Tak kusangka hari-hari seperti ini akan datang. Hari dimana menyendiri menjadi kegiatanku sehari-hari. Saat itu, kalau saja aku sedikit berusaha… mungkin tidak jadi separah ini. Tapi sudah terlambat untuk menyesalinya, karena manusia yang sama sekali bukan tokoh penting di dunia ini tak akan bisa melakukan apapun. Apapun yang kulakukan tidak mengubah kenyataan bahwa aku adalah sampah masyarakat.
15 tahun yang lalu “Budi… belajarlah dengan giat agar bisa melampaui ayah…” ucap lelaki bertubuh besar yang berstatus duda. Ibuku meninggal sesaat setelah melahirkanku. “ya…” begitulah suara yang keluar dari mulutku, tapi… pemikiranku berkata lain “untuk apa aku berusaha? Bahkan tanpa belajarpun aku bisa mendapat harta warisan ayah karena aku keluarga satu-satunya” begitulah pemikiranku waktu itu. Namun, disitulah letak kesalahanku. Aku memelihara kebodohan yang suatu saat akan menggerogoti masa depanku.
10 tahun yang lalu “ayah… ayah… jangan tinggalkan aku…” ucapku dengan air mata yang tengah diperas. Di umurku ke 17 tahun, ayahku meninggal dunia. Bahkan dari situ pun aku belum memiliki rasa khawatir sama sekali. “selama aku mewarisi harta ayah, semua akan baik-baik saja.”
Hari-hariku dipenuhi dengan gaya hidup yang boros, tanpa takut harta ayahku akan habis. Aku semakin terlena dengan gaya hidup mewahku. Aku bahkan tidak sempat bersosialisasi dengan warga setempat.
Akhirnya sampai di cerita klimaksnya. Sebelum kusadari, uangku sudah habis tanpa sisa. Setelah itu aku menjual semua barang-barang berharga milik ayahku untuk mencukupi kebutuhanku. Yang tersisa hanyalah rumah dan satu motor. Aku mulai menghemat pengeluaranku, hari yang dipenuhi kemewahanpun berganti dengan kesederhanaan.
20 juta. Itulah yang kudapat dari hasil penjualan semua barang yang tidak kuperlukan. Jumlahnya, seperti yang kalian ketahui memang sangat besar. Tapi aku hanya mengenal tanda kurang. Berkat kebodohanku, aku tidak tahu bagaimana caranya membuat uang berjumlah 20 juta tersebut bisa bertambah dan memenuhi kebutuhanku seumur hidup.
Aku memang sangat payah, mau bagaimana lagi, selama ini hidupku selalu bergantung pada ayah. Tidak seperti aku, ayahku sangatlah hebat. Hanya bermodalkan uang pinjaman, dia bisa mengembangkan usahanya hingga memperolah harta sebanyak ini. Namun aku menghabiskannya tanpa mengetahui cara memperbanyak uangnya.
Dulunya ada banyak orang yang membantuku setelah kepergian ayahku, dan aku pun berharap sekarang juga demikian. Tapi sekarang bahkan tak ada seorangpun yang melirik ke arahku. Aku sangat mengerti alasannya. Dulu, setelah kepergian ayahku, banyak yang memberiku makanan. Namun, aku membuang semua makanan yang mereka berikan karena tidak sesuai dengan seleraku. Sebagai gantinya aku memesan makanan mewah lewat ponselku. Mungkin ada beberapa orang yang mengetahui hal itu hingga suatu saat satu persatu orang mulai berhenti untuk berusaha membantuku.
Aku mungkin sempat menyesali hal yang kulakukan dulu, tapi sekarang tak ada yang bisa kulakukan soal itu. Yang bisa kulakukan sekarang adalah bertahan hidup semampunya, sambil mendekatkan diri kepada tuhan. Ayah… tak bisa kupungkiri, engkau memang ayahku, tapi kau benar benar makhluk yang berbeda. Aku bagaikan debu yang menempel pada sebuah permata. Benar… tanpamu aku hanyalah butiran debu.
Cerpen Karangan: Lamda Blog / Facebook: Ghulam Dzamar