“Cepat bawa kardus berisi baju-baju itu sebelum hujan turun!” suruh Bapak yang sedang sibuk membawa sofa untuk dimasukkan ke ruang tamu. Mas Rangga –kakakku, ikut berseru, “Benar kata Bapak, Raka. Kita harus bekerja cepat sebelum hujan mengguyur barang-barang yang tersisa!”.
Aku mendongak. Langit mulai gelap karena awan hitam menutupi sinar matahari. Padahal sekarang masih pukul satu siang. Tidak lama suara gemuruh mulai susul menyusul dari langit. Disaat aku bekerja cepat menurunkan kardus berisi baju-bajuku dari atas mobil pick-up, gerimis mulai turun. Aku harus bergerak lebih cepat.
Beberapa tetangga baru membantu kami menurunkan dan membawa barang-barang masuk ke dalam rumah. Hari ini aku pindah ke rumah kontrakan. Seminggu yang lalu aku berhasil mendapat posisi pekerjaan menjadi guru dan ditempatkan di salah satu desa yang cukup jauh dari kota. Sekeliling desa ini hijau dengan pegunungan kapurnya. Namun, kata warga di sini saat musim kemarau desa ini terasa kering dan panas.
Dan benar, sepuluh menit kemudian hujan turun dengan deras. Untung saja semua barang yang ada di mobil pick-up sudah dimasukkan ke dalam rumah. Aku, Bapak, Mas Rangga dan tiga tetangga baru sedang menikmati teh hangat dan gorengan buatan Ibu. Setidaknya aku masih punya kompor portable.
Di luar hujan semakin deras dan menciptakan suhu dingin. Kami menghangatkan diri di ruang tamu sambil bercakap-cakap dengan suguhan teh hangat dan gorengan. Pak Maman menceritakan suasana desa saat musim kemarau tiba, sedangkan di sudut ruangan Ibu sedang asik membahas harga kebutuhan pokok bersama Bu Ratna –istri Pak Maman.
“Jadi, di mana pemilik rumah kontrakan ini? Sedari tadi aku belum bertemu dengan beliau. Bahkan kami hanya bertemu sekali saja.” Bunga –anak perempuan Pak Maman, menoleh ke arahku. “Jangan harap Pak Timin berkunjung ke rumah ini” Bunga berkomentar, “bisa jadi beliau merusak suasana hangat ini, Mas.”
Tepat setelah mengucapkan kalimat itu, Pak Timin datang sambil melipat kedua tangannya di dada, menatap setiap orang yang ada di ruang tamu. Aku hendak berdiri ingin menyapanya, tetapi beliau menghentikan gerakanku sambil menatapku tajam. “Sudah kuduga, tempat ini menjadi ramai jika ada orang pindahan. Saat aku kesulitan mencari ayam jantanku, kenapa kau tak membantu, Pak Maman? Sedangkan, tanpa disuruh kau mengajak istri dan anakmu membantu orang baru ini!”
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Dan mengapa tiba-tiba Pak Timin marah-marah seperti ini? Suasana mencekam terasa hingga di sudut ruangan. Pak Maman, Bu Ratna, dan Bunga sebagai warga yang sudah lama tinggal di sini hanya terdiam seraya menundukkan kepala. Bapak menengahi, berdiri mendekati Pak Timin yang berada di ambang pintu.
“Selamat siang, Pak Timin. Saya Bapak dari Raka yang hari ini pindah ke rumah kontrakan milik Pak Timin. Karena kami orang baru di sini, alangkah baiknya Pak Timin tidak langsung marah-marah seperti ini. Apalagi hal ini tidak ada hubungannya dengan keluarga kami.” Sebisa mungkin Bapak menggunakan bahasa yang sopan. Takut jika perkataannya melukai Pak Timin. “Aku tidak peduli! Raka, karena kamu memutuskan mengontrak di sini, tolong taati peraturan yang ada. Terutama jangan berisik! Rumahku ada tepat di sebelah rumahmu, jadi aku bisa mendengar jika ada kebisingan yang berasal dari sini. Paham?!” Aku hanya mengangguk, takut melihat Pak Timin yang melototiku. Setelah itu Pak Timin bergegas kembali ke dalam rumahnya.
Jam dinding menunjukkan pukul 10 malam. Beberapa perabotan dapur, kamar mandi, dan alat-alat elektronik sudah berada pada tempatnya. Kasur yang telah kupesan masih dalam tahap proses pengiriman, jadi malam ini aku bisa tidur di sofa. Satu jam yang lalu Bapak, Ibu, dan Mas Rangga sudah pulang ke rumah yang berada di kota. Begitu pula dengan keluarga Pak Maman. Tinggal aku sendirian di rumah kontrakan ini.
Bunga dan Bu Ratna sempat berbicara padaku tentang sikap Pak Timin tadi. Warga di desa ini sangat mengenal siapa Pak Timin dan mengapa sikapnya kasar kepada orang baru. Dulunya Pak Timin adalah petani jagung yang ramah dan selalu mementingkan orang lain ketimbang dirinya. Sudah lama Pak Timin hidup sendirian semenjak istrinya meninggal tiga tahun yang lalu. Beliau memiliki dua anak laki-laki yang hidup jauh di negara seberang. Kata Bunga, kedua anak Pak Timin sudah sukses dan melupakan negaranya apalagi bapaknya. Semenjak itulah sikap Pak Timin menjadi tidak bersahabat. Suka marah-marah tidak jelas dan sebagainya.
Rumah kontrakan yang kutinggali saat ini memang milik Pak Timin. Namun, lebih tepatnya rumah ini milik keluarga istrinya. Harusnya rumah ini akan ditinggali salah satu dari kedua anaknya, tetapi mereka jelas-jelas sudah melupakan kampung halamannya. Beberapa orang yang tinggal di rumah kontrakan Pak Timin, hanya bertahan paling lama lima bulan. Mengapa? Lagi-lagi karena sikap Pak Timin. Begitulah kata Bunga dan Bu Ratna sebagai warga asli desa.
Pagi harinya, aku mengintip dari jendela ruang tamu. Terlihat Pak Timin sedang duduk santai di teras rumahnya sambil menyeruput segelas kopi hangat. Kuambil keranjang buah dari meja kayu dan kubawa untuk diberikan pada Pak Timin. Aku melakukan ini atas perintah Ibu. Baiklah, akan kulakukan apapun resikonya. Resiko? Terlalu berlebihan.
Dengan seragam berwarna cokelat muda, aku berjalan mantap ke arah Pak Timin. Merasa ada yang mendatanginya, Pak Timin langsung menoleh ke arahku. Jarak kami kurang dari satu meter. Aku menelan ludah. Menimang-nimang kalimat apa yang harus kuucapkan.
“Ada apa?” Pak Timin bertanya dengan nada yang ketus. Aku menyodorkan keranjang buah itu, “Selamat pagi, Pak. Ini buah-buahan untuk Pak Timin. Masih segar dan tentunya cocok sebagai camilan.”
Pak Timin melihatiku dari atas sampai bawah. Kemudian tersenyum miring, “Kenapa kau memberiku keranjang buah? Kau kira aku sakit, hah?! Satu lagi, kau mau pamer pekerjaanmu menjadi guru padaku? Raka, kau hanya guru SD. Tidak lebih tidak kurang.”
Memang sakit mendengarnya. Namun, segera kutepis perasaan itu. Aku menaruh keranjang buah ini di meja kayu. “Jika membutuhkan teman mengobrol panggil saja saya, Pak. Akan lebih enak jika memakan buah-buahan ini sambil bercerita sana sini. Kalau begitu saya pamit,” ucapku, kemudian bergegas menuju sekolah –tempat kerja baruku.
Aku pulang larut malam karena rekan kerja seniorku membutuhkan bantuan dan itu mendesak. Mau tidak mau aku harus membantunya. Di luar hujan kembali turun dengan derasnya. Aku berlari kecil menerobos tetesan air hujan. Sesampainya di rumah, bajuku basah kuyup. Untung saja dokumen-dokumen penting kutaruh di laci meja kerja.
Saat aku membuka pintu rumah, lantai ruang tamu basah. Seperti habis dipel. Kemudian aku mendongak ke langit-langit rumah. Dan benar saja, gentengnya bocor. Sudah nasibku jika begini. Menjadi anak perantau memang susah-susah gampang. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Memikirkan di mana aku tidur malam ini? Sofa yang seharusnya menjadi tempat tidurku sudah basah separuh karena tetesan air hujan.
CETAARRR Suara petir dari atas sana sukses membuatku terkejut di ambang pintu. Hampir saja aku terpeleset. Di saat yang bersamaan, aku terkejut kembali. Pak Timin menepuk pundakku dari belakang. Sambil melirik keadaan ruang tamuku yang tidak layak ditinggali, “Pergilah ke rumahku.” Aku bertanya, “Ada perlu apa, Pak?” Pak Timin mendengus seraya memalingkan wajahnya, “Jangan banyak tanya!”
Dengan cepat aku melangkahkan kaki menuju rumah Pak Timin. Tidak lupa aku menutup pintu rumahku dulu. Akan kupikirkan kembali nanti bagaimana mengatasi ‘bencana’ di ruang tamuku. Daripada diomeli Pak Timin karena tidak menuruti permintaannya.
Pertama kalinya aku berkunjung ke rumah Pak Timin. Ya, selain menyapanya di teras aku belum pernah memasuki rumahnya. Rumah tua ini tidak sekuno yang dipikirkan. Cat temboknya sudah separuh mengelupas, tapi Pak Timin memasang pigora berisi lukisan wayang untuk menutupi beberapa cat yang mengelupas itu. Di dalam ruang tamunya, terdapat dua kursi kayu panjang yang cukup ditempati dua orang dan meja kayu sebagai pelengkap. Di sudut kiri terdapat rak buku dengan jam bandul di atasnya. Sangat kuno, tetapi nyaman untuk ditinggali.
“Pakai ini! Jangan membuat lantaiku basah,” suruh Pak Timin. Tanpa protes aku menerima kaos abu-abu polos dan celana pendek selutut dari Pak Timin. Beliau mengantarku ke kamar mandi dan menyuruhku membersihkan diri. Setelah beberapa menit membersihkan diri, badanku kembali segar.
“Minum ini! Aku tidak mau seseorang meninggal di rumahku karena kedinginan.” Lagi-lagi sikap ketus Pak Timin membuatku bingung. Beliau memerintahku ini itu dengan kalimat-kalimatnya yang tajam, tetapi juga memperlakukanku dengan baik. Seperti anaknya sendiri.
Setelah menghabiskan minuman hangat, aku beranjak dari duduk, tetapi Pak Timin mencegah. “Mau kemana, hah?! Diam duduk di sini. Makan buah-buahmu itu. Aku bersumpah malam ini kau tidak bisa tidur di ruang tamu yang gentengnya bocor!” ucapnya ketus.
Suasana canggung menyelimuti kami di ruang tengah. Pak Timin fokus menonton berita di televisi. Tidak berani memulai pembicaraan dan sesungguhnya aku ingin pulang saja. Sampai akhirnya aku tertidur selama dua jam. Saat aku terbangun dari tidur, tidak ada Pak Timin di sini. Beberapa lampu sudah dimatikan. Mungkin Pak Timin sudah tidur di kamarnya.
Perlahan kulangkahkan kaki menuju pintu. Ya, aku harus pulang. Tidak ada alasan lagi aku harus di sini. Namun, ketika melewati kamar Pak Timin, aku mendengar suara isakan tangis. Pintu kamarnya sedikit terbuka. Mataku menangkap Pak Timin yang sedang menangis sambil melihat selembaran foto.
Bisa kutebak itu foto keluarga Pak Timin. Lengkap dengan mendiang istrinya dan kedua anak laki-lakinya yang masih remaja. Jika boleh kusimpulkan, Pak Timin yang suka marah-marah dan sifat sensitifnya itu karena beliau kesepian. Beliau tidak tahu harus bagaimana mengekspresikan perasaan itu. Beliau benci mendengar gosip para tetangga tentang kedua anaknya. Dan, beliau ingin ada seseorang yang menemaninya di masa tua.
Kenapa itulah Pak Timin menyuruhku membersihkan diri, memakai pakaiannya, memberiku minuman hangat, juga buah-buahan yang kuberi pagi tadi. Bahkan beliau tidak keberatan aku tertidur di ruang tengah. Lihatlah laki-laki tua itu. Menekuk lutut sambil terus memandangi selembar foto. Dari sini aku melihat sisi lain dari Pak Timin yang sensitif. Mulai saat ini aku berjanji akan menemani masa tua Pak Timin di desa ini.
Tamat.
Cerpen Karangan: Bella A. Putri IG: @bellaap27 Terimakasih.