Wanita paruh baya itu berdiri di sana lagi. Namanya Bu Erika, orang sekitar memanggilnya “Orang Gila” kerena kebiasaannya yang selalu berdiri di depan kantor percetakan yang cukup besar setiap pukul 09.00 WITA sampai 17.00 WITA. Dia tidak mau beranjak dari tempat itu sebelum petang, diajak bicarapun tidak bisa. Siapapun yang berbicara dengan wanita itu diabaikannya.
Aku pernah sekali berbicara dengannya saat membantu adikku, yang saat itu adalah anggota komunitas kepedulian. Aku menawarkan nasi bungkus dan tas kain berisi sembako dan keperluan mandi pada Bu Erika. Ia mengulurkan tangannya pada tas kain yang akan kuberikan, tanda bahwa ia menolak pemberian sembako itu.
Kupikir mungkin ia hanya segan menerima pemberian dariku, jadi aku menawarkan sekali lagi padanya. Entah apa yang ada dipikirannya, ia menepis keras tanganku sehingga nasi dan sembako yang kubawa terjatuh.
‘Dia kenapa sih?’, batinku kesal. Sambil menggerutu aku mengumpulkan lagi barang-barang yang terjatuh. Kesan pertamaku terhadapnya kurang baik. Aku mulai mengerti kenapa orang-orang tidak menyukainya. Karena ketidaksukaanku dengannya malah membuatku sering memperhatikannya bahkan sampai hafal dengan kebiasaannya.
Hari ini ia terlihat lebih pucat dari biasanya. Kakinya gemetaran, keringat dingin membasahinya, ia tampak sudah tidak kuat berdiri. Aku merasa iba, kudekati ia dan memintanya untuk duduk di kursi taman yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Seperti biasa ia menolak, namun karena keadaannya yang kurang sehat membuatnya terpaksa mengikuti permintaanku.
“Silahkan,” aku menyodorkan air mineral padanya. Tanpa basa-basi ia menerimanya dan langsung menenggak air itu dengan cepat. “Pelan-pelan bu,” ia minum terlalu terburu-buru, aku khawatir wanita itu akan tersedak. Sebentar… Kenapa aku malah peduli padanya? Padahal selama ini aku selalu menyumpahinya.
“Angga…” ia bergumam. Untuk pertama kalinya aku mendengarnya berbicara. “Angga siapa bu?” Tanyaku. “Angga anakku. Dia masih belum keluar dari kantor. Sekarang kan sudah waktunya pulang,” wanita itu menoleh ke sana ke mari, ia tampak kebingungan.
“Buk!” seorang remaja yang berserangan putih abu-abu berlari mendekati kami. “Ayo pulang. Kak Angga sekarang enggak kerja, ngapain ditungguin?” remaja itu menggenggam kedua tangan wanita itu sambil berjongkok di depannya. “Jadi Angga ada di rumah?” balas ibunya girang. “Emm, iya… Sekarang ayo pulang,” “Oh ya. Makasi kak udah nemenin ibuk,” sambungnya. “Iya. Gapapa,” balasku sambil tersenyum. Remaja itu pamit pulang sambil menggandeng tangan ibunya. Untunglah ada yang menjemputnya.
Keesokan harinya, sepulang kerja aku melewati tempat itu. Namun ia tidak ada. Mungkin sudah dijemput anaknya, pikirku. Hari demi hari Bu Erika tidak pernah terlihat lagi. Ini bagus, ia tidak berdiri seharian lagi di sana. Seharusnya aku senang. Akan tetapi, rasanya seperti ada yang mengganjal. Aku merasa sesuatu yang tidak beres.
Sejak itu pikiranku tidak pernah lepas dari rasa penasaran akan keberadaannya. Bahkan setelah kurang lebih setahun sejak terakhir kali aku bertemu dengannya, aku masih terus memikirkannya. Aku berharap ia baik-baik saja dan dalam keadaan sehat.
“Halo. Nama saya Gandi, mulai sekarang saya bekerja sebagai kasir di sini. Mohon bimbingannya kak,” seorang laki-laki menghampiriku lalu kembali ke meja kasirnya. Sepertinya dia karyawan baru dan… aku seperti pernah melihatnya. Ah iya! Dia anak Bu Erika yang saat itu menjemputnya.
“Kamu anaknya Bu Erika kan?” tanyaku memastikan. “i..iya. Kakak yang pas itu nemenin ibu ya?” jawabnya sambil mengingat-ingat. “Iya. Gimana kabar ibumu? Sehat?” “Ibu… Ibu udah gak ada. Di hari kakak nemenin ibu, saat perjalanan pulang tiba-tiba ibu pingsan dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Keesokan harinya ibu sudah berpulang,” “A..Aku turut berduka,” aku sangat terkejut mendengar kepergiannya. Ternyata setelah pertemuan terakhir dan pertama kalinya kami berbicara adalah kali terakhirnya ia berdiri di depan gedung itu.
Gandi menceritakan tentang kakaknya yang bernama Angga, seseorang yang ditunggu oleh Bu Erika selama berbulan-bulan. Angga adalah seorang karyawan perusahaan yang bekerja di gedung perkantoran di mana Bu Erika selalu menunggunya.
Angga seseorang yang periang, baik, dan sangat menyayangi keluarganya, terutama ibunya. Setiap saat Angga akan mengabari ibunya lewat SMS atau telepon, saat akan berangkat kerja, sampai di kantor, makan siang, dan saat akan berangkat pulang. Juga saat sampai di rumah, dengan riang ia menceritakan kegiatannya di kantor kepada ibunya.
Sembari tertawa Gandi mengatakan bahwa kakaknya itu “Anak Mami” karena sifat manjanya dan selalu menempel pada ibunya. Ia juga menceritakan kejadian memalukan dan lucu yang menimpa kakaknya. Wah, adiknya malah menceritakan aib kakaknya padaku. Raut wajah Gandi tiba-tiba berubah suram saat hendak menceritakan kejadian yang merenggut nyawa kakaknya.
Sekitar dua tahun yang lalu, seperti biasa Angga pulang dengan menaiki bus yang selalu ia tumpangi setiap pulang dari kantor. Namun naas, bus yang ia tumpangi mendadak ditabrak oleh sebuah truk pembawa pasir dari arah berlawanan. Belakangan diketahui, penyebab terjadinya kecelakaan maut itu karena supir truk itu mengantuk dan tanpa sengaja menambah laju truknya sehingga sulit untuk dikendalikan.
Sekitar 9 orang tewas serta 8 orang luka-luka. Angga termasuk korban yang meninggal dunia akibat kecelakaan maut yang mengerikan tersebut. Ibunya tidak terima dengan kematian anaknya, ia sangat terguncang dan terus berharap bahwa anaknya tidak benar-benar tiada. Lambat laun Bu Erika semakin merasa kehilangan, ia tidak bisa beraktivitas seperti biasanya dan terus memanggil nama Angga.
Rasa hancur di hatinya semakin pedih ia rasa, untuk mengobati rasa pedih itu ia berfikir bahwa anaknya belum mati dan Angga masih bekerja di kantor. Hari ke hari, Bu Erika semakin dibayangi pikiran akan anaknya, sehingga ia mulai melupakan fakta bahwa anaknya sudah tiada. Bu Erika selalu melihat ke ambang pintu di jam-jam tertentu, menunggu kepulangan anak kesayangnnya.
Menunggu, menunggu, lalu menunggu. Bu Erika semakin tidak tahan menunggu kepulangan anaknya di rumah. Ia berinisiatif mencari Angga di kantor tempatnya dulu bekerja. Orang-orang yang bekerja di kantor ia tanyai satu persatu, semua mengatakan hal yang sama bahwa Angga sudah meninggal. Bu Erika tidak terima jawaban yang tidak ingin ia dengar, ia marah-marah dan mengamuk di sana.
Sejak saat itu Bu Erika dicap sebagai “Orang Gila” dan selalu diusir ketika ia memasuki kantor. Ia sangat keras kepala, berkali-kali diusir beberapa saat kemudian kembali lagi. Pihak kantor mulai menyerah dan membiarkan Bu Erika menunggu di depat kantor. Pihak keluarga Bu Erika juga berusaha untuk menyadarkannya akan fakta yang menyedihkan itu. Mereka mengajaknya ke psikiater, ‘orang pintar’, bahkan pernah dipasung.
Akan tetapi tidak sesuai harapan, keadaan mental dan fisiknya semakin memburuk sehingga keluarganya semakin tak tega memasungnya. Bu Erika dibebaskan berkeliaran dan keluarganya mulai berbohong dengan mengatakan sesuatu yang ingin didengar Bu Erika. Mereka memutuskan hal itu agar ia merasa ‘senang’.
Gandi mengatakan bahwa ia dan keluarganya sangat menyesal sudah menipu Bu Erika yang membuatnya semakin tenggelam dalam pikirannya, dalam halusinasi, dan dalam kebohongan. Ia berharap bisa memutar waktu dan membuat ibunya mengerti sejak awal, yah… walau hal tersebut tidak mungkin.
Aku mendengarkan ceritanya tanpa memotong sama sekali, aku terdiam dan tak tahu harus bagaimana. Aku menyesal sudah berburuk sangka pada wanita paruh baya yang hanya memiliki satu keinginan, yaitu melihat anaknya pulang. Aku bodoh, aku tidak punya rasa empati pada orang sepertinya. Aku berharap ia tenang di alam sana, bertemu lagi dengan anaknya dan tidak merasakan penderitaan lagi. Tenang di alam sana dalam damai.
Cerpen Karangan: Arini Blog / Facebook: Komang Arini