Tak terasa bulan Ramadhan akan segera datang. Membuat aku rindu dengan seseorang yang sangat berarti dalam hidupku yaitu pakde. Ya, pakde lah yang selalu ada untukku membimbingku dari kecil bersama bude dan nenek. Ada satu kebiasaan pakde ketika aku tinggal dengannya, yaitu ia selalu mengajakku ke indomaret hanya untuk membeli mie instan, padahal di warung saja ada. Aku tinggal bersama mereka di Bekasi ketika kecil, karena ayah dan ibuku sibuk bekerja di Pekanbaru, Riau.
Oh, ya! Namaku Riri. Aku adalah salah satu siswi SMA negeri di salah satu sekolah di daerahku. Untuk ingin bersekolah saja susahnya bukan main. Harus pinjam sana-sini untuk bisa sekolah. Keluargaku sangat mengutamakan pendidikan, jadi apapun caranya aku harus tetap bersekolah. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Saat ini aku tinggal bersama orangtuaku, karena mereka sudah pindah kesini.
Ramadhan tahun lalu aku mendapat kabar bahwa pakdeku tiba tiba serangan jantung, aku sangat terkejut mendengarnya, tentu aku juga sangat khawatir. Setelah beberapa hari dirawat, bude meneleponku, memberi tahu bahwa pakde akan menjalankan operasi untuk memasang ring di jantungnya. Untungnya keadaan pakde berangsur membaik setelah operasi itu. Meskipun keadaannya menjadi sangat lemah, aku sangat senang pakde bisa bertahan dari penyakit itu.
Hari hari berlalu, tiba saatnya untuk merayakan hari raya idul fitri. Aku mengunjungi rumah bude untuk bersilahturahmi sekaligus mengunjungi pakde yang keadaannya masih lemah. Aku sangat sedih melihatnya, dahulu pakde sangat bersemangat ketika dikunjungi oleh keponakan-keponakannya, tapi kali ini ia hanya bisa terbaring dengan kondisi yang belum stabil. Beberapa hari aku menginap disana untuk membantu mengurus pakde.
Setelah liburan berakhir aku harus kembali ke rumah dan bersekolah lagi, sangat berat meninggalkan pakde ku, terlebih hanya namaku lah yang disebutnya ketika memerlukan sesuatu. Bahkan ketika aku pergi saja dia selalu mencariku, “Riri mana?” Ucap pakde kepada siapapun yang ada didekatnya. Fungsi otaknya sudah mulai menurun, sehingga tidak nyambung ketika diajak bicara, mungkin karena kala itu pakde mengalami demam yang tinggi. Betapa terharunya aku ketika mengetahui kondisinya seperti itu tetapi dia masih bisa mengingat dan menyebutkan namaku.
Perlahan lahan keadaannya mulai membaik dan sudah bisa diajak komunikasi dengan baik juga, sudah bisa beraktivitas seperti biasanya. Aku sangat senang mendengar kabar itu, akupun mengunjunginya lagi. Ya, dia sangat senang, dan seperti biasanya dia mengajakku ke Indomaret untuk membeli mie instan, padahal ia belum boleh terlalu banyak beraktivitas apalagi sampai mengendarai motor. Kali ini dia membebaskanku untuk mengambil mie instan seberapapun yang aku mau. Setelah itu kami menjalani aktivitas seperti biasanya. Aku pun kembali ke rumahku.
Sebulan kemudian, bude menelponku, memberi kabar bahwa keadaan pakde drop lagi dan harus dilarikan ke rumah sakit, betapa khawatirnya aku sampai aku mengajak orangtuaku untuk pergi ke rumah sakit juga, tetapi tidak bisa karena pandemi covid-19 ini sehingga tidak sembarang orang boleh masuk rumah sakit. Setiap hari aku menanyakan kabar pakde kepada bude ku. Bude berkata bahwa pakde selalu bertanya dimana aku. Setelah beberapa hari di rawat akhirnya pakde diperbolehkan pulang. Teman-temannya juga mengunjungi rumah pakde untuk melihat kondisinya.
Setelah 2 hari berada di rumah, tepat pada tanggal 19 September 2020 pagi hari pakde mulai drop lagi, dan harus dibawa ke rumah sakit. Sebelumnya dia memintaku untul datang menjenguknya, tetapi aku tidak bisa dikarenakam tugas sekolah yang harus kuselesaikan.
Sore harinya keadaannya kritis, pakde tidak sadarkan diri. Aku terus berdoa meminta kesembuhan untuk pakde kepada Allah Swt. Hingga malam hari pukul 20.08 WIB om ku memberi kabar bahwa akan dilakukan tindakan RGP Pacu Jantung, aku semakin khawatir dan tidak bisa menahan tangis. 10 menit kemudian om memberi kabar di Grup Chat keluarga “Mas meninggal dunia, jam 20.18 WIB. Yaa Allah Innalilahi wa innailaihi rajiuun.
Bak tersambar petir ketika mendengar kabar itu, terlebih aku tidak bisa memenuhi keinginan pakde untuk bertemu denganku, aku tak menyangka itulah kesempatan terakhirku untuk bertemu dengannya sebelum ajal menjemput.
Malam itu aku langsung ke Bekasi untuk melihat Jenazah pakde. Betapa hancurnya hatiku melihat pakde sudah terbujur kaku, dingin, dan tidak bernyawa. Kupeluk tubuhnya, kucium wajahnya sambil menahan tangis, “Pakde, Riri minta maaf ya kemarin riri ga bisa kesini, maafin kesalahan Riri ya de, sekarang pakde nggak sakit lagi, pakde udah tenang, Riri sayang sama pakde, doain Riri disurga ya de, biar Riri bisa kuliah dan jadi orang berguna nantinya” ucapku sambil mengelus wajahnya yang sudah pucat. Aku masih tidak percaya dengan hal ini, aku tidak pernah menyangka bahwa lebaran kemarin adalah lebaran terakhir untuk bisa bertemu pakde.
Esoknya ketika pemakaman pakde, banyak sekali orang yang datang, teman teman bahkan semua anak muridnya, mengingat pakde adalah orang yang sangat baik dan peduli terhadap sesama, dia membuka les untuk anak SD sampai SMP di rumahnya, dan dikenal sebagai guru yang baik oleh anak anak muridnya.
Sangat berat kehilangan orang yang berarti di hidup kita. Tapi inilah kehidupan, kita tak pernah tahu kapan akan berakhir, kita tak pernah tahu kapan malaikat maut akan turun mencabut nyawa kita. Kita hanya bisa mempersiapkan bekal sebaik-baiknya. Akankah kita akan meninggal dengan segala kenangan kebaikan yang pernah kita lakukan seperti pakde atau bahkan sebaliknya. Akankah saat kita meninggal akan banyak orang yang datang mendoakan kita, semuanya tentu akan tergantung dari bagaimana sikap kita dan persiapan kita semasa hidup di dunia.
Cerpen Karangan: Rimba Aprillia Asmara Blog / Facebook: Riri Aprillia