Hari Minggu, hari yang cocok sekali dipakai untuk para kaum rebahan untuk bersantai dan berleha-leha dengan tidak melakukan suatu apa pun. Hanya makan, tidur, bangun, dan ulangi lagi. Namun sayang, 24 jam setelahnya berganti menjadi hari Senin. Semua aktifitas akan kembali dilakukan seperti biasanya. “Fio! Bangun, nak. Kau sudah hampir terlambat untuk ke sekolah.” Seperti Senin pagi ini. Keseharian Fio akan berjalan seperti biasanya lagi. Dimulai dengan dibangunkan dari tidurnya.
Anak lelaki itu makin menenggelamkan dirinya dalam kehangatan selimut. ‘Kenapa setiap hari Senin menuju Minggu sangat lama, sedangkan hari Minggu menuju ke hari Senin hanya dalam sekejap mata. Sungguh tak adil.’ gerutunya dalam batin. “Hey, hey. Lihat ini sudah jam berapa? Dan kau masih bermalas-malasan di tempat tidur?” kini mamanya sudah berada tepat di depannya sambil berusaha menutupi selimut yang membungkus tubuhnya. “Hmm.., ma? Hari ini aku tidak ke sekolah boleh ya? Please…, hari ini saja.” ujar Fio. Wanda mendelik mendengar permintaan aneh anaknya. “Tidak. Hari ini kau akan masuk sekolah. Tak ada bantahan.” ujar Wanda tegas dan penuh penekanan. Nadanya tak ingin dibantah. “Huft.. baiklah.” Fio menghela napas pasrah. Ia bergegas turun dari ranjang dan menuju ke kamar mandi.
Butuh waktu 15 menit untuknya meyelesaikan mandi dan menggunakan seragam sekolah lengkap. Dengan langkah malas ia berjalan menuju ruang makan. Di sana ada sang mama yang menunggu untuk sarapan bersama. “Nah, sekarang duduk. Cepat habiskan sarapanmu, dan kita harus bergegas ke sekolah.” ujar Wanda. Fio duduk di kursi yang berhadapan dengan sang mama. Dan mulai menyantap sarapannya dalam diam.
“Kapan papa pulang?” tak tahan dengan keheningan sesaat, Fio membuka obrolan. “Dua hari lagi papa pulang.” Wanda menjawab. Fio mengangguk mengerti. Ayah Fio sedang dinas ke luar daerah. Jadi, hanya ada ia dan mamanya selama beberapa hari ini di rumah. Oh, dan bersama Bibi Chiara. Yang biasanya membantu mama mengerjakan pekerjaan rumah.
Setelah sarapan kedua pasangan ibu dan anak itu bergegas berangkat ke sekolah Fio menggunakan mobil. “Belajar yang rajin, jangan nakal di sekolah.” pesan mama Fio yang selalu dikumandangkan terdengar lagi. “Iya, ma.” Dan dijawab seadannya oleh Fio. Saat ini ia tengah menyalami tangan mamanya sebelum benar benar turun dari mobil. “Aku turun dulu.” Selepasnya Fio turun dari mobil dan berlari kecil masuk ke kawasan sekolah.
Fio masuk kedalam kelasnya. Kelas VI C, yang satu semester belakangan telah menjadi tempatnya mengais ilmu. Di dalam kelas sudah ada beberapa anak yang sedang bercerita. Fio terlalu acuh untuk mengetahui apa yang mereka bicarakan. Jadi, ia memilih duduk saja di tempatnya dan menidurkan kepala di atas lipatan tangannya pada meja. Sembari memejamkan mata, berharap dapat kembali membayar rasa ingin tidurnya walau hanya semenit.
“Astaga, apa kau akan tidur di sini?” Fio mendengus. Belum sampai 5 detik ada saja pengganggu yang merenggut waktu tidurnya. “Sepertinya begitu.” Fio menjawab tanpa mau mengubah posisinya. Membuat suaranya tenggelam dalam lipatan tangannya namun masih dapat terdengar oleh lawan bicara. “Apa semalam kau begadang?” lawan bicaranya masih mau mengoceh rupanya. “Tidak. tapi aku hanya ingin tidur, sebelum rencana bagusku harus gagal karena kau yang mengganggu, Alfan.” kali ini Fio menjawab sambil menatap temannya itu. Ia memandang malas temannya yang sedang tertawa kecil. “Kau tidak capek tidur ya?” ujar Alfan bergurau. “Tidak. Aku hanya ingin tidur, jangan ganggu.” dijawab singkat Fio. Baru saja ia ingin kembali ke posisi menelungkupkan seluruh wajahnya di tangan, tertahan dengan ucapan teman sebangkunya. “Kalau kau kerjaannya tidur terus, lama-lama kau akan menjadi seperti koala.” Dan Alfan kembali tertawa sendiri. Fio mendengus.
Namun dengusan itu berubah menjadi cengingiran bodoh saat ide brilian tiba-tiba terlintas di otaknya. “Fan, bolos yuk. Kita ke perpustakaan, di sana aku mau lanjut tidur-” perkatannya terpotong dengan jitakan main-main yang mendarat di kepalanya. “Apa-apaan itu? Kau mau terkena hukuman?” Alfan melotot. “Sshh.., kau tidak bisa santai ya? Lagi pula aku hanya mengajakmu, kalau kau tidak mau ikut tak masalah. Aku bisa pergi sendiri.” Fio meringis sembari mengusap kecil kepalanya yang dijitak tadi. “Jangan mencari masalah, Fio.” Alfan berucap serius. “Ck, kau berlebihan. Memangnya kenapa kalau sekali-kali bolos?” Fio menggerutu. “Kalau kau bolos, sama saja kau tak berniat sekolah. Artinya kau tak menghargai orangtuamu yang sudah berjuang mencari uang untuk menyekolahkanmu.” kata Alfan. Dan Fio tertegun. “H., hey, kenapa kau berkata serius begitu? Baiklah, aku tak jadi bolos kok.” Fio berkata sambil menggaruk tengkuknya yang Alfan taku sebenarnya tak gatal. “Pokoknya, bolos itu tidak baik.” Alfan menepuk-nepuk bahu Fio. ‘Kring.. kring..’ dan bersamaan dengan itu terdengar bunyi bel yang menggema di seluruh pelosok SD Bunga Harapan. Pertanda pelajaraan akan segera dimulai, siswa-siswi duduk tertib di bangku masing-masing dan menyiapkan diri untuk mendapatkan tambahan ilmu yang akan diberikan dari para guru.
Dan pukul 09 : 00 pagi tepat, bel kembali berbunyi. Waktu yang paling dinantikan Fio. Ralat, semua murid menantikannya, menantikan jam istirahat. “Oke, cukup. Sekarang kalian bisa istirahat.” ucapan Bu Friska membawa angin segar bagi Fio. Wanita berstatus guru Matematika itu melenggang pergi keluar dari kelas. Saat itu juga Fio menghela napas dan merenggangkan otot tubuhnya yang terasa kaku. “Aku ingin tidur.” ia bergumam sambil mememjamkan mata sesaat. “Kau benar-benar akan menjadi koala, Fi. Tidur saja maumu.” Alfan yang masih dapat mendengar gumaman pelan Fio berkata sambil menggeleng kepala, tak habis pikir dengan temannya yang satu ini. “Kalau aku koala, kau apa?” Fio melirik Alfan kesal. “Aku? Aku Alfan. Sahabat sehati, sejiwa, seperjuangan, sesekolah, sekompleks, senegara, sedunia, sebumi, segalaksimu.” Dan terdengarlah suara tawa Alfan bersama dengusan kecil dari Fio. Fio sampai berpikir bagaimana ia bisa berteman akrab dengan Alfan. “Eh, ke kantin yuk.” ajak Alfan begitu tawanya habis. “Kau yang traktir?” tanya Fio. Alfan nampak berpikir. “Baiklah, aku yang traktir. Tapi kau yang traktir minumannya, aku mau yang dingin-dingin.” Ujar Alfan. “Itu sama saja dengan kita saling mentraktirkan?” Fio berkata. Alfan nyengir. Fio merotasikan matanya malas.
Dan berkahrilah mereka makan bersama di kantin. Semangkok bakso dan segelas jus jeruk. Tidak buruk. Fio menikmati makannya. “Aduh Fi! Perutku.” tiba-tiba Alfan berujar sambil memegang perutnya yang terasa bergejolak tak enak. “Kau kenapa?” Fio mengernyit. Alfan seperti menahan sakit, ada butiran-butiran keringat yang bercucuran di sekujur dahinya. Wajah Alfan juga sedikit memucat. Membuat Fio beranggapan ia sedang sakit. “Perutku., sshh.., aku ke toilet dulu. Kau kembali saja ke kelas duluan kalau sudah habis makan. Bye.” dengan seribu langkah lebar Alfan menuju toilet. Tentu saja untuk menuntaskan hasrat alam yang bisa muncul kapan saja. Fio yang ditinggal hanya bisa geleng-geleng kepala. Merasa kasihan dengan temannya itu. Ia kembali melanjutkan makannya yang sempat tertunda.
Sekarang sudah waktunya semua siswa kembali masuk kelas dan kembali belajar. Namun, Fio masih melenggang santai menuju kelasnya. Ia terhenti di depan perpustakaan. ‘Tidak salahkan kalau aku masuk sebentar?’ begitu batinnya. ‘Ceklek..’ perlahan pintu perpustakaan dibuka. Ruangan dengan banyak koleksi buku itu sedang kosong. Suasana hening dan tenang. Nyaman sekali kalau digunakan untuk tidur. Dan Fio tergoda untuk duduk di salah satu kursi di sana. ‘Nyamanya..’ Fio membatin senang. Ia suka ketenangan. Duduk di perpustakaan dengan suasana tentram sangat nyaman tentunya bagi Fio. Ia meletakkan kepalanya di atas meja. Merasa tak nyaman, posisinya diubah menjadi lipatan tangannya dijadikan bantalan untuk kepala. Mata Fio memejam. Tak sampai 5 menit, ia sudah terlelap. Sejenak tertidur melupakan ceramah yang tadi dikumandangkan temannya.
Jam menunjukkan pukul 12 : 30 siang. Tandanya jam pelajaran sudah usai. Alfan gelisah sendiri, karena sedari pulangnya dari toilet ia tidak melihat Fio di kelas. Dan parahnya guru menyadari hal itu. “Alfan, kalau kau melihat Fio katakan untuk menemui ibu di ruangan ibu besok.” Pesan wali kelas VI C pada yang akan meninggalkan kelas Alfan. Alfan hanya dapat mengangguk. Bisa dipastikan Fio akan terkena hukuman karena sudah membolos kali ini.
Kini Alfan sedang berjalan menuju gerbang sekolah. Mau menunggu jemputannya. Tak menyangka sudah ada Fio juga di sana. “Fio.” panggilnya. Yang dipanggil menoleh. “Astaga, kau benar-benar sudah hilang akal.” Alfan berdiri di depan Fio. “Kenapa kau bolos? Haish.! Kau akan di hukum besok.” lanjut Alfan. Fio cengengesan. “Aku tidak tahu bisa tertidur di perpustakaan. Aku hanya berpikir untuk duduk di sana. Tapi ternyata suasana begitu mendukung untuk memejamkan mata. Dan aku langsung tertidur.” cerita Fio. “Apa pun itu, kau tetap bolos, Fio. Berdoalah semoga guru tidak memberitahu hal ini pada mamamu.” ujar Alfan. Tubuh Fio menegang. Ia baru ingat resiko membolos bisa saja sang mama mengetahui hal ini karena guru membocorkannya. “L., lalu? Aku harus bagaimana?” oke, sekarang Fio panik. “Ya, jalani saja. Kau yang berbuat, kau yang akan mendapat akibatnya.” Alfan menjawab. “Nah, lihat. Kita baru membicarakannya, mamamu sudah datang menjemput.” Alfan menunjuk ke arah mobil hitam yang terpakir di pinggir jalan. “Apa yang harus kulakukan?” Fio kembali bertanya. Sungguh ia panik. “Kan sudah kubilang, berdoa saja. Sana pulang.” Alfan menjawab lagi. Fio menarik napas dalam. Perlahan ia melangkah ke arah mobilnya.
Masuk ke mobil, yang pertama di lihat Fio adalah mamanya yang menatap Fio dengan pandangan yang sulit diartikan. Fio gugup. “Siang ma.” sapanya setenang mungkin. “Siang.” Wanda menjawab singkat dan mengalihkan pandangannya kembali ke depan. Bersiap menjalankan mobilnya kembali. Dan sepanjang jalan hanya ada keheningan. Fio mulai berpikir di tengah keheningan itu. Jadi mamanya belum tahu kalau dia bolos? Kenapa sejak tadi diam saja?
“Ma, kita mau kemana?” tanyanya berusaha mencari bahan obrolan. Saat ini memang mereka sedang melaju ke tempat yang tidak Fio tak tahu itu di mana. Yang pasti ia tahu ini bukan jalan menuju rumahnya. “Ikut saja. Sebentar lagi juga kita sampai.” Wanda berucap. Maka Fio mengangguk patuh. Benar kata mamanya, tak sampai 15 menit mereka telah sampai di tempat yang menjadi tujuan Wanda. Panti Asuhan Putri Kerahiman. Begitu tulisannya di papan yang tergantung pada dua tiang yang kokoh.
“Kenapa kita ke sini?” Fio bertanya heran. “Yuk, turun.” Dan bukannya menjawab, Wanda malah mengajak anak tunggalnya untuk turun dari mobil. Memilih untuk menurut, Fio ikut turun dari mobil. Mereka tak masuk ke dalam panti. Hanya menatap anak-anak yang sedang bermain bersama dari luar mobil. “Kenapa bolos?” mamanya bertanya tiba-tiba. Fio menelan ludahnya susah payah. Ternyata mamanya sudah tahu ia bolos hari ini. “Maaf ma..” Fio berujar pelan. Wanda tersenyum. “Lihat anak-anak di sana? Hidup mereka susah, dan mereka tak punya orang tua. Kau tahu, nak? Mereka tidak bisa bersekolah sepertimu. Bahkan untuk makan saja sepertinya sangat sulit.” Wanda berucap. Fio tak mengerti. “Maksud mama?” tanyanya bingung. “Kau punya segalanya. Punya orangtua lengkap. Bisa sekolah, dan tentu semua kebutuhanmu terpenuhi. Tapi apa yang kau lakukan? Kau malah bolos dari sekolah.” lanjut Wanda.
Oke, Fio perlahan mengerti dengan maksud mamanya. “Bagaimana menurutmu?” tanya Wanda. “Aku., kurang bersyukur dengan kedaanku sekarang..” Fio bergumam. “Di luar sana banyak anak-anak seperti mereka. Bahkan sepertinya kondisi mereka lebih buruk dan parah. Tapi lihat itu. Mereka masih bisa tersenyum kan? Mereka masih bisa bersyukur dengan yang mereka punya walau mungkin tak seberapa.” Wanda menambahkan. “Maaf ma. Harusnya aku bersyukur karena masih bisa sekolah. Bukannya malah malas-malasan untuk bersekolah, dan bolos seperti tadi.” Fio tulus meminta maaf. “Lain kali jangan diulang ya?” Wanda mengelus rambut anaknya pelan. Fio mengangguk mantap. Dalam hati ia berjanji tak akan mengulangi kesalahannya lagi.
“Nah, mama bawa mainan di bagasi mobil untuk anak-anak disini. Kau mau membagikannya untuk merekkan?” Senyum Fio merekah lebar. “Kenapa tidak?” ia balik bertanya. Siang Fio, dihabiskan bersama anak-anak di Panti Asuhan Putri Kerahiman. Ia banyak belajar bersyukur di sana. Bersyukur dengan keadaan dan segala yang ia punya sekarang.
~Tamat~
Cerpen Karangan: Jocelyn Noya