Jakarta hari itu sudah berganti malam. Cahaya matahari sudah tergantikan cahaya lampu-lampu neon yang menyinari setiap sudut kota. Keramaian siang, berganti keramaian malam, tak jauh berbeda. Debu-debu dan asap kendaraan yang ketika siang terlihat memuakan dipandang, kini tak lagi terlihat, tapi tetap menyesakan.
Sebuah city car keluar dari ramainya jalan ibukota, masuk menuju pekarangan komplek appartemen di selatan Jakarta. Puspita mengendarai mobilnya menuju area parkir di basement gedung. Deretan penuh mobil terparkir, begitu kontras dengan sepinya suasana basement tersebut. Ketika mobilnya sudah terparkir, ia tidak segera keluar dari mobilnya. Ia mencintai suasana itu, ia begitu mencintai sepi.
“Kenapa aku sedih?” pikir Pita. Hari ini ia mendapat promosi besar. Pita akan ditempatkan oleh perusahaannya sebagai Indonesia Tax Desk di Kota New York, kota idamannya. Sepanjang hari itu, begitu banyak rekan kerjanya yang mengucapkan selamat. Bahkan sebelum pulang tadi, ia mentraktir rekan-rekannya pizza, New York style. Ketika itu suasana begitu ceria. Sebagai hadiah promosinya Deva, teman baiknya, memberikannya topi Yankee dan Pak Gustam, bossnya, memberikan kaos vintage New York Knick. Hari itu, Pita begitu bahagia.
Tetapi ketika pizza sudah habis, ketika jam kantor sudah berakhir, ketika tidak ada lagi rekan kerja di sampingnya, Pita merasa begitu kosong. Sudah lama ia begitu menginginkan kerja di ibukota dunia, New York, tapi ketika ia meraih apa yang ia inginkan, ia merasa begitu kosong. Di puncak impiannya, Pita hanya sendiri, merasa sepi.
Sebenarnya, Pita begitu menyukai sendiri. Ketika sendiri, ia tidak akan menyakiti dan disakiti orang lain, sengaja atau tidak sengaja. Bertahun-tahun lamanya ia menikmati kesendirian. Bahkan ketika bapak dan almarhumah ibu menyarankannya untuk menikah 2 tahun lalu, ia menolak keras. Pita mencintai kesendirian, Pita mencintai sepi. Tapi tidak saat ini. Saat ini ia sangat benci sendiri.
Masih duduk di depan kemudi mobilnya di area parkir basement, Pita mengambil handphone dari dalam tasnya. Ia membuka kontak, ia ingin menelepon bapak atau adik-adiknya untuk mengabari keberhasilannya, tapi sejenak ia ragu. Semenjak meninggalnya ibu 9 bulan lalu, hubungan Pita dengan bapaknya memang menjauh. Ia merasa tidak layak lagi diperhatikan bapaknya, ia sudah berumur 36 tahun, bapak sudah mempunyai cucu-cucu dari ketiga adik perempuannya yang semuanya sudah berkeluarga. Biar bapak menikmati jadi eyang kakung, aku bisa mengatasi masalah-masalahku sendiri pikir Pita.
Selain itu, Pita merasa bapak tidak pernah memaafkan Pita karena terlambat menghandiri pemakaman ibu. Ketika itu, Pita sedang berada di London untuk urusan kantornya. Bapak dan adik-adiknya bahkan suami-suami mereka semua berada di samping ibu ketika ibu meninggal, kecuali Pita. Ketika itu, Pita pun begitu merasa terpukul tidak ada di samping ibu, tapi ia juga kecewa seakan bapak membuat Pita merasa bahwa Pita bukan anak yang taat orangtua.
Sambil menghela nafas, Pita tidak jadi menghubungi bapak atau adik-adiknya. Biar bapak dan keluarga adik-adiknya istirahat, Pita tidak ingin jadi pengganggu, menelepon malam hari hanya karena merasa sepi sendiri.
Pita memasukan kembali handphonenya ke dalam tas dan keluar dari mobilnya. Ia menuju lift di ujung basement dan kemudian menuju unit appartemennya di lantai 17. Di dalam appartementnya, Pita kembali disapa kesendirian. “Mungkin setelah mandi pikiranku akan lebih rileks” pikir Pita.
Sebelum mandi, Pita ingat, Deva memintanya untuk menginstall kembali salah satu aplikasi messenger, supaya Pita lebih mudah dihubungi ketika nanti di New York. Sudah hampir 1 tahun Pita sudah tidak lagi memakai aplikasi ini, karena penuh dengan group chat ini-itu yang isinya hanya sharing berita tidak jelas dan diskusi-diskusi politik tak berujung. Maka dari itu, ia menghapus aplikasi ini dari handphonenya. Ia terpaksa menginstall kembali, karena permintaan Deva.
Setelah diinstall kembali, applikasi tersebut meminta persetujuan Pita untuk merestorasi pesan-pesan yang diterima Pita selama akunya tidak aktif. Ia menyetujui sebelum kemudian meninggalkan handphonenya untuk mandi.
Setelah mandi, Pita duduk di sofanya. Rupanya mandi bukan obat penawar rasa kesendirian, pikir Pita. Ia menyalakan televisi di depannya. Sambil meraih handphone yang sudah hampir satu jam merestorasi pesan selama 1 tahun. Pita membuka aplikasi messenger itu, seketika jantungnya berdegup kencang. Dari banyak chat yang masuk, ada chat dari almarhumah ibunya yang juga masuk. Pesan itu dikirim 18 November 2017, setahun yang lalu, 3 bulan sebelum ibu meninggal, hitung Pita.
“Mbak Pita, Nduk, ibu sama bapak minta maaf kalau terlalu memaksakan kamu untuk menikah secepatnya. Bapak sama ibu cuma ndak mau kamu ngerasa kesepian, hidup sendiri tanpa tujuan. Dulu, ketika kamu lahir, ibu sama bapak benar-benar merasa mendapat anugerah dari Gusti Allah. Dulu, pas kamu kecil, ketika bapak dan ibu capek dengan apapun di luar rumah, rasa itu hilang begitu saja ketika melihat kamu di rumah, nduk. Ibu gak mau kamu melewatkan rasa itu, tapi ibu sadar kalau kebahagian tidak hanya datang dari anak. Ibu sama bapak akan dukung apapun keputusan kamu. Yang terpenting adalah, akan adanya waktu ketika kamu merasa kesepian. Ketika rasa itu datang, anggap waktu itu adalah kenikmatan yang diberikan Gusti Allah kepada kamu untuk mengingatNya. Jangan hanya memohon dan meminta, tapi lupa bersyukur terhadap nikmatNya ya Nduk. Bapak sama ibu bangga banget sama kamu”.
Air mata Pita begitu deras membasahi wajahnya. Badannya telihat bergetar, terisak-isak membaca chat panjang almarhumah ibunya. Ia menangis, tapi entah kenapa, hatinya terasa begitu plong. Ia begitu merindukan bapak, ia begitu merindukan adik-adiknya dan lebih lagi, ia begitu merindukan almarhumah ibu. Bahkan setelah meninggal, pesan dari almarhumah ibu yang menyejukan hati Pita.
Besok ia akan mengunjungi bapak dan keluarga adik-adiknya, juga menziarahi makam ibu. Tapi untuk malam ini, malam ini ia akan menikmati nikmat dari penciptanya. Bersujud dan bersyukur atas nikmatNya.
Cerpen Karangan: Jie Laksono Blog: kompasiana.com/atlaksono