Pagi lagi. Setelah sekian lama pekat datang menyelinap, melalui kisi-kisi itu siraman emas matahari langsung membunuh gelap. Mereka di sana, berjejer rapi dengan penampilan layaknya baru lagi, dipenuhi kembali dengan angan dan harapan baru tentang masa depan, tentang nasib mereka, tentang kebebasan. Seperti biasa, wanita dengan seragam biru muda tersebut dengan telaten memeriksa dari rak satu ke rak yang lainnya. Meski kedua matanya terlindung kacamata bulat tak membuatnya sedikitpun ceroboh dalam menghitung. Beberapa kali tangannya cekatan menata tumpukan buku yang tidak lurus dengan barisan depannya.
Tiba-tiba pintu jati itu terbuka, menampakkan seorang pemuda berjas putih memasuki ruangan dengan sejuta buku itu. Dia terlihat segar dengan rambutnya yang klimis disertai aroma sabun mahal yang menguar dari tubuhnya, si wanita tersenyum takzim menyambut kedatangan si pemuda berjas putih itu.
“Pagi Tuan Samantha, ada yang bisa saya bantu?” “Keluarlah.” Pembicaraan terhenti, tanpa adanya bantahan wanita tersebut keluar membawa kemoceng di tangannya.
Sepi. Kembali mereka merasakan perasaan itu, keadaan begitu hening terasa padahal dengan adanya wanita tadi setidaknya mereka masih mendengar fragmen sebuah lagu yang terdendang cukup merdu. Namun, sekali lagi pemuda itu penghancur segalanya, dengannya harapan dan angan mereka lebur seperti kayu yang menjadi abu.
Dengan tampang malas, Samantha memandang jutaan buku yang mengisi setiap rak dan juga dinding ruangan itu. Jika bisa dibilang tempat itu ialah perpustakaan pribadi Samantha, dindingnya dibuat bertingkat untuk penataan buku, dan di sudut ruangan terdapat tablet layar tipis difungsikan sebagai mesin pencari judul buku. Mejikuhibiniu, Samantha memandangi sederetan warna cover buku dengan berbagai macam ketebalan, laki-laki itu memandang mereka muak.
Bukannya lelaki muda itu sudah membaca dan hafal isi seluruh buku sepenuhnya, tetapi sebaliknya, meraba pun tak pernah. Dengan malas, ia duduk di sofa warna putih tulang dekat rak jemarinya memijit pelipis kepalanya sendiri, ada rasa pusing yang terasa menggigit. Sejenis majas paradoks tiba-tiba saja membuatnya tertawa tanpa alasan. Mereka bilang … dia maniak buku. Mereka bilang … dia kutu buku. Ah, betapa naifnya pemikiran mereka hanya karena tahu jika Samantha memiliki perpustakaan pribadi dengan jumlah buku yang amat fantastis.
Tsundoku, begitulah istilahnya dalam bahasa Jepang. Buku-buku itu hanya teronggok menyedihkan di sudut gelap sebuah ruangan tanpa pernah melihat sinar matahari, menjadi buku yang tak pernah dibaca pemiliknya, kira-kira seperti itulah definisi singkatnya. Samantha, seorang pemuda genius yang berusia dua puluh tahun, memiliki kelainan aneh mengoleksi buku-buku tanpa berniat membacanya.
“Apakah kalian semua kesepihan? Cih, mustahil benda mati punya perasaan, aku tak peduli.” Samantha berdiri dengan senyum penuh kemenangan, dipandanginya semua sudut ruangan yang menampilkan semua buku.
Ya, mereka hanyalah benda mati. Mereka tak bisa memberontak atas apa yang terjadi, seperti burung dalam sangkar emas, sayangnya mereka juga tidak bisa berkicau bebas sekadar melepas rasa frustasi meminta kebebasan. Buku-buku itu terlihat indah dengan sampul mengilap, bahkan bau khasnya masih terasa.
Samantha mendekati salah satu rak, tangannya terampil mengambil buku bersampul pohon linden. “Saudade? Ah … dari judulnya memang terasa unik. Sebuah perasaan rindu kepada seseorang yang telah lama hilang menjauh. Sepertinya memang menarik, tapi sayang aku tidak punya waktu untuk membaca satu per satu di antara kalian. Nanti saja, jika usiaku sudah senja.” Selalu janji itu yang Samantha deklarasikan, seperti membumbungkan harapan tapi tak berniat untuk mewujudkan. Kontras dengan senyumannya yang seteduh pohon linden, matanya memercikan rasa benci yang teramat. Mereka di sana, ada di balik kegelapan, menyaksikan si tuan tanpa hati yang mengurung mereka bertahun-tahun lamanya terselimuti debu, tak terjamah, tak teraba, dan tak dibaca manusia.
Harapan? Mimpi? Oh, tentu saja mereka punya. Benda mati pun punya, bedanya mereka tak seambisius manusia, mereka hanya mampu pasrah di bawah campur tangan manusia. Tak muluk, setidaknya mereka terpakai sebagaimana fungsinya sebagai buku; dibaca, dipahami, dirawat. Selama ini, mereka hanya terkungkung dalam ruangan bak istana, berdiri pongah berjajar rapi dengan jutaan buku yang lain. Namun, status tak bisa memungkiri mereka hanya menjadi sebuah pajangan semata, layaknya pigura mewah yang terletak di sudut ruangan lain, tapi setidaknya … ia telah melaksanakan ‘tugasnya’ sebagai benda mati.
“Permisi Tuan, ada seseorang yang ingin berbicara dengan Anda,” tiba-tiba suara wanita berkacamata itu menarik atensi mereka. Ada secercah harap yang membuncah mereka. “Suruh ia kemari,” jawab Samantha sekenanya.
Tak lama setelah kepergian wanita tersebut, muncul sosok lelaki tua dengan rambut memutih sepenuhnya. Dia tampak ramah dengan senyum itu, “Halo Tuan Samantha, senang bertemu dengan Anda.” Samantha tersenyum tipis, lalu mempersilakan lelaki tua itu untuk ikut bergabung duduk. “Ada apa, Anda menemui saya sepagi ini?” Samantha bertanya sarkastis. “Maafkan saya mengganggu pagi Anda yang damai ini. Begini, saya tahu Anda memiliki perpustakaan pribadi sebesar ini. Maaf jika permintaan ini lancang, tapi … bolehkah kami meminjam beberapa buku yang sekiranya cocok untuk anak-anak?” Sungguh, ucapan lelaki tua itu bagai hujan yang mengguyur Gurun Sahara. Meneduhkan, menyegarkan. Andai mereka diberi kesempatan untuk berteriak, mereka pasti akan menyeru setuju. Menyilakan dengan senang hati atas diri mereka. “Wah … ide yang bagus. Tapi, aku sama sekali tidak suka jika buku-buku ini terjamah siapa pun. Jadi, jawabannya adalah tidak,” tegas tak terbantahkan. Menggelegar bagai petir di pagi hari, lelaki itu tersenyum takzim, mengangguk meminta izin untuk undur diri. Pupus. Sekali lagi Samantha bagai angin, meleburkan api bernama harapan.
—
“Yah, ayo temani Sam main bola! Ayah kan sudah janji seminggu yang lalu?” rengekan bocah laki-laki itu memecah kesunyian di ruangan minimalis tersebut. Tampak laki-laki tampan yang sedang membaca buku tebal melirik sekilas ke arah bocah itu. “Maaf ya, tapi Ayah sibuk sekali hari ini. Besok ya Nak?” Tanpa mengindahkan ucapan sang ayah, bocah itu merengsek maju. Membuang tumpukan buku di meja kerja sang ayah. Tak tanggung-tanggung, sang anak juga merobek buku-buku tersebut. Tiba-tiba bunyi benturan terdengar, si lelaki itu berteriak terkejut. Terkaget dengan apa yang telah ia lakukan, bocah itu tergeletak di lantai dengan mata sebelah kirinya berdarah-darah, suara tangisan bocah memecah kesadarannya sebagai seorang ayah. “Sam! Maaf … maafkan Ayah, Ayah sungguh tak bermaksud!” Ia tergagap, memeluk sang anak yang kini berontak dalam dekapannya. Ia berlari-lari ke pelataran rumah, menyaksikan istrinya yang asyik berkebun. Reaksi yang dihasilkan sama, wanita itu berteriak tak keruan, sama sekali tak menyangka suaminya sekejam itu hanya karena benda mati bernama buku.
Samantha berdiri di sana, menyaksikan kejadian itu, tanpa sadar dirinya telah menangis tergugu. Itu … dirinya di masa lalu, dirinya di masa kecil, Samantha meraba kulit di bagian mata kirinya. Tak ada yang tahu, jika ia memiliki bekas luka itu, luka yang membuat keluarganya hancur berantakan, dan luka itu disebabkan oleh … buku.
—
Malam kelam tanpa purnama kembali ia dihantui mimpi buruk tersebut. Samantha beranjak menuju ke sayap kiri rumahnya, tempat perpustakaan itu berada, kilasan fragmen masa lalunya kembali terputar bagai kepingan film. Jeritan itu, tangisan itu, darah … semua campuraduk menjadi satu termasuk perpisahan mereka. Samantha menjerit frustasi, rahangnya bergetar menahan amarah. Ia benci tumpukan kertas tebal bernama buku, ia benci lelaki yang dipanggilnya ‘Ayah’. Bahkan, ia benci masa kecilnya …
“Tuan … Samantha?” Samantha menoleh, mendapati Miranda—selaku pegawai tetapnya berdiri di ambang pintu. Miranda, wanita berkacamata tebal yang masih setia menemaninya dalam rumah megahnya, di saat semua pegawainya mengundurkan diri karena peringai buruk Samantha hanya wanita itu yang menyatakan kesanggupannya untuk bekerja di sana.
Wanita itu agak terkejut dengan bekas luka yang menjalar panjang di mata kiri tuannya. Dengan ragu, Miranda membimbing Samantha memasuki ruang perpustakaan tersebut, menenangkan emosi seorang Samantha.
“Setiap petang, saya selalu menyempatkan datang kemari Tuan. Setidaknya, ‘menjenguk’ mereka sekadar baca-baca. Kan sayang sekali, buku sebanyak ini dibiarkan menganggur layaknya porselen; salah pegang sedikit langsung pecah.” Samantha terdiam, matanya terpaku lurus ke depan. “Maaf jika lancang berkata seperti ini. Sebenarnya, saya sedikit banyak telah mengetahui masa kelam itu.” Samantha menatap Miranda penuh pertanyaan dan keterkejutan, “si bocah laki-laki dengan bekas luka di mata kirinya, ternyata memang Anda.”
—
Kesibukan terlihat di rumah megah bak istana ini, beberapa orang tampak sibuk mengangkat tumpukan buku ke mobil kap terbuka tersebut. Samantha berdiri di sana, menyaksikan hiruk-pikuk yang tidak biasa di rumahnya. Laki-laki itu memutuskan berdamai, berdamai dengan masa lalu yang dianggapnya bayangan; selalu mengikuti ke manapun dia berada. Beberapa kali ia menertawakan dirinya sendiri.
“Aku sudah gila bertahun-tahun membenci buku. Tak waras,” gumamnya tergelak. “Tiap orang pasti punya alasan untuk membenci satu hal Tuan,” suara Miranda memecah lamunan Samantha. Wanita itu berdiri tepat di belakangnya, “Tuan tidak benci pada bukunya, Tuan membenci ayah kandung Tuan sendiri. Tapi Anda tidak bisa meluapkan itu semua.” “Terima kasih, setidaknya Tuan mewujudkan harapan mereka. Harapan sebuah benda mati yang selama ini menjadi kambing hitam Anda.” Samantha hanya tersenyum tipis mendengar hal itu.
Cerpen Karangan: Linda Kartika Sari Blog / Facebook: Linda Kartika Sari