Gadis remaja berlari kecil memasuki rumahnya. Matanya memancarkan kebahagiaan tak terkira. “Mama! Mama!” panggil gadis itu. Mendengar suara putrinya, seorang wanita paruh baya menghampiri ruang tamu. Ia menggeleng gelengkan kepalanya melihat putrinya melompat lompat senang.
“Ada apa, Aila? Kok kayaknya seneng banget.” Tanya Gita, Mama Aila. Remaja yang bernama Aila itu mengeluarkan piala dari kantong yang tadi dibawanya. “Tada! Aila menang lomba matematika di sekolah. Aila pinter kan, Ma?” Gita menatap bangga putrinya. Ia memeluk singkat Aila dan memberi kecupan singkat di kening Aila. “Putri Mama memang yang terbaik. Bentar, Mama mau kasih kamu hadiah dulu.” Gita melenggang pergi setelah berucap.
Beberapa saat kemudian, Gita muncul dengan kedua tangan yang disembunyikan di balik tubuhnya. Hal itu membuat Aila kepo. “Itu apa, Ma?” tanya Aila. Gita tersenyum jahil. “Coba tebak ini apa?” “Coklat?” “Salah.” “Uang?” “Salah lagi.” “Baju baru? Tas baru? Ponsel baru?” “Salah, salah, salah. Ah, masa kamu gak bisa tebak, sih. Ayo, coba lagi!” “Mmm… Aila nyerah deh. Apa coba?”
Dengan perlahan, Gita menunjukkan sesuatu dari balik punggungnya. “Tada! Bunga matahari untuk putri Mama yang pintar ini.” seru Gita sambil memamerkan pot bunga matahari. Mata Aila berbinar. “Wah, makasih, Mama. Aila sayang Mama.” Aila memeluk Mamanya erat. “Mama juga sayang Aila.” Diam diam, Gita tersenyum miris. “Semoga saja Mama masih bisa melihat kesuksesanmu di hari nanti, Nak.” Batin Gita
—
Gita sedang sibuk berhadapan dengan layar laptopnya. Oh ya, Gita berprofesi sebagai seorang penulis yang karyanya banyak diminati orang. Tidak hanya itu, dia juga menjadi guru di SMP swasta.
Tes… Konsentrasi Gita buyar begitu merasa ada yang menetes dari hidungnya. Darah. Lagi lagi penyakitnya kumat. Gita menarik beberapa lembar tisu dan berusaha menghentikan darahnya. Cukup banyak darah yang keluar.
Gita menyandarkan kepalanya di kursi. Tangannya memijit keningnya yang terasa pusing. Bibirnya bergerak membaca istighfar. Gita bersyukur. Setidaknya, ia masih diberi waktu untuk melihat putrinya. Harapannya, ia diberi lebih banyak waktu untuk bersama Aila. Minimal, sampai Aila lulus SMA.
—
Aila mengambil sapu di halaman rumahnya. Ia sendirian di rumah. Mamanya masih mengajar. Selesai menyapu ruang tamu dan ruang tengah, mata Aila bertemu dengan kamar sang Mama. Ia tersadar, sudah cukup lama ia tak memasuki kamar itu. Mamanya melarang Aila membersihkan kamar beliau. Katanya, “Biar Mama saja yang membersihkan. Ini kan tanggung jawab Mama. Tugas kamu cuma belajar.”
Tak dapat dipungkiri, akhir akhir ini Aila heran dengan kondisi Mamanya. Tak jarang ia memergoki Mamanya memijit kening. Mamanya juga terlihat sangat lemas. Tapi sang Mama menolak di bawa ke dokter. Akhirnya, Aila memutuskan untuk membersihkan kamar Mamanya. Tidak ada yang aneh. Begitulah yang Aila rasa saat masuk ke kamar bercat putih itu.
Netra Aila terarah ke meja kerja Mamanya. Penasaran, ia menghampiri meja itu. Tak ada yang aneh dengan berkas berkas di atas meja. Tangan Aila menarik sebuah laci. Keningnya mengerut begitu netranya melihat amplop putih bertuliskan nama rumah sakit yang letaknya jauh dari rumah. Tangan Aila terulur mengambil amplop itu, lalu membukanya perlahan.
Deg Jantung Aila seperti berhenti berdetak begitu membaca isi surat di amplop. Leukimia stadium 2. Penyakit yang saat ini diderita sang Mama.
“A-Aila? Ka-kamu kok disini?” “Mama.” “Ya?” Gita berjalan pelan menghampiri sang putri. Matanya menangkap surat yang dipegang Aila. Astaga, mati lah dia!
“Mau sampai kapan Mama sembunyiin penyakit Mama? Sampai kapan?” “Aila. Mama-” “Kalau Aila gak penasaran dan nemuin surat ini, mungkin selamanya Aila gak akan tahu. Kenapa Mama sembinyiin? Kenapa?” “Maaf, Aila.” “Mama tau kan ini penyakit berbahaya. Penyakit yang bisa merenggut nyawa penderitanya. Nggak. Aila gak mau kehilangan Mama. Aila cuma punya Mama.” Aila menangis. Gita berusaha menahan tangisannya juga. Terkuak sudah rahasianya.
Aila sendiri masih tak percaya dengan kenyataan yang baru diketahuinya. Ia juga kecewa pada dirinya sendiri, karena tidak peka dengan kondisi kesehatan Mamanya sendiri. Aila berlari ke kamar tidurnya. Ia mengabaikan sang Mama yang terus menggumamkan kata maaf.
Brak! Aila menutup kasar pintu kamarnya. Ia melompat ke kasur lalu menyembunyikan wajahnya dengan bantal. Tangisan mulai terdengar di kamar itu. Tak jarang Aila menendang nendang sprei dan selimutnya. Membuat kasur Aila berantakan. Gita yang mendengar suara pintu Kamar Aila ditutup kasar, hanya terdiam di tempatnya. Perlahan, ia jatuh terduduk di lantai. Lalu menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Menangis.
Dengan berbekal nasi goreng, cake pisang dan coklat panas, Gita menghampiri kamar Aila. Gita terdiam sejenak menatap pintu kamar putrinya. Perlahan Gita menarik gagang pintu ke bawah lalu mendorongnya. Terkunci. Gita mendesah pelan. Bagaimana cara dia masuk? Tidak mungkin juga Aila mau membukakan pintu. Ah, dia coba dulu deh.
Tok tok tok “Aila?” Tak ada jawaban.
“Aila? Mama boleh masuk?” Gita kembali bertanya, namun lagi lagi tak ada jawaban. “Aila, maafin Mama. Mama cuma gak mau penyakit Mama bikin kamu gak fokus belajar. Kamu bilang mau kuliah di UGM, artinya nilai kamu harus bagus.” Aila yang mendengar dari dalam kamar hanya mendesah kecewa. Kenapa sang Mama lebih memprioritaskan nilai Aila dibanding kondisi kesehatannya sendiri?
“Kalau kamu gak mau bukain pintu gak apa apa. Mama taruh makan malam kamu disini, ya. Dimakan. Jangan sampai maagmu kambuh.” Aila mengangguk meski sang Mama tak bisa melihat anggukannya. Ia tak berani melihat Mamanya. Bukan karena rasa kecewanya. Melainkan, Aila takut menangis jika melihat kondisi sang Mama. Memprihatinkan. Gita berbalik. Ia pergi ke kebunnya. Lalu kembali dengan bunga Matahari yang di potnya terdapat gulungan kertas.
Sepuluh menit kemudian, Aila yang tak tahan dengan rasa lapar yang merajalela, membuka pintu kamarnya. Bisa ia lihat sepiring nasi goreng, cake pisang, coklat panas, dan bunga matahari. Aila membawa semuanya ke dalam kamar. Lalu kembali mengunci pintu. Netranya teralihkan oleh gulungan kertas di pot bunga matahari. Diambilnya dan dibukanya gulungan itu. Tertampil lah deretan kalimat yang ditulis oleh sang Mama
To Aila, kesayangan Mama.
Aila, Mama minta maaf ya, sayang. Mama tau Mama salah udah menyembunyikan penyakit Mama. Kamu mau maafin Mama, kan?
Mama kasih kamu bunga matahari lagi. Semoga itu bisa bikin kamu terhibur, ya. Eh tapi ingat, satu satunya yang bisa bikin kamu tenang itu Allah. Nanti, kamu shalat tahajud, gih.
Aila, Mama sayang banget sama kamu. Waktu tau Mama menderita leukimia, Mama berpikir, bagaimana dengan masa depan kamu? Bagaimana kalau Mama tak bisa lihat putri Mama lulus SMA? Dapat gelar sarjana? Serta Menikah?
Pertanyaan itu selalu berputar di kepala Mama. Tapi, Mama bersyukur. Hari ini bisa melihat kamu saja Mama bersyukur.
Kalau nanti Mama pergi selama lamanya, kamu jangan nangis, ya. Mama akan tenang di alam kubur. Tolong, wujudkan saja mimpi mimpi kamu. Jangan tangisi Mama. Mama baik baik saja.
With love, Mama Gita.
Aila menangis sesunggukan saat membaca surat itu. Ia langsung berlari ke kamar Mamanya. Brak! Tak peduli dengan sang Mama yang mungkin sudah berniat tidur, Aila membuka kasar pintu kamar sang Mama. Diterjangnya sang Mama dengan pelukan erat. Gita yang masih meredakan rasa terkejutnya, tetap membalas pelukan dari putrinya. Dielusnya lembut punggung Aila. Tak dapat dipungkiri, Gita senang putrinya mau memaafkannya.
Bersama dengan sang Mama, Aila mendatangi toko berbagai tanaman. Untuk apa? Mamanya ingin membeli bibit bunga matahari. Mama Gita memang sangat suka menanam bunga matahari. Katanya, karena warnanya cerah, bikin hati bahagia terus. Ah, cukup aneh memang.
“Ai, menurut kamu, enaknya Mama tanam bunga apa lagi?” “Bunga bangkai.” Jawabku asal. “Hush. Kamu pikir Mama bisa pelihara itu tanaman?” “Lah, Mama tadi kan tanya ke aku. Yaudah aku jawab menurut pemikiranku.” “Ah. Ngomong sama kamu itu ribet. Males Mama.” “Yah. Ngambek.” Lirih Aila sembari terkekeh pelan.
Gita berjalan ke kasir. Selesai membayar, ia menarik tangan anaknya keluar dari toko. “Mau jalan jalan kemana lagi, nih?” “Ke taman situ deh, Ma. Aila kepingin makan cilok yang dijual di situ.” “Oke. Let’s Go!” Gita mulai mengendarai motor matic nya.
“Aila.” Panggil Gita, di tengah perjalanan ibu dan anak itu menuju taman. “Iya, Ma?” “Menurut kamu, umur Mama masih panjang kah?” Aila terhenyak. Alisnya mengerut tak suka. “Mama kenapa tanya gitu?” “Ya, gak apa apa. Mau tanya aja.” “Aila gak mau jawab. Aila gak suka sama pertanyaan Mama.” “Iya, maaf deh.”
Perjalanan kembali diisi hanya dengan suara kendaraan berlalu lalang. Hingga Gita kembali membuka suaranya. “Ai, kalo Mama pergi, kamu ikhlaskan, ya! Mama bakalan istirahat dengan tenang di alam kubur.” “Ma. Aila bilang, Aila gak suka Mama bilang begitu. Cukup, Ma.” Suara Aila sedikit meninggi. Gita hanya diam tak menanggapi.
Ramai. Itulah kondisi taman yang dikunjungi Gita dan putrinya. Begitu motor telah terparkir rapi, Aila dan Mamanya turun dari motor, lalu melepas helm. Setelah membenarkan pakaian yang sedikit berantakan karena angin, mereka berdua memasuki taman.
“Kamu beli cilok dimana?” “Di depan situ, Ma.” “Oohh, oke. Mama tunggu di dekat orang jual siomay yang di dekatnya ayunan itu, ya.” “Iya.”
Aila berjalan menuju gerobak cilok. Karena orang tersebut berjualan di seberang jalan raya, Aila harus menyebrang terlebih dahulu.
Begitu memastikan jalan raya sudah aman diseberangi, Aila kembali melangkah. Namun siapa sangka, truk dengan kecepatan diatas rata rata melaju dari kanan Aila. Aila yang saat itu sedang tidak fokus akibat penyakit Mamanya, tidak sadar kalau ada truk yang melaju. Hingga..
“AILA! CEPAT LARI! ADA TRUK!” Aila langsung menoleh. Matanya terbelalak. Ciit! Braakk!
—
“Selesai.” Ujar seorang perempuan yang pakaiannya sedikit lusuh karena menanam tanaman di kebun kecilnya. Matanya menatap sendu bunga matahari dengan jumlah cukup banyak di kebunnya. Handphone perempuan itu berdering. Alarm pengingat. Matanya terbelalak. “Ah. Gak kerasa udah jam segini.”
Setelah mencuci tangan, perempuan itu mengambil blazer hitam yang tersampir di kursi. Tangannya meraih tas dan kunci motor.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, motor matic berwarna biru yang dikendarai perempuan itu berhenti di depan makam. Baru menapak tanah disana saja air mata si perempuan sudah lolos keluar. Dan begitu sampai di depan sebuah makam, isakan tak tertahankan keluar dari mulut perempuan itu.
Anggita Nismara binti Gio Rahardja
Itulah yang tertulis di nisan makam itu. Dengan tubuh bergetar, Aila mengelus lembut nisan bertuliskan nama sang Mama.
Ya. Perempuan itu adalah Aila, dan makam yang ia kunjungi adalah makam sang Mama. Lima tahun lalu, Mama Aila menyelamatkan Aila dari tabrakan. Beliau mendorong tubuh Aila dan membiarkan dirinya sendiri tertabrak truk yang melaju dengan kencang.
“Assalamualaikum, Mama. Aila datang lagi.” Aila berusaha menghentikan tangisannya. “Selamat ulang tahun, Ma. Semoga di alam kubur, Mama istirahat dengan tenang, ya. Semoga Allah menerima amal baik Mama dan mengampuni dosa dosa Mama.”
“Ma, Aila kangen banget sama Mama. Dahulu, setiap pagi pasti ada yang marahin Aila karena bangun gak displin. Ada yang nyiapin sarapan buat Aila. Ada yang marahin Aila kalau Aila begadang.” Aila berhenti sejenak. “Sekarang, mau Aila bangun telat, makan telat, malas malasan, sampai begadang pun gak ada orang yang marahin Aila.”
“Dulu, Aila selalu berpikir. Kenapa Mama harus menyelamatkan Aila? Kenapa harus Mama yang meninggal? Kenapa bukan Aila saja yang meninggal?” “Tapi sekarang, Aila paham. Bagaikan di depan Aila ada hamparan bunga dan Aila hanya diperbolehkan mengambil satu bunga, sudah pasti Aila mengambil bunga yang paling cantik. Sepertinya Allah juga begitu. Allah mengambil Mama karena amalan Mama jauh lebih baik daripada Aila.”
“Jadi, Mama istirahat yang tenang, ya. Aila disini akan selalu doa in Mama. Aila sayang Mama.”
Untuk kalian yang merasa sendirian, ingat selalu! Allah akan selalu ada bersama kalian. Entah kalian dalam kondisi senang maupun sedih. Allah selalu mendampingi kalian.
Untuk kalian yang ditinggal pergi selamanya oleh seseorang, jangan terus menerus menangisi kepergian orang itu. Bukan melupakan, tapi ikhlaskan. Tetap simpan nama dan kenangan kalian di dalam hati. Tapi, ikhlaskan juga kepergiannya. Karena, semua hal akan kembali ke Allah.
Semangat semua! Jangan lupa beribadah, ya!
Cerpen Karangan: Almira Ramadhani