginanku. Kesana kemari setiap hari, dimanapun sudah kucoba untuk melamar pekerjaan, namun tetap saja dewi keberuntungan belum berpihak padaku.
Siang ini terasa sekali sang surya naik tepat diatas ubun-ubun seakan membakarku hidup-hidup, lalu lalang orang melewatiku begitu saja. Aku duduk di sebuah bangku di taman kota, sambil kulihat seorang anak kecil berusia sekitar 9 tahun berdiri tak jauh dariku sambil menggendong sebuah bakul di punggungnya. Tubuhnya yang kurus ringkih mampu membawa beban yang cukup berat itu, karena kulihat keringat menetes di keningnya hingga membuat bajunya sedikit basah.
Derap kakinya yang mungil semakin mendekatiku, sambil minum es kelapa muda kuperhatikan terus bocah lelaki itu, hingga sampai di depanku ia masih diam saja.
“Ada ada, kenapa kau melihatku begitu?” kutanya setelah lima belas menit ia hanya diam saja didepanku. Namun ia hanya menggelengkan kepala, entah apa maksudnya.
“Kau mau minum?” kutanya sekali lagi, karena kupikir ia haus mengingat cuaca yang sangat panas ini. Akhirnya ia menganggukkan kepalanya. Segera kubelikan segelas es kelapa muda yang sama denganku, lalu kuberikan padanya. Anehnya ia tidak segera meminumnya, malahan ia menurunkan bakul yang ia gendong tadi. Awalnya kupikir ia ingin istirahat dan duduk di sebelahku sambil menikmati es kelapa muda itu.
Ia segera mengeluarkan isi dari bakul itu dan meletakkannya di sampingku. Betapa terkejutnya aku melihat apa yang ada di dalam bakul itu. Seorang batita perempuan dengan baju yang lusuh serta ingus yang menetes hampir mengenai mulutnya. Segera kuambil tisu di dalam tasku.
“Hei kenapa kau menaruhnya di dalam bakul?” tanyaku pada sang kakak sambil membersihkan ingus anak kecil ini. Entah kenapa tidak membuatku jijik sama sekali dan justru merasa iba.
“Kemanapun aku pergi aku selalu membawanya, karena dia adalah hartaku satu-satunya. Orangtuaku sudah tiada, jadi aku yang menjaga dan merawat adikku.” Jelasnya sembari menyuapi es kelapa muda itu pada adiknya. Sang adik nampak senang menerima suapan itu, dan sesekali menyuapi sang kakak dengan tangan mungilnya, aku sampai bingung harus berekspresi bagaimana, sedih melihat keadaan mereka atau terharu akan sikapnya pada sang adik serta rasa saling menyayangi diantara keduanya.
Dan kulihat keadaan sekitar banyak orang yang melihat interaksi kami, ingat hanya melihat tanpa berempati pada anak kecil ini. Beginikah nasib orang yang jauh lebih tidak beruntung? aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Tergerak hatiku membelikan makanan dan beberapa kebutuhan mereka, meskipun tak banyak merasa sangat senang. Akhirnya ia bercerita bahwa ia bekerja sebagai penjual kerupuk keliling dengan hasil tidak menentu setiap harinya.
Dari pertemuan itu aku mendapatkan sebuah jawaban yang selama ini kucari, yaitu rasa syukur, usaha, serta pantang menyerah, itu yang tak kumiliki selama ini. Karena kuakui selama ini hidupku kurang bersyukur dan selalu menginginkan sesuatu yang sempurna apapun itu. Sejak pertemuan itu, aku sering bertemu dengan kedua bocah kecil dan berbagi rejeki bersama mereka.
Cerpen Karangan: MayCiada Blog / Facebook: Maria Lucia