Sepasang lampu-lampu bernyanyi lirih dalam gerimis yang tak kunjung reda. Sunyi tiba-tiba sempurna merebak ke seluruh arteri jalan. Tak mau kalah kuayunkan sepedaku berwarna biru. Kutelusuri jalan dengan menerobos kesunyian ditengah gerimis, yang tak kunjung berhenti membasahi jalan.
Kubuka pelan gerbang rumahku yang berwarna hitam. Kudorong sepedaku dengan sangat hati-hati. Takut mengganggu ayahku. Barang kali sudah berlabu jauh di alam mimpi. “Mengapa selarut ini?” tanya ayahku tiba-tiba. Aku kaget sambil menoleh kearahnya. “Loh ayah belum tidur?” Tanyaku balik. “Apa kamu pikir ada orangtua bisa tidur nyenyak ketika anak-anak mereka belum di rumah”. Katanya tegas. Aku hanya diam menatapnya. Dengan cepat ayahku mengambil sepedaku dan mendorongnya ke dalam garasi. “Maaf ayah aku membuatmu khawatir”. Ucapku pelan. Ayah hanya menatapku dengan mata sendu. Seakan ada sesuatu yang ingin dia katakan tetapi tidak bisa.
Dia tiba-tiba mencium keningku. “hanya kamu alasanku untuk bertahan hidup”. Ucapnya dengan lirih. Ayah selalu memeperlakukanku sebagai anak kecil yang butuh perhatian kusus. Semenjak Ibu dan kakakku meninggal ayah sudah banyak berubah. Sudah lebih sering di rumah dan selalu menungguku di depan pintu, Setiap kali aku pulang larut malam. Biasanya ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya. Pulang hanya 2 kali setahun. ‘Semoga ayah melakukan ini karena sungguh-sungguh mau menebus dosa-dosanya. Bukan karena berpura-pura’. Batinku.
Hujan semakin deras membuatku harus menunggu lama pergi ke sekolah. Aku tak mau kalah. Kuambil sepedaku kuterobos derasnya hujan. Aku berhenti di tengah jalan dekat trotoar. Jalan itu disebut jalan cileunyi. “Ibu… kakak… bangun. Ayo buka matamu Ibu… kakak buka matamu… aku mohon katakan apa yang terjadi”. Masalalu itu selalu terbayang di wajahku setiap hujan datang. Aku bingung bagaimana mengartikan hujan ini bagiku. Setiap kali turun aku pasti menangis. Hujan dan air mata selalu bercampur membasahi pipiku. Rasa benci dan dendamku kepada ayahku selalu muncul.
Kucoba untuk bertahan, dan kembali kudayung sepedaku. Perlahan-lahan kutelusuri jalanan yang penuh luka dan darah Ibu dan kakakku disana. Kring, kring, kring. Kudengar ada panggilang di handphoneku. Kulihat nama yang memanggil ayahku. “Halo”. Kataku dengan nada tak suka. “Sayang apakah kamu baik-baik saja?” tanyanya ragu. “Ya”. Jawabku singkat. “Baiklah nanti ayah jemput ya”. Katanya lagi. “Tidak perlu aku bisa sendiri”. Jawabku dengan cepat sambil mengakhiri pembicaraan dengan mematikan handphoneku. Aku merasa bersalah sudah memperlakukan ayahku dengan kasar. Tetapi masa lalu yang menyakitkan itu belum bisa hilang dari hatiku. Aku merasa bahwa ayahlah yang membuat Ibu dan kakakku meninggal.
Tiba-tiba WA masuk ke handphonku. Aku membuka, kulihat nomor baru. Awalnya aku ingin mengabaikannya. Tetapi batinku mendorong ingin memebaca isinya. Dan benar saja itu pemberitahuan dari pihak rumah sakit bahwa ayahku sedang kritis. Dengan cepat kudayung sepedaku. Kuterobos macetnya jalan. Dimana banyak kendaraan berlalu-lalang. Aku hampir ditabrak karena menghalangi jalan. Banyak caci maki yang aku dengar dari orang karena menyelip melawan arah dan lalulintas. Ayah maafkan aku. Batinku.
Dengan bergegas kuletakkan sepedaku begitu saja. Aku berlari menelusuri lorong rumah sakit. “Neng… sepedamu mengganggu parkiran”. Kata bapak tukang parkir. Aku tetap belari. Tidak peduli dengan semua itu. Aku hanya ingin cepat bertemu ayahku. “Dokter di kamar nomor berapa ayahku dirawat?” Tanyaku buru-buru. Dengan sigap dokter langsung membawaku ke tempat ayah dirawat. Dengan nafas tersenggal-senggal ku berjalan mendekati ayahku.
“sayang ayah mau memberitahu sesuatu kepadamu”. Katanya pelan. “Semua yang kamu lihat itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Ibumu telah lama menyimpan kenyataan bahwa dia mengidap penyakit kanker. Tetapi disaat aku telah mengetahuinya, Ibumu dan kakakmu kabur dari rumah. Dengan cepat ayah mengejar mereka sebelum jauh. Tetapi aku sudah terlambat. Sebelum aku menemukan mereka tantemu lara, memberitahuku bahwa mereka kecelakaan. Aku langsung bergegas ke tempat kejadian. Saat itu tantemu memelukku karena ketakutan. Ibu dan kakakmu tabrak lari. Dan tidak ada yang mau menolong. Disaat aku dan tantemu datang, kami langsung menelepon ambulan. Aku dan tantemu ingin duluan ke rumah sakit untuk mengurus semua yang dibutuhkan. Dan kamu tiba-tiba datang. Saat itulah kamu berpikir bahwa aku dan tantemu selingkuh. Dan itulah yang menyebabkan Ibu dan kakakmu meninggal”. Dengan suara yang terputus-putus ayahku berusaha memaparkan semua kesalahpahaman yang terjadi antara aku dan ayah. Aku hanya bisa diam tanpa kata-kata. Airmataku mengalir. Aku mulai terisak-isak dalam diam. “maafkan ayah telah menyimpan terlalu lama kebenaran ini”. katanya lagi.
Tanpa ragu kupeluk ayahku dengan erat. Aku menangis sejadi-jadinya. Tidak peduli itu di rumah sakit atau dimana. Berulang kali kuucapkan kata maaf. Hanya itu yang dapat kulakukan sekarang. Kurasakan tubuh ayahku mulai dingin. Kepaskan pelukanku. Kulihat matanya sudah terpejam. Tapi wajahnya meninggalkan senyum yang sangat indah disana. Dengan uring-uringan kupanggil dokter.
Di tengah hujan yang deras kucium nisan ayah, Ibu, dan kakakku. Selamat jalan. Aku akan merindukan kalian. Batinku. Penyesalan tiada guna saat nasi sudah menjadi bubur. Di bawah batu nisan ini, aku hanya bisa duduk memandanginya. Sekarang yang ada hanya duka alam berpeluk sepi. Melebur sukma mengayun nadi. Hujan akan selalu menjadi air mata bagiku.
Cerpen Karangan: Yanti Simanjuntak Blog / Facebook: ichacaem513[-at-]yahoo.com