Semesta kerapkali mematahkan, seakan memunculkan kepahitan yang tiada ujungnya. Ketika bahagia, kita akan diingatkan kembali tentang luka.
Jalanan basah terlihat seperti diriku yang ingin sudah. Ah, lupakan aku sanggup berjuang sendirian, kan?. Hidup seperti menerbangkanku pada 10 tahun silam. Air mata yang tak hentinya berderai di sepanjang malam. Hingga, seorang lelaki baik menghentikan motor, menawarkan tumpangan. Kuhapus air mata yang mengalir lalu berujar, “Aku…,” ucapku tak mampu menghentikan isak yang sukses melesak.
Setelahnya, ia membawaku yang saat itu berusia 7 tahun ke rumah miliknya. Dari depan, rumah itu tampak kecil tapi aku merasa ada kehangatan yang terpancar dari rumah mungil itu.
“Assalamu’alaikum,” ucap lelaki itu. Dia masih remaja kala itu. “Wa’alaikumsalam,” terdengar balasan dari dalam.
Seorang wanita paruh baya membukakan pintu sembari tersenyum hangat. Seketika, netranya menangkap diriku. Rautnya terlihat berfikir. Aku merasakan pancaran kasih sayang pada wanita di depanku itu.
“Hei,” sapanya padaku. Tatapanya mengisyarakan pada anak yang memanggilnya Mama. “Gini, tadi Rayhan tak sengaja bertemu di jalan sehabis dari masjid. Dia, sendirian dan ketika ditanya ia tak bisa melanjutkan ceritanya. Nggak papa kan Rayhan bawa kemari?” Tukas Rehan menjelaskan.
Dituntunya diriku untuk masuk, lalu dekapan hangat kembali meluruhkan tangisku. Bukan tangis kepedihan tapi tangis kerinduan. Diusap pelan rambutku yang sedikit basah. Disodorkan air hangat padaku, kemudian dia dengan sabar menungguku menceritakan tragedi hidupku.
“Ayah, dia … meninggalkanku di jalanan. Kala itu dia mengatakan untuk turun dari motor sebentar. Dia ingin membelikan aku minum setelah dari perjalanan panjang.” Sentuhan lembut di tanganku menjadi kekuatanku untuk melanjutkan. “Aku tidak tau dimana ini, setahuku aku tinggal di Jakarta. Tapi, bukankah ini Bandung?” Ucapku
Kemudian, mereka berdua berdiskusi sebentar. Mungkin saja, mereka akan memintaku untuk tinggal beberapa hari lalu menyuruhku pergi atau menempatkanku di panti asuhan. Mereka iba terhadapku.
“Nama kamu siapa?” Tanya Mama Rayhan “Athifah,” ucapku menunduk sembari meremat bajuku “Panggilnya Mama aja ya, biar sama kaya Rayhan. Kamu, istirahat dulu. Sebentar Mama ambilkan baju untukmu.”
Beberapa menit, disodorkan baju gamis cantik berwarna pink tak lupa dengan sebuah jilbab manis. Lalu, aku disuruh masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Setelahnya, dibaringkan tubuhku dengan selimut tebal yang membungkus. Mama ikut naik ke dalam selimut sembari memelukku erat.
Samar-samar aku mendengar suara ayat-ayat suci Al-Qur’an. Rupanya, di sebelah ranjang ada Mama yang duduk bersimpuh dengan tangan di genggamannya. Aku terbangun, kutatap wanita lembut itu. Dia mengakhiri bacaannya dan tersenyum kearahku. Ah, bahagianya selama ini baru ada orang yang menatapku seperti itu.
Kemudian, diajak diriku untuk larut dalam bacaannya. Tak terasa suara azan menggema. Diletakkan kitab suci itu. Dari balik pintu itu terdengar suara ajakan untuk shalat. Rupanya, dia Rayhan. Kami bertiga bergegas melaksanakan shalat dan dengan telaten Mama mengajariku.
Di dapur, Mama sibuk menyiapkan bahan untuk dimasak. Hidangan siap disajikan, lalu mas Rayhan datang dengan seragam putih abu-abu. Kamipun makan dalam diam, setelah selesai kami bercengkrama sebentar.
Kegiatan Mama selama di rumah ialah menjahit. Ia membuka jasa menjahit, walau tak terlalu besar, tapi cukup untuk memenuhi hidup sehari-hari.
Tak disangka, sudah beberapa bulan aku singgah di rumah ini. Aku tak ingin pulang, pulangpun aku tak tau harus kemana. Rasanya nyaman sekali, sore hari menemani Mama merawat tanaman di depan rumah. Dari kejauhan, seorang pemuda datang dengan binar bahagia yang tak dapat disembunyikan.
“Assalamu’alaikum,” tak lupa salam terlebih dahulu “Wa’alaikumsalam,” jawab kami berdua serentak. “Akhirnya, aku lolos perguruan tinggi dan dapat beasiswa,” ucapnya antusias
Rayhan termasuk salah satu siswa berprestasi. Bukan hanya di akademik tapi di non akademikpun ia bisa menunjukkan kualitas dirinya. Tentunya dengan sikap yang rendah hati.
Raut dari mama pun tampak berseri, tak lupa mengucapkan ribuan syukur kepada Allah swt. “Dimana?,” tanya mama setelahnya. “Jogja, hal yang selama ini aku impikan. Boleh kan, Ma?” Ada raut memohon disorot matanya. “Iya, mama izinkan. Asalkan janji satu hal, raih apapunpun yang kamu mau selama itu baik. Mama akan disini bersama Athifah. Dan juga baik-baik disana,” tukas mama memberi petuah.
Beberapa bulan kemudian, aku memakai seragam merah putih. Ah, senang rasanya. Kehidupan ini sungguh luar biasa. Aku bertemu sahabat yang hingga masa SMA masih bersama. Suka duka kita bersama, hingga saat ini. Aku berharap kita akan menjadi yang selalu ada, walau ku tau jarak tak dapat membohongi.
Tentang mimpi ialah suatu ambisi yang besar bagi kita berdua. Kita sama-sama berjuang, memahami kata per kata setiap materi yang diterima. Saat pendaftaran SNMPTN kita memilih untuk berpisah, demi mimpi. Aku mengambil PTN di Jogja, mengikuti jejak mas Rayhan yang kini sukses menjadi seorang dosen muda.
Arin, namanya. Ia mengambil salah satu PTN di Jakarta. Ah, mengingat tentang Jakarta membuatku kembali menghela nafas berat. Beberapa bulan kemudian, aku bertemu sosok yang menyebut dirinya Ayah di depanku. Marah, rasanya. Semua, bercampur menjadi satu.
Tak terasa pengumuman hasil SNMPTN keluar, syukur tak hentinya kuucapkan. Aku diterima di jurusan sastra indonesia. Jurusan impian yang akhirnya telah ada digenggaman. Dan Arin pun sama, dia akan menapaki mimpinya di Jakarta.
Mama dan mas Rayhan tak dapat menyembunyikan binar bahagia. Aku pun bersyukur dibesarkan oleh dua sosok hebat yang mampu membimbingku menjadi sosok Athifa. Terpaksa, aku harus meninggalkan mama. Untungnya, mas Rayhan pindah pekerjaan di Bandung. Jadi, kami bergantian menjaganya. Ah, ya mas Rayhan sudah ditemani seorang pendamping cantik, tutur katanya begitu lembut seiras dengan perilakunya. Kuharap mereka akan selalu bahagia, dibawah keridhoan-NYA.
Mas Rayhan memberiku banyak pengajaran kali ini, salah satunya tentang bertahan. Perlahan, dia memulai pembicaraan yang ingin aku hindari. Tapi, aku terlalu segan untuk sekadar masuk dalam obrolan dan mengatakan “tidak”.
“Fa, kamu sudah dewasa. Kamu punya seribu cerita masa lalu yang masih dibungkam rapat. Mas tau, kamu marah, kecewa, sedih dalam waktu yang bersamaan. Tapi, bukankah Allah selalu memaafkan hambanya? Bagaimanapun dia orangtuamu, dia merawatmu sejak bayi, sendirian. Tolong, lihat dia sebentar saja. Kamu… tak perlu memeluknya erat, cukup tatap saja matanya,” ucapnya sangat berhati-hati. Ia sangat menjaga perasaanku. Aku hanya diam, merenungi setiap kata yang keluar dari mulut mas Rayhan. Tapi, hatiku terlalu sakit untuk mengakui bahwa, dialah Ayahku. Seseorang yang begitu penyayang, peduli tapi tiba-tiba pergi. Siapa sih yang tak terluka?
“Fa, cepat ikut aku,” paksa Arin dengan menarik tanganku. Dengan terburu-buru, kita berjalan begitu cepat. Kemudian, sampailah pada bangunan bercorak putih. Bau khas obat-obatan sudah tercium begitu menyebalkan. Arin membawaku ke lantai 2, tertulis disana ruang rawat khusus penderita kanker. Astaga, dadaku bergemuruh, seperti ada bongkahan batu yang menghantam dada.
“Fa, temui dia sebentar saja,” ucapnya pelan dengan raut tak terbaca.
Kubuka pintu perlahan, di ranjang terdapat lelaki tak berdaya. Dia menoleh ke arah suara, diam. Sungguh, aku tak mampu lagi membendung kepedihan. Rinai ini luruh tanpa bisa dicegah. Jujur, pernah terbesit rasa benci. Tapi, dia tetaplah Ayahku. Aku percaya, ada alasan dibalik sikapnya.
“Maaf, Ayah tak berani walau hanya sekadar menyapamu,” tukasnya pelan
Kami diam, dalam lubuk hati terdalam kami tak dapat menahan kerinduan. Memang, aku sering melihat lelaki di depanku ini hanya menatapku dengan tatapan pilu. Seakan, ada perasaan yang tak tergambar. Kukira awalnya dia berniat jahat, tapi setelah kutatap diam-diam ada harapan, kekecewaan serta perasaan yang begitu membingungkan. Sehingga, aku membiarkannya, tak menceritakan kepada siapapun.
“Ay…yah…,” ucapku terbata. Berat rasanya tuk menyapa. “Ayah benar-benar minta maaf. Ayah tak bisa membawamu pergi, kehidupan Ayah terlalu keras untuk putri sepertimu. Mungkin dulu kamu belum tau, setelah kepergian Ibumu, Ayah terlalu sakit menerima kenyataan hingga akhirnya Ayah terjerumus pada kehidupan kelam. Ayah, ketergantungan dan segudang masalah yang kian terus menimpa. Membesarkanku sampai dewasa, rasanya tak sanggup. Kamu, takkan pernah bahagia,”
“Itulah mengapa Ayah meninggalkanmu di jalan, karena Ayah yakin seorang pemuda itu akan menolongmu. Seorang pemuda yang mengingatkan pada jalan kebenaran,” tukas Ayah menjelaskan.
Dulu, saat melahirkanku Ibu pergi demi nyawaku. Memang ketika bahagia kita akan diingatkan kembali tentang luka. Ayah menjadi seseorang dibalik dunia malam. Obat-obatan terlarang pun menjadi teman sehari-hari. Ayah tetap hidup dengan penghasilan dari usaha kulinernya. Tapi lambat laun ia tak terlalu mempedulikannya. Hingga suatu hari, ia sadar tak bisa terus-terusan seperti ini.
Bertemunya dengan pemuda baik itu, ia percaya keluarganya dapat menjaga diriku dengan baik dan itu terbukti sampai sekarang. Aku menjadi gadis tangguh, yang insyaallah akan selalu berada di jalan-NYA.
“Terimakasih untuk segalanya, sampaikan padanya ya. Dan jaga selalu dirimu baik-baik. Maaf, Ayah tak bisa disampingmu, dulu pun aku hanya memandangmu dari jauh. Dan, sekarang sudah saatnya Ayah pergi. Jadilah seseorang yang berguna,” tuturnya pelan.
Cerpen Karangan: Zakiyatul Arifah Blog / Facebook: Zakiyatul Arifah Sejuta mimpi yang takkan pernah terhenti.