“Hah?? Mie lagi???” Aku menghela nafas berat diujung percakapan dengan Eyang Shilma di telepon. Sudah hampir seminggu aku menggantikan tugas ibu merawat Eyang Shilma. Dan aku merasa keheranan dengan selera wanita super kaya tersebut. Bagaimana tidak, di usianya yang sudah sangat sepuh, Eyang Shilma biasa meminta makan siang berupa semangkuk mie instan. Apa tidak masalah dengan kesehatannya? Mengingat usia dan pola makannya yang ajaib. Padahal jika aku jadi Eyang Shilma, aku akan meminta apapun yang enak-enak. Bukankah di istana megah ini disediakan koki segala?
Aku kembali meraih telepon dan kali ini memencet nomer ibu. “Assalamualikum, Bu. Ini Eyang Shilma beneran makan mie tiap hari??” Cecarku tanpa menunggu balasan salam dari ibu. “Waalaikumsalam, aduh kamu itu ganggu istirahat ibu aja!!!” suara ibuku di sebrang telepon terdengar tak suka. “Kamu tinggal masak ajaa ya, May!! Jangan lupa apa kata Ibu”
Lalu ibuku kembali menjelaskan beberapa aturan memasak mie untuk Eyang Shilma. Mienya harus matang sempurna, tambahkan sawi putih yang banyak, jangan lupa sebutir telur, dan yang terpenting bumbu cabai jangan sampai tertuang ke dalam kuah. Bisa berabe, kata ibuku.
Begitu ibu mengakhiri percakapan kami, aku segera memasak mie untuk Eyang Shilma sesuai intruksinya.
Lebih dari empat tahun ibu bekerja di rumah Eyang Shilma. Aku yang begitu lulus SMA langsung kuliah ke Kota seberang karena mendapat beasiswa, hanya mengetahui sedikit tentang Eyang Shilma dari ibu. Kata ibu, ia sangat menyukai pekerjaannya. Tidak banyak menguras tenaga seperti di rumah majikan sebelumnya. Ibuku hanya bertugas menemani Eyang Shilma dari pagi hingga sore. Namun karena Eyang Shilma begitu ramah dan merasa ada kecocokan dengan ibuku, Eyang Shilma kerap meminta ibu untuk menginap di rumahnya. Ada pun pekerjaan rumah ditugaskan pada seorang cleaning service yang datang setiap dua hari dalam sepekan.
Aku pernah meminta ibu untuk resign ketika semester tujuh. Saat itu aku sudah mulai bekerja di sebuah perusahaan sembari skripsian. Namun ibu menolak dengan alasan tak tega meninggalkan Eyang Shilma. Saat ini ibuku tengah sakit, asam uratnya kumat. Ibu minta cuti sebentar, dan menyuruhku yang sedang libur panjang untuk menggantikannya.
Semangkuk mie sudah kutata bersamaan segelas air putih di atas nampan. Lantas aku membawa nampan tersebut ke teras belakang. Di sana, dalam gazebo yang terletak di tengah taman, Eyang Shilma tengah menungguku. Senyum hangatnya memancarkan kesan tulus. Tak ada ceritanya Eyang Shilma rewel, cerewet dan bikin kesal. Wanita sepuh itu benar-benar baik seperti cerita ibu.
“Maya, kalau gak lagi sibuk temani Eyang makan mie ya!!” Aku yang tadinya hendak menonton TV, mengurungkan niat dan memilih duduk di hadapan Eyang Shilma.
Kepulan mie membumbung di antara kami. Aku jadi ingin tahu apa yang biasanya dilakukan ibu agar suasana tidak canggung.
“Kamu benar-benar seperti Ibumu, Nak” Ucap Eyang Shilma memecah keheningan. Aku memberikan senyum terbaik. Eyang Shilma mengambil sendok dan mulai mengaduk mie. Dicicipinya sedikit kuah dan menghirup aromanya dalam-dalam.
“Maya, tahu kenapa Eyang suka banget sama mie ??” Aku menggeleng cepat. Tidak mungkin kucandai wajah keriput itu dengan mengatakan bahwa ini tanggal tua, makanya Eyang makan mie. Tidak mungkin ada tanggal tua dalam kamus orang kaya bukan!!
“Karena mie adalah makanan paling mewah dan penuh cinta” tambah Eyang Shilma dramatis. Ahh bagaimana bisa mengatakan mie adalah makanan paling mewah sementara di luar masih banyak kampanye bahaya mie instant.
Melihatku kebingungan, Eyang Shilma meletakkan sendok dan melipat kedua tangannya di dada. Mata tua yang menyiratkan kesepian, seolah ikut berbicara padaku.
“Sebab dulu, jauh sebelum istana ini berdiri kokoh, jauh sebelum lidah ini mengecap pelbagai panganan enak, dan Eyang bersama anak-anak masih makan beralaskan tikar, semangkuk mie adalah kebahagiaan” Kulihat rintik air mata mulai turun di pipi Eyang Shilma. Suaranya bergetar, susah payah menahan sesak yang datang menyeruak.
“Satu mangkuk mie dibagi empat, sepintas memang tidak mengenyangkan. Tapi…” Ucapan Eyang Shilma menggantung di udara. “Anak-anak tetap tersenyum, gubug kami begitu hangat. Tidak seperti sekarang Nak Maya!!!” Tiba-tiba saja Eyang Shilma menangis kencang. Bahunya yang ringkih terlihat naik turun. Aku salah tingkah dan bingung harus bagaimana. Tanpa sadar, netraku ikut memanas. Bagaimana bisa??
“Sekarang ketiga anak Eyang sudah besar, sudah berhasil mendapatkan cita-citanya. Mereka udah bisa beliin Eyang rumah, udah bisa ngabulin semua keinginan Eyang” “Tapi semuanya hampa, apa tidak dosa jika Eyang berdoa saja agar Tuhan membalikkan keadaan seperti dulu” “Tidak apa-apa makan mie setiap hari asal bisa bersama mereka”
Ibu pernah cerita kalau semua anak Eyang Shilma sukses. Ada yang jadi tentara, jadi dokter, bahkan arsitek. Namun kata ibu, anak-anak Eyang Shilma nyaris jarang pulang dengan alasan yang sama, sibuk.
Tiba-tiba saja wajah ibu membayang di pelupuk mata. Masa tua namun kesepian, adalah hal yang menakutkan bagi siapa saja. Dan aku tak ingin itu terjadi pada ibu.
Kembali kulihat Eyang Shilma yang masih menggugu. Isak tangisnya sanggup mengiris kalbu.
Ibu… ohh ibuu… Aku menjerit dalam hati, bersumpah dengan lantang. Aku akan membawa ibu kemana pun kelak kaki melangkah.
Dari Eyang Shilma aku belajar, bahwa yang dibutuhkan tiap orangtua di usia senjanya adalah perhatian dan riuh tawa anak-anak yang mereka besarkan.
Cerpen Karangan: Girara Gee Blog / Facebook: Girara Gee Usuli