Namaku Dinda. Aku berasal dari SMP XX Banten. Alamat rumahku di Gg. Melati No.10 Jalan Kenanga. Hobiku adalah menulis cerpen. Itulah perkenalanku saat hari pertama aku berada di SMA Z Banten kelas X IPA 5. Pengenalan diri yang singkat dan jelas.
Pada hari pertama masuk sekolah aku belum memiliki teman hingga semester 2 kelas X. Aku jarang tersenyum, sedikit bicara, berwajah jutek dan pendiam. Keseharianku hanyalah berangkat sekolah dan pulang sekolah. Tak pernah ikut nongkrong ataupun mampir sejenak di rumah teman kelas.
Aku selalu mengerjakan tugas kelompok sendiri, aku yang terkenal pendiam di kelas jarang bercengkerama dengan teman kelasku. Hingga perlahan aku mulai akrab dengan teman sebangku saat kelas XI, kami selalu bersenda gurau bersama. Dia adalah Mita. Dia tidak beda jauh denganku pendiam, namun dia murah senyum dan akrab dengan beberapa teman kelas. Aku dan Mita selalu bersama kemanapun pergi, berkelompok selalu ada kami berdua.
Di sekolah aku terlihat bahagia sejak bersama temanku Mita, namun saat di rumah aku pendiam dan bosan. Setiap hari, selalu saja ada pertengkaran antara kedua orangtuaku. Saat mereka di rumah selalu saja bertengkar, untuk makan saja terkadang aku hanya makan snack jajan. Aku yang tergolong keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah terkadang tak makan, karena mereka tak memberiku uang yang cukup. Ayahku seorang karyawan di suatu pabrik dan ibuku seorang pedagang pakaian di pasar.
Terkadang aku merasa iri dengan orang-orang di sekitarku, mereka begitu bahagia dan berkecukupan seperti contohnya yaitu tetangga samping rumahku. Ketika aku pulang sekolah mereka menyapaku ramah, terkadang mereka memberiku sebungkus makanan dan berpesan kepadaku bahwa makanan itu harus aku makan sendiri. Mereka tahu keadaan keluargaku, karena pertengkaran orangtuaku terdengar hingga sampai rumah tetangga. Aku sangat malu dan aku mengucapkan terima kasih kepada mereka.
Siang ini pelajaran matematika, pelajaran terakhir pada hari ini. Seperti biasa, ketika sesi tanya jawab aku hanya diam dan memperhatikan saja berbeda dengan Mita, dia selalu bertanya dan menjawab pertanyaan. Mita meskipun pendiam, dia lumayan pintar.
Pelajaran berakhir, kami bersiap pulang sekolah ketika bel berbunyi. “Dinda, yuk kita ke Miniso Banana. Aku gak ada teman nih” ucap Mita. “Hmmm.. gimana ya?” ucapku. “Tenang saja Din, aku traktir makan disana” ucap Mita. “Iya deh, janji ya?” ucapku. “Iya janji” ucap Mita tersenyum. Setelah sedikit pemaksaan akhirnya kami ke Miniso Banana dengan mengendarai sepeda motor merah milik Mita. Maklum, aku selalu naik angkutan umum untuk pulang dan pergi.
Tibalah disana, kami berjalan-jalan mengelilingi toko, sesekali kami mencoba barang disana dan berswafoto. Mita mengambil barang dan ke kasir untuk membayarnya. Sedangkan aku menunggu ia di luar. “Ini buat kamu” ucap Mita di sampingku. “Apa ini?” ucapku. “Itu buku diary, aku lihat kamu dari tadi mengamati terus-menerus” ucap Mita. “Enggak kok, aku hanya lihat-lihat saja” ucapku. “Ya udah. Anggap saja ini hadiah dariku buat kamu karena kamu sudah menemaniku” ucapnya. “Oke, terima kasih Mit” ucapku terharu.
Setelah aku menerima hadiah dari Mita, kami memutuskan membeli makanan karena kami sangat lapar. Kami makan bakso yang tak jauh dari toko ini. Setelah selesai kami pun pulang. Mita memutuskan mengantar pulang ke rumah. Aku mengucapkan terima kasih kepada Mita setelah sampai. Saat aku di depan pintu, aku mendengar mereka bertengkar lagi. Namun saat kubuka pintu, mama menanyakan dari mana dan apakah sudah makan, aku menjawab seperlunya saja lalu bergegas menuju kamar.
Hari-hariku berlalu begitu cepat. Kenaikan kelas telah tiba, saatnya mengambil rapor. Aku hanya di rumah sambil menulis di buku diary tentang semuanya. Mamaku pulang dan memanggilku untuk menghadap mama, suara mama begitu keras. Papa yang bingung ikut menghadap mama. Aku dimarahi oleh mama karena nilaiku tidak memuaskan. Aku yang diam hanya menatap kertas yang disodorkan oleh mama, kulihat nilaiku lumayan tetapi nilai matematikaku C. Aku tahu aku salah, tapi tak sepatutnya mama memarahiku habis-habisan.
Papa lalu membelaku dan terjadilah adu mulut. Aku yang melihat mereka bertengkar lagi, membuatku spontan membentak mereka dan aku mengatakan semuanya kepada mereka tentang perasaanku yang sakit karena mendengar mereka bertengkar. Aku berlari keluar rumah dan mama terus memanggilku namun aku tak menggubrisnya.
Aku melangkah tanpa arah, kulihat sekelilingku. Semua orang selalu tersenyum bahagia. Aku iri kepada mereka, beberapa dari mereka terdapat sekumpulan keluarga, mereka begitu bahagia dan menyayangi satu sama lain. Aku berlari sambil menangis, menuju tebing di ujung jalanan lama.
Aku duduk termenung, mengingat kejadian di masa lalu. Aku pernah bahagia seperti mereka, aku bahagia ketika kakakku masih bernyawa. Namun hal itu tak berlangsung lama, kakakku menderita penyakit kanker otak dan kemudian dia pergi selamanya. Saat itu usianya masih 12 tahun, dia begitu periang dan bahagia dari sejak kecil, berbeda denganku yang pendiam. Keluargaku begitu bahagia pada masa itu, namun semuanya sirna bagaikan vas bunga yang pecah. Orangtuaku bertengkar karena tak terima anaknya mati dan mereka saling menyalahkan satu sama lain. Aku yang masih berusia 8 tahun hanya menangis melihat itu semua.
Di usiaku yang sudah 17 tahun, aku selalu menjadi anak pendiam dan aku berusaha mencari cara menjadi bahagia. Aku ingin kedua orangtuaku tak bertengkar lagi dan tersenyum kembali, mereka seakan tak mengharapkan diriku. Aku memandangi langit senja dari atas tebing dengan uraian air mata di pipi. Aku berbicara dan menitip pesan pada langit agar keinginanku terkabulkan sebelum aku menjatuhkan diri dari tebing yang tinggi ini.
Hingga aku menghembuskan napas terakhir aku masih belum menemukan cara menjadi bahagia yang ada rasa sakitku bertambah.
Cerpen Karangan: Ajeng