Sebuah biola baru saja diletakkan di atas ranjang tepat depan seorang gadis yang mengenakan baju tidur dengan ekspresi tanpa minat.
“Biola kamu sudah Mama perbaiki,” ujar seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu si gadis itu. Selanjutnya, ibu melemparkan formulir yang dilipat menjadi dua bagian tepat jatuh ke pangkuan gadis itu. “Besok ke Berlin, biar Mama yang urus semuanya. Kamu cuma perlu siapin diri kamu dan turuti apa kata Mama.” Kata itu keluar begitu saja menimbulkan luka sayatan pada hati si gadis. Si ibu pergi menutup pintu kamar gadis itu.
Kanaya Keisya, gadis SMP yang sama sekali tak punya harapan. Lagipula apa yang diharapkan dari seseorang yang lemah dan penyakitan sepertinya. Namun, sang ibu tetap saja menjatuhkan harapan kepadanya, ia dipaksa bermain biola meski ia enggan.
Ia tak pernah sekolah. Penyakit mematikan sejak kecil yang dideritanya membuat sang mama tak berniat menyekolahkan seperti kebanyakan anak seusianya. Kanya tak keberatan, ia mengiyakan kemauan ibunya jika ia tak harus sekolah. Namun, mamanya memberikan kewajiban padanya yang tak bisa dibantah. Dari kecil, ia sudah dipaksa belajar biola. Hingga saat ini, dan besoklah puncaknya ia akan dikirim ke Berlin untuk sekolah khusus biola.
Sejak papanya meninggal, mamanya memang banyak berubah. Jiwa penyayang milik mamanya emndadak lenyap entah kemana berganti dnegan sosok yang egois dan cuek.
Kanaya bangkit dari posisi duduknya, ia menyimpan biola di atas meja belajarnya. Kali ini, ia tahu apa yang harus ia lakukan. Satu kali saja, ia ingin memberontak.
Keesokan harinya, Kanaya sudah siap lengkap dengan barang-barangnya. Mobil yang akan membawanya sampai bandara pun sudah siap di depan rumah.
“Berangkatlah.” Kanaya menurut, mencium tangan mamanya dan masuk ke mobil. Kanaya menurunkan kaca mobil. Begitu mobil perlahan mulai meninggalkan rumahnya bersamaan dengan mamanya yang menghilang dari oandnagannya, saat itulah Kanaya melambaikan tangan.
“Pak, belok ke kanan.” “Tapi, Non. Kita mau ke bandara, kan?” Spir itu tak mengindahkan ucapan Kanaya dan tetap membelokkan stir mobil ke kiri. Kanaya menghela napas panjang. “Kalau begitu berhenti.” Supir menurut, meski dalam hati ia bingung mendengar permintaan Kanaya. Tanpa kata, Kanaya turun dari mobil. Sukses membuta si sopir terkejut dan langsung mengikuti arah perginya Kanaya.
“Non, kita harus ke bandara,” ujarnya setelah berhasil mencegah Kanaya. “Saya capek, Pak. Kali ini saya nggak mau nurutin apa kata mama.” “Tapi ini perintah, Non. Atau mau saya adukan ke Nyonya?”
Sebelum sopir mendekatkan ponsel ke telinga, Kanaya sudah ambil ancang-ancang kabur pergi. Kanaya sekuat tenaga berlari menjauhi sopirnya, berlari tak tentu arah karena yang ada di pikirannya adalah bagaimana supaya ia bisa kabur sejauh-jauhnya.
Kanaya berhenti tanpa sadar karena napasnya serasa berada di ujung, ia memgangi lututnya sambil mencoba mengontrol kembali napasnya. Satu tangannya meremas erat bajunya, karena jantung yang tak bisa diajak kompromi telah kumat di situasi tak tepat. “Akhh,” rintihnya. Kini ia jatuh terduduk lemas di jalanan yang sepi, hanya kendaraan yang berlalu tak mengindahkan keberadaan Kanaya, padahal ia jelas terlihat di tengah-tengah jalanan.
“Hei, apa yang kau lakukan di tengah jalan seperyi itu, Bocah?” teriak salah satu pengendara karena hampir saja ia menabrak Kanaya, tapi setelahnya ia pun berlalu seperti para pengendara lainnya.
Tubuh Kanaya semakin melemas, tak mmeperhatikan dari arah barat sebuah mobil melaju tepat di mana ia terduduk. Detik itu juga, Kanaya merasa tubuhnya melayang. Terpental jauh hingga ia dapat merasakan tubuhnya meringan, ia mulai kehilangan kesadaran. Meski samar-samar ia merasa perih di area matanya, juga keadaan sekitar yang mulai ramai.
Sudah satu jam berlalu sejak sadarnya Kanaya. Gadis itu menangis sejak tadi, merutuki penyesalan juga kebodohan yang susah ia perbuat. Belum juga masalah satu datang, muncul masalah berikutnya. Padahal ia pikir dengan ia memberontak seperti ini, ia merasa lebih lega setidaknya. Namun, pemikiran ia sepenuhnya salah.
Pintu ruangan terbuka dari luar. Wanita paruh baya masuk dengan teeburu-buru, menghampiri Kanaya dengan air mata berlinang. Kanaya pun sadar itu adalah mamanya, meski kedua matanya kini hanya melihat kegelapan tak menampilkan cahaya sedikitpun.
Plaak! Tamparan keras mendarat tepat di pipi kiri mengejutkan Kanaya. “Apa yang baru saja kamu lakukan, Kanaya?” Nampak penyesalan hadir di benak begitu melihat Kanaya hanya mampu menunduk. Ia lantas memeluk anak satu-satunya itu, mendekapnya erat. “Mama cuma ingin kamu melakukan setidaknya satu saja, hingga nanti banyak orang yang mengenangmu.”
Kanaya paham sekarang, mamanya memaksanya belajar biola hanya demi Kanaya. Kanaya tahu, hidupnya tak tahu kapan akan berakhir karena penyakitnya. Jika diawal ia mengatakan memang hidup tanpa harapan sedikitpun, kini ia meralatnya. Harapannya adalah bertahan hidup, dan membahagiakan mamanya. Setidaknya, itu saja untuk saat ini.
Satu bulan berlalu, kondisi Kanaya sdmakin membaik membuatnya sangat bersyukur karena satu bulan penuh itulah dia benar-benar berharap. Setidaknya hanya membaik meski penyakit itu enggan pergi dari tubuhnya. Dengan matanya yang tak bisa menangkap cahaya lagi, Kanya bertekad bulat belajar biola. Kemantapan hati membuatnya lama-kelamaan pandai atau bisa dikatakan mahir untuk anak seusianya.
Hari itu juga, Kanaya berdiri di depan ruangan mamanya. “Kanaya mau ke Berlin, belajar biola.” Sang mama mengernyitkan kening. “Dengan kondisimu yang seperti itu?” Kanaya mengangguk mantap tak ada keraguan sama sekali. “Iya, kemarin Kanaya sudah belajar banyak. Kanaya yakin kalau Kanaya mampu dan bisa.”
Gadis itu mendekat, memluk dari samping mamanya. “Nanti Kanaya akan membawa nama mama sebagai orangtua yang sangat luar biasa karena sudah membuat Kanaya berdiri memegang piala besar di negera orang.” Mama tersenyum lebar mendengar itu, lantas ikut memeluk Kanaya penuh dnegan kasih sayang. “Ya sudah, tidur ya. Besok pergi, biar mama yang urus semuanya.” Kanaya mengangguk patuh. Sebelum melanhkah pergi, ia meraba wajah sang mama dan mencium pipi seolah mengatakan jika ia sangat mencintainya.
—
Suara riuh tepuk tangan meriah terdengar begitu gesekan terakhir dari biola seorang wanita yang berdiri di atas panggung sembari tersenyum manis itu. Lain dari peserta yang lain, penampilan Kanaya memang luar biasa.
Kanaya membungkuk hormat, sampai pembawa acara mengumumkan bahwa nama Kanaya Keisyalah yang membawa piala kejuaraan, Kanaya sungguh bahagia bukan main.
Tepat hari ini juga, ia akan pulang ke Indonesia. Ia akan berteriak bahagia pada mamanya, ia sangat ingin mendengar mamanya bisa mengakatakan jika ia bahagia memiliki Kanaya.
Sampailah Kanaya di sebuah rumah mewah bergaya eropa dnegan gerbang rumah menjulang tinggi dan halaman luas, di tengah-tengah halaman terdapat taman kecil. Tak jauh berbeda dari terakhir kali ia menginjakkan kaki di sini, hanya saja dulu lebih hijau dan asri.
Seorang satpam membuka gerbang, membuat Kanaya mengerutkan kening. “Maaf, siapa ya? Ada yang bisa saya bantu?” Kanaya terkekeh ringan. “Ah, mungkin Bapak baru bekerja di sini ya?” Satpam itu terdiam, tapi mengangguk mengiyakan.
“Maaf, Pak. Ini rumah saya. Rumah orangtua saya.” “Setahu saya, Tuan dan Nyonya tidak memiliki anak.” Kanaya mencoba maklum, ia tetap tersenyum tulus. “Kalau begitu, biarkan saya masuk.” “Tidak bisa.” Satpam itu memahan Kanaya yang selangkah maju masuk. “Tapi, Pak. Saya adalah anak dari pemilik rumah ini, kenapa Bapak ngelarang saya?”
“Ada apa ini?” Kanaya dan satpam itu menoleh ke sumber suara. Kanaya membeku, kakinya seakan melemas tapi entah darimana kekuatan hingga menahan kedua kakinya agar tetap berdiri. “Ini, Nyonya. Ada wanita yang mengaku-ngaku.” Sampai wanita paruh baya itu memiringkan kepalanya menatap Kanaya. “Siapa ya?” Tidak, tidak mungkin! Kanaya ingat betul inilah rumahnya. Ia juga ingat betul saat ia pertama kali menginjakkan kaki di sini.
Kanaya tak menjawab, sibuk menatap kepingan hatinya yang melebur meski telah berusaha diperbaiki. Dengan kakinya yang seakan melemas, ia berlari. Tujuannya saat ini adalah ke rumah neneknya, satu-satunya tempat yang ia ingat selain rumah tadi.
Begitu Kanaya turun dari taksi, seorang wanita tua menyiram bunga di halaman mendongak. Wanita tua itu menyipitkan mata, mencoba menajamkan pandangannya. Kanaya mendekat, langsung berlari memeluk erat neneknya. “Nek, ini aku Kanaya.” Beberapa detik wanita itu terdiam, entah karena terkejut atau berusaha mempercayainya.
“Mama mana, Nek? Kenapa tadi aku ke rumah yang salah?” Sang nenek mengurai pelukannya. Dipegang bahu Kanaya, lalu merambat ke pipi seolah sedang mengenali kembali wajah cucunya yang sudah lama tak ia lihat.
“Nek, Mama dimana?” Nada agak tinggi itu terdengar lirih karena bergetarnya suara Kanaya. “Mama?” Sang nenek mengerutkan kening yang terlihat semakin berkerut. “Sadar, Kanaya! Dia sudah mati karenamu!”
Seakan ada suara pistol ditembak tepat terdengar memekakkan telinga, menyadarkan Kanaya. Seluruh kehidupan seakan terhenti, padahal bumi masih berputar. Suara burung-burung sekitar juga seakan berhenti ikut mensunyikan keadaan. Napasnya tercekat, dengan tenggorokan yang mengering seiring mata yang mulai mengembun.
Nenek menggoyangkan bahu Kanaya. “Sadar, Kanaya! Kamu masih halusinasi, mau sampai kapan kamu seperti ini, Kanaya!” Suara sentakan itu tak ada apa-apanya dan tak berefek sama sekali bagi Kanaya.
Terdengar suara anak kecil yang terjadi tiba-tiba untuk Kanaya, dua anak kecil itu turun dari taksi sambil berlari tertawa bahagia. “Lihat, itu anakmu!” Kanay mengikuti arah tunjuk neneknya. Benar saja, ia juga melihatnya. Saat itu juga, dunianya seakan hancur dan bangkit disaat bersamaan. Penyesalannya sendiri seakan menghukumnya, memenjarakannya dan membuatnya berhalusinasi hingga menyakiti kedua anaknya.
“Jangan seperti itu, Kanaya! Penyesalanmu membuatmu menderita sendiri, jangan sampai kamu juga ikut menyesal untuk kedua kalinya karena anakmu. Dia membutuhkan kamu …”
“Ma, aku lapar,” rengek si anak kecil, rambutnya diikat dua membuatnya terlihat menggemaskan. Semnatara satu anak kecil laki-laki juga ikut mengangguk. Saat itu juga, dunia Kanaya seakan hancur dan bangkit disaat bersamaan.
Cerpen Karangan: Oktaviana Nurvaizza Blog / Facebook: Facebook: Vinurza Oktaviana Nurvaizza, lahir di Jepara tanggal 22 Oktaber, dan berjenis kelamin perempuan. Menjadi penulis adalah termasuk impiannya, karena menulis cerita merupakan hobi yang menyenangkan baginya.