“ditepinya sungai serayu waktu fajar menyingsing pelangi merona warnanya nyiur melambai lambai”
Suara lagu di tepinya Sungai Serayu terdengar indah tengah malam itu di Stasiun Purwokerto. Tidak ada yang aneh, stasiun ini memang selalu menyiarkan lagu ini di setiap kedatangan kereta. Entah karena suasana sepi tengah malam itu, atau karena suasana hatinya yang sedang sendu, Mirzan begitu menyimak alunan lagu keroncong itu dengan syahdu. Matanya memandang kosong rel kereta di hadapannya.
Sebenarnya, belum sampai 24 jam ia berada di Purwekerto, kampung halamannya. Tapi ia harus sampai di Jakarta senin pagi untuk mengejar pesawat ke Singapura siangnya. Sekarang masih pukul setengah satu pagi, masih ada 10 jam sebelum waktu keberangkatan pesawatnya ke Singapura. Mudah-mudahan cukup pikir Mirzan sambil melihat jam tangannya.
“warna air sungai nan jernih berayun berkilauan desir angin lemah gemulai aman tentram dan damai”
“Aman tentram dan damai”. Ya, Purwekerto memang berbeda dengan Jakarta atau Singapura, pikir Mirzan. Di kampung halamannya itu, baginya, waktu berjalan seakan melambat, entah itu baik atau buruk. “Angin terasa lemah gemulai”, bukan karena di Jakarta atau di Singapura tidak ada angin. Tapi di Jakarta dan Singapura waktu begitu cepat berjalan hingga tidak bisa mengapresiasi hembusan angin yang lemah gemulai.
“Le, bapak udah gak ada” kata ibu terisak sambil memeluk Mirzan ketika sampai rumah 24 jam lalu.
Mirzan selalu melihat bapaknya seperti Gunung Slamet yang terlihat jelas dari rumahnya. Besar, gagah, tidak terlalu tinggi, berkharisma dan selalu berkupluk putih di kepalanya, seperti Gunung Slamet. Pria yang gagah itu, kini terbaring di ruang tengah, tapi tetap berkharisma.
“gunung slamet nan agung nampak jauh disana bagai sumber kemakmuran tirta kencana”
Hari itu, ratusan orang mendatangi rumah keluarga Mirzan untuk berziarah. Kucuran air mata terlihat di sana-sini. Ibu dan keempat adik Mirzan juga tidak henti menangis. Tapi tidak dengan Mirzan. Tidak satu tetes air mata pun jatuh dari matanya. Di dalam hati pun Mirzan heran, kenapa dia tidak menangis?
Mirzan dan bapaknya memang selalu memiliki hubungan yang rumit. Bila ibu dan adik-adiknya selalu mau dan bersemangat bila diundang Mirzan untuk ke Singapura atau Jakarta tempat ia bekerja. Bapak berbeda, bapak seperti enggan meninggalkan sawahnya di Purwekerto.
“Supaya kamu yang balik ke kampung, biar ingat dimana akarmu” kata bapak kalau ditanya alasan kenapa tidak mau menemui Mirzan di Singapura atau Jakarta.
indah murni alam semesta tepi sungai serayu sungai pujaan bapak tani menghibur hati rindu
Senandung lagu Di Tepinya Sungai Serayu masih mengalun di Stasiun Purwekerto. Mata Mirzan masih memandang kosong rel kereta di depannya. Entah kenapa, lagu ini begitu mengingatkannya pada bapak. Kesedihannya pun membuncah, bapak yang selalu bangga menjadi petani, bapak yang gagah layaknya Gunung Slamet dan bapak yang selalu bisa menikmati apa saja, walau hanya angin yang bertiup sepoi-sepoi.
Sekarang sudah tiada.
“Maafkan Mirzan, Pak” kata Mirzan, sangat lirih. Air mata Mirzan yang tidak jatuh seharian, kini jatuh layaknya hujan deras di musim penghujan.
Lantunan lagu Di Tepinya Sungai Serayu sudah selesai, Kereta Argo Bromo sudah terlihat memasuki Stasiun Purwekerto dan akan membawa penumpangnya ke Jakarta. Tapi Mirzan tidak lagi ada di sana.
Ia tidak harus di Jakarta pagi itu, ia tidak harus di Singapura siang itu. Tapi ia harus berada di samping ibu dan adik-adiknya untuk mengiring perjalanan bapaknya dengan doa.
Cerpen Karangan: Jie Laksono Blog: kompasiana.com/atlaksono