Perempuan yang duduk bersimpuh di samping sebuah makam itu bernama Dara. Makam itu adalah tempat peristirahat terakhir mamanya, Malena. Sudah seminggu terakhir Dara mengunjungi makam setelah bubaran sekolah dan menangis sebelum pergi.
Hari ini Jumat, suasana makam cukup ramai dengan peziarah yang khidmat melantunkan doa-doa. Dara datang membawa sekuntum mawar merah, kesukaan mamanya dulu, masih mengenakan seragam pramuka. Seperti biasanya, ia membersihkan makam sebelum berdoa.
“Mama apa kabar? Baik-baik di sana, kan?” ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Dara udah besar, mah. Besok Minggu papa bakal nikah lagi, ma, tapi Dara engga mau punya mama baru.” Napas perempuan itu berantakan beriringan dengan air mata yang membasahi pipinya. Ada sebuah rasa kecewa terhadap papanya, tapi ia terlalu lemah untuk membantah keputusan mutlak itu.
“Dara pulang dulu ya, ma,” pamitnya beranjak keluar dari area pemakaman.
Sebuah mobil sedan hitam metalik sudah menunggunya sejak tadi. Dara menghapus air matanya, meyakinkan dirinya kalau semua akan baik-baik saja. Di dalam, seorang laki-laki yang mengenakan seragam senada siap dengan dua tangannya di kemudi.
“Nangis lagi?” datar laki-laki itu yang dijawab Dara dengan anggukan. “Langsung pulang?” “Terserah kamu, De, tapi jangan ke rumah.”
Mobil meninggalkan parkiran ke jalan utama. Berjalan lambat di lajur kiri, membiarkan sibuknya ibu kota menjadi pengalihan untuk kacaunya pikiran Dara. Ia tahu apa yang sedang dihadapi sahabat perempuannya itu, tapi tidak banyak yang bisa ia lakukan untuk saat ini.
Sudah lebih dari setengah jam mobil melaju tanpa tujuan. Tatapan Dara tetap kosong ke padatnya jalanan, seakan saut-sautan klakson kendaraan gagal membuat perempuan itu melupakan masalahnya. Mobil berhenti mengikuti warna lampu yang menyala merah.
“Kita makan dulu ya, kamu pasti laper.” Dara mengangguk, mengiyakan ajakan Deas.
Di sebuah restoran tempat biasa mereka bertemu, Dara duduk menenggelamkan wajah di lipatan tangannya. Duka kehilangan mamanya setahun yang lalu memang memudar, tapi kabar papanya akan menikah lagi membuatnya kecewa.
“Ditunggu ya, kak.”
“Jangan sedih mulu, udah aku pesenin kesukaan kamu tuh.” “Nasi goreng sama thai tea?” tebaknya sumringah. “Giliran kesukaan kamu aja moodnya langsung naik.” “Hehehe,” kekeh Dara. “Makasih ya kamu udah mau nemenin aku pas down kayak gini.” “Hm,” gumam Deas.
Pesanan mereka sampai di hadapan masing-masing. Deas memperhatikan Dara yang raut wajahnya berubah signifikan. Perempuan yang tadinya sedih menjadi lebih bahagia menikmati pesanan kesukaannya.
“Gimana kalo aku pergi dari rumah aja, De? Dengan gitu, kemungkinan papa bakal batalin pernikahannya.” “Engga usah aneh-aneh deh,” peringatkan Deas. “Kamu jalanin aja dulu, kalo ada apa-apa kan masih ada aku.” “Ah, kamu engga mau ngedukung sahabat sendiri gitu?” kesal Dara yang mulai tidak berselera makan. Nasi goreng miliknya hanya diacak-acak di atas piring dengan raut wajah yang memasam. “Aku tau ini berat buat kamu, tapi engga perlu bikin papamu khawatir,” yakinkan Deas. “Udahlah aku males sama kamu,” ucap Dara melangkah pergi. “Dara! Dara!” panggil Deas yang tidak berhasil membuat Dara menahan langkah. “Paling juga pulang tuh anak.”
Karangan bunga dengan ucapan “Selamat Atas Pernikahannya, Rama dan Marwah” terus berdatangan. Tinggal beberapa jam sebelum akad nikah dimulai, tapi Dara belum terlihat. Perempuan itu serius dengan ucapannya dua hari lalu di restoran. Raut wajah Deas cemas bukan main. Ia benar-benar takut terjadi apa-apa dengan Dara. Belum lagi selama ini Dara adalah perempuan yang manja.
“Deas, kamu serius engga ada tempat lain yang sering dikunjungi Dara?” cemas Rama, papa Dara. Deas mengingat setiap tempat yang pernah Dara kunjungi. Di ujung kebuntuan, ia teringat mereka pernah mengunjungi sebuah pantai yang tidak jauh dari sini. Sebuah pantai yang masih belum ramai dikunjungi wisatawan. “Saya ingat om, Dara pasti ada di sana,” ucap Deas sumringah. “Kalau begitu, cepat kamu susul dia,” perintah Rama. Deas mengangguk patuh kemudian berlari ke arah mobilnya.
Mobil melaju cepat, menyalip lincah di antara padatnya kota di akhir pekan. Tidak lama, mobil berhenti di dekat rumah penduduk. Ia semakin dekat dengan pantai itu. Dari kejauhan, seorang perempuan duduk merapatkan lutut di atas karang. Tatapannya lurus ke arah matahari yang mulai tenggelam.
“Dara!” teriak Deas menghampiri perempuan itu. Bukan, itu bukan Dara. Deas yang tadi senang berubah menjadi kecewa. Tapi bukan Deas kalau ia menyerah begitu saja. Deas berlari mengelilingi bibir pantai sejauh yang ia mampu. Setidaknya sebelum akad nikah dimulai.
Deas kembali ke acara pernikahan Rama dan Marwah. Ia kembali dengan tangan kosong, tidak berhasil menemukan Dara. Rama segera menghampiri Deas yang datang dengan lesu. “Dara mana?” tanya Rama cemas. Deas menggeleng memperbaiki irama napasnya. “Saya engga ketemu Dara di sana om. Maaf.” “Gimana, mas? Dara udah pulang?” cemas Marwah yang dijawab Rama dengan gelengan. “Terpaksa kita harus mulai tanpa Dara,” ucap Rama.
Tepat setelah saksi mengucap kata sah, Deas beranjak untuk ke kamar mandi. Pikirannya yang kacau sedikit membuat perutnya mual. Dara tidak mungkin melakukan apa yang ada di pikiran buruknya.
Selesai dengan urusannya di kamar mandi, Deas duduk di ruang tamu rumah Rama. Pernikahan memang diadakan di sana, Deas juga memiliki akses masuk yang bebas karena Dara adalah sahabatnya.
“Air putih aja, Bi,” pintanya ke bibi Erma, asisten rumah tangga Dara. Deas berharap secangkir air putih ini mampu sejenak meredakan pikiran kacaunya. Air putih itu habis dalam beberapa tenggukan, sedikit membuatnya tersedak. “Om sudah lapor polisi biar Dara cepet ditemukan,” ucap Rama yang datang menggandeng Marwah. “Kalau begitu, saya pamit pulang, om. Permisi.”
Mobil berhenti di depan gerbang setinggi orang dewasa. Seorang perempuan membukanya setelah beberapa kali Deas menekan klakson dengan penuh emosi. Dara memenuhi pikirannya saat ini, tidak biasanya perempuan itu menjadi keras kepala.
“Deas,” panggil seseorang. Deas yang baru saja duduk menghela napas, mengalihkan pandangannya. Mendadak matanya membulat sempurna melihat seseorang yang memanggilnya. Itu Dara. Deas menarik cepat tangan Dara. Di ruang tamu yang sepi, dua orang itu berpelukan erat. Deas terus saja meminta maaf karena membiarkan sahabatnya itu pergi.
“Kamu dari mana aja, sih?” tanya Rama. Dara menggeleng. “Aku mau kamu nyembunyiin aku sampai aku siap buat pulang,” pinta Dara. “Kamu harus pulang, Ra, papamu khawatir.” “Please, De, aku belum siap punya mama lagi,” ucap Dara dengan suara serak. “Mereka udah nikah,” ucap Deas. “Papamu juga udah lapor polisi buat nyari kamu.” Dara terduduk mendengar pernyataan Deas. Ia mengusap wajahnya kasar, kekacauan ini lebih dari apa yang ia ekspetasikan. Dara bahkan tidak berharap papanya akan melapor polisi.
“Sekarang gimana?” “Aku engga tau, De,” pasrah Dara. “Aku mau istirahat dulu.”
Sudah lama Deas mengenal Dara, jadi perempuan itu bebas keluar masuk ke rumahnya. Apalagi ia hanya tinggal bersama asisten rumah tangganya. Orangtuanya terlalu sibuk mengurus pekerjaan mereka yang selalu berpindah-pindah tempat.
“Bi!” panggil Deas. “Tolong bawain makanan ke kamar Dara ya.” Bibi mengangguk patuh kemudian menyiapkan makanan kesukaan Dara.
Sudah seminggu sejak Dara melarikan diri dan memilih menginap di rumah Deas. Kabar polisi yang sudah menutup kasus pencarian Dara melegakan perasaan Deas. Sekarang tinggal menunggu waktu kapan Dara siap untuk pulang. Dara yang sedang manja, menyenderkan kepalanya di bahu Deas mendengar berita itu. Deas pikir, mungkin ini waktu yang tepat untuk menanyakan kembali kapan Dara akan pulang.
“Kamu mau pulang kapan?” Dara berpikir sejenak, melepaskan sandarannya dari bahu Deas. “Aku bakal pulang, tapi kamu harus ikut.” “Jangan buat papamu khawatir lagi,” peringatkan Deas. “Dan kamu juga harus terima siapa pun mama barumu.” Dara hanya megangguk sambil terus memperhatikan kuku tangannya. Perempuan itu tidak menunjukkan kecemasannya lagi soal pernikahan papanya.
“Tumben cuek? Biasanya aja heboh sendiri kalau diajak pulang,” heran Deas. “Aku udah engga peduli sih, De,” ucap Dara santai. “Heh!” “Kenapa sih? Jangan bikin orang kaget deh,” kesal Dara. “Kita pulang sekarang!” paksa Deas yang mendadak menarik tangan Dara. “Deas, ih, sakit,” ringis Dara.
Di dalam mobil, terjadi sedikit keributan antara mereka. Deas yang memaksa Dara untuk segera pulang, dan Dara yang sebenarnya masih tidak mau untuk bertemu mama barunya. Deas terlalu sabar untuk Dara yang memuncak amarahnya selama perjalanan.
Mobil sampai di depan gerbang rumah Dara, tempat seharusnya perempuan itu tinggal. Dara disambut dengan suka cita oleh asisten rumah tangganya, bibi Erma. Setelahnya, mereka masuk dan sedikit bersantai di taman belakang rumah. Deas terus meyakinkan Dara yang khawatir mama barunya bukanlah orang baik.
“Aku janji, apa pun yang terjadi sama kamu, aku ada,” yakinkan Deas. Dara tersenyum, tapi tidak lama sampai orangtuanya datang.
“Dara,” panggil Rama. Rama memeluk anak satu-satunya sangat erat. “Kamu kemana aja, Dara?” tanya papanya setelah melepas pelukan. “Maafin Dara, pa, Dara cuma belum siap aja.” “Dara, kenalin, dia Marwah, mama kamu.” Dara menoleh ke perempuan yang mengenakan dress hitam. “Mama?” ucapnya menghampiri. “Iya, nak?” Dara memeluk erat perempuan itu. Membiarkan Dara menerima Marwah sebagai mamanya. Teduh tatapan Marwah menggambarkan bagaimana ia menerima Dara sebagai anaknya.
Setelah melepaskan pelukan yang penuh rasa haru itu, Dara menggandeng tangan Deas. “Inget Deas kan, pa?” “Tentu, dia yang berusaha nyari kamu,” jawab Rama santai. “Kenapa?” “Boleh aku pacaran sama dia?” tanya Dara sedikit ketakutan. Deas yang tidak siap untuk hal ini sedikit mencubit tangan Dara. Memberi perempuan itu kode untuk mengoreksi kalimatnya. Ia tahu Rama, papa Dara adalah orang yang terlalu protektif, apalagi mendengar kata pacar. Tubuh Deas lemas bukan main. Sekarang ia hanya berharap semua akan baik-baik saja setelah ucapan Dara barusan.
“Silakan, dia laki-laki baik,” ucap Rama menoleh ke Deas dengan tersenyum. “Makasih, pa,” ucap Dara penuh kebahagiaan. Deas merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Lebih dari setiap saat ia bersama dengan Dara. Deas tidak mampu menyembunyikan senyumnya yang merekah. “Ciee yang nyoba nutupin senyumnya,” ucap Dara mencubit pipi Deas.
Rama dan Marwah masuk ke dalam rumah, membiarkan mereka memahami satu sama lain. Biar pun Marwah adalah teman Rama sewaktu kuliah, tapi tetap saja perasaan mereka benar-benar berbeda setelah menikah. Apalagi ini pernikahan kedua Rama.
Di taman belakang rumah, Deas dan Dara bermesraan setelah menulis tanggal berpacaran mereka di catatan ponsel. Dara tidak berharap ada kata putus dalam hubungan ini, begitu juga dengan Deas.
Cerpen Karangan: Muh Faddlan Blog / Facebook: Muhammad Faddlan Restu Setiawan