Kisah ini tentang duniaku yang tanpa suara bising kendaraan ataupun rintik hujan yang jatuh menerpa atap rumah. Terlahir sebagai tuna rungu membuatku harus menerima kenyataan pahit bahwa tidak semua kepala bisa menerima kehadiranku. Begitu banyak pertanyaan yang kutujukan pada Tuhan. “Kenapa aku tidak bisa mendengar nyanyian burung dipagi hari?” “kenapa aku tidak bisa mendengar suara ayah dan ibu?” “Kenapa duniaku begitu sepi?” semua pertanyaan yang hanya berputar di kepala tanpa pernah kutemui jawabnya. Hanya air mata yang dapat kupersembahkan pada dunia yang terkadang dalam perjalanannya tidak pernah sesuai dengan keinginan hati.
Namaku Ily. Aku, ibu, dan laki-laki sederhana yang kupanggil ayah tinggal di sudut kota Jakarta. Keseharianku sama dengan anak-anak lain. Mulai dari sekolah, belajar, dan bermain. Hanya sedikit yang berbeda dariku, yaitu pendengaranku yang tidak sempurna. Orang-orang di sekitarku sering memanggilku Si Tuli, dan tidak jarang dengan nada mengejek seolah kesempurnaan fisik adalah satu-satunya barometer sempurna di mata manusia.
Sejak kecil aku dibantu sebuah alat yang terpasang di telinga untuk bisa mendengar meski tidak bisa maksimal. Teman-teman sering mengejekku, bahkan wanita yang menghadirkanku ke dunia ini pun seolah tak menginginkan kehadiranku. Ayah lah satu-satunya yang menyayangiku dan memperlakukanku dengan sangat baik. Namun, kesalahan kecilnya membuatku kecewa dan pada akhirnya kehilangan rasa bangga.
Hari itu ditengah teriknya matahari yang membuat setiap orang enggan keluar rumah, aku berlari kecil menghampiri ayah. “Ayah, besok Ily harus membawa orangtua ke sekolah” ucapku menggunakan bahasa isyarat “Terus kenapa” sahut ayah. Lagi-lagi dengan bahasa isyarat aku mengatakan “Ily pengen ajak ayah, mau ya yah? akan ada perlombaan hari anak. Semua anak harus bawa orangtuanya ke sekolah. Nanti ada pentas seni loh yah”. “Ayah tidak bisa, ada jadwal lembur. Ajak ibumu saja”. “Aku ada meeting” jawab ibu singkat. “Ayah… ke na pa ti dak mau? Ily hanya pengen semua orang tahu kalau Ily punya ayah sehebat ayah. A yah Jahat” teriakku dengan suara yang mungkin tidak bisa tertangkap dengan baik. “Iya, ayah tau. Tapi besok ayah gak bisa. Lain kali ya anak manis”. Bujuk ayah. Aku hanya berlari ke kamar sambil menangis kencang.
Tiba-tiba mataku silau terkena cahaya. Ternyata sudah pagi. Mungkin rasa kecewa sudah berhasil membuatku tertidur semalam. Masih dengan pagi yang sama, silau tanpa suara kokok ayam atau nyanyian burung. Aku berangkat sekolah tanpa berjabat tangan dengan ayah dan ibu. Suasana hatiku masih kacau. Teman-teman diantar orangtuanya sedangkan aku berjalan sendiri tanpa ada yang menuntun tangan kecilku.
Aku diizinkan pulang lebih awal karena tidak ada wali yang mendampingi. Dengan wajah muram, aku masuk rumah tanpa mengucap salam. “Mau cokelat?” tanya ayah. “Tidak,” jawabku. Ayah mebuntutiku ke kamar dan mengatakan bahwa beliau ingin aku menjadi mandiri agar jika suatu saat ayah sudah tidak ada aku bisa hidup mandiri dan menghadapi semuanya sendiri. Aku hanya menangis, marah dengan perkataan ayah.
Sejak hari itu, malaikat pelindungku berubah menjadi monster menakutkan yang tidak lagi peduli padaku. Cambukan rotan langsung kudapat ketika melakukan kesalahan, seperti hari itu aku meminum jus yang dibuatkan ibu untuk teman kantor ayah. Aku memang tidak meminta izin dan langsung meminumya, ayah yang mengetahui hal itu naik pitam dan menyeretku ke kamar lalu mengambil seikat rotan memukulkannya pada jari-jariku hingga rembesan darah segar mengalir membasahi seprei kasur. “Ini hukuman untuk anak nakal Ily, lain kali jangan mengambil barang milik orang lain. Itu sama saja dengan mencuri” tegasnya sambil meninggalkanku di kamar.
Ibu lagi-lagi hanya mematung mendengarkan tangisku menahan sakit. Tak ada yang mengobati lukaku, aku menahan sakit sampai tertidur dan luka itu kering dengan sendirinya. Hal itu membuatku berpikir bahwa aku benar-benar tidak diinginkan, rasanya ingin kupercepat saja pertemuanku dengan sang pemilik alam.
Hingga sampailah aku pada batas kesanggupan. Terus menerus mendengar ejekan orang lain dan terus-menerus mendapat siksaan dari ayah. Kuputuskan untuk kabur dari rumah lewat jendela kamar, namun aku terpeleset dan kepalaku terbentur batuan. Ayah yang mendengar teriakanku segera menghampiri lalu membopongku menuju kasur, mengambil kotak P3K dan memarahiku dengan perkataan kasar. “Ayah jahat, kenapa ayah jahat? Ayah seperti monster. Kamu bukan ayahku, pergi. Tidak usah obati kepalaku.” Protesku sambil memukuli ayah. Ayah semakin emosi dan mendorongku, membenturkan kepalaku ke tembok hingga aku tak sadarkan diri. Masih sempat terlihat ibu berlari ke arahku dengan mata berair, sebelum mataku tertutup rapat dan semuanya gelap.
Badanku sakit semua, ketika bangun aku berada dalam ruangan dengan bau obat menyengat. Disampingku sudah ada ibu, yang kulihat sedang menangis. “Bu,” teriakku pelan “Ada apa?” jawab ibu gelagapan. “Ily boleh minta sesuatu? Izinkan aku mendengar kata cintamu bu, Ily hanya ingin mendengar bahwa ibu meyayangiku” ucapku lambat sambil menahan sakit. Tiba-tiba memelukku sembari membisikkan sesuatu. “Cepat sembuh sayang, ibu menyayangimu. Sangat menyayangimu”. Air mataku mengalir, selama 16 tahun aku hidup dalam ejekan ini pertamakalinya ibu mengungkapkan kata cintanya padaku. Doa yang sejak dulu kupanjatkan, meskipun pendengaranku tak sesempurna anak lain, aku ingin sekali mendengar kata cinta dari ibu. Hari ini, Tuhan mengabulkannya. Bahagia sekali rasanya.
Tiba-tiba napasku sesak, badanku menggigil, pandangaku buram. Samar-samar aku melihat dokter dan dua orang suster berlari kearahku dan ibu menangis disampingku, lalu semuanya gelap, sepi, sunyi, dan seberkas cahaya yang mengantarku bertemu sang Maha.
Cerpen Karangan: Anantara Niskala Blog / Facebook: Niskala’sDiary Namaku Anantara Niskala, kalian bisa follow Instagramku @refleksi_hati dan bleh mmapir ke spotify untuk dengerin podcastku ya namanya refleksi hati… boleh juga kunjungi blog aku namanya Niskala’sDiary.blogspot.com