Alkisah, berdirilah sebuah kastel terpencil yang biasa disebut kastil terkutuk. Sebuah keluarga kontroversial tinggal disana selama 9 tahun tepat saat anak pertama mereka lahir. Kehidupan tentram, bahagia, dan penuh canda tawa terhempas ketika anak kedua mereka lahir. Berita buruk muncul dari berbagai media yang mengatakan bahwa anak kedua mereka terlahir dari perjanjian iblis.
Selama 2 tahun, keluarga itu dibayang-bayangi oleh berita-berita tersebut. Kehilangan pekerjaan, anak pertama mereka yang sakit-sakitan membuat sang mama semakin membenci anak bungsunya. Mereka berpikir yang mendatangkan nasib buruk adalah anak bungsunya. Semenjak itu, sang bungsu selalu diperlakukan tak adil oleh orangtuanya.
“Victoria! Pergi ke kamarmu sekarang juga!” Seorang wanita berambut hitam panjang berteriak hingga urat lehernya terlihat karena melihat hal yang ia benci. Mata hazelnya membelalak ke arah seorang anak perempuan dengan kantung mata yang hitam. Langkahnya yang cepat membuat anak bungsunya melangkah mundur.
Plak! Ditamparnya pipi sang anak hingga meninggalkan bekas kemerahan di pipi halus anak bermata ungu tua. “Apa-apaan kamu ini, hah?! Lancang sekali mendekati Victoria ku,” bentaknya dengan tangan kanan yang menjambak rambut pirang anaknya. “Mama, maafkan Violet. Tadi kakak Victoria mengajakku bermain dan—”
Belum sempat anak perempuan bernama Violet itu menjelaskan kejadiannya, sang mama menyeretnya ke arah ruangan dengan penerangan yang minim. Violet meronta-ronta dengan tangisnya yang semakin kencang. Tangannya yang penuh luka lebam terasa perih saat mamanya menggenggam kencang pergelangan tangannya.
“Mama! Maafkan Violet, Ma. Mama, maafkan Violet,” rintih Violet saat sang mama mendorongnya masuk ke gudang bawah tanah milik keluarga mereka. “Cih, enak saja kamu itu. Ini hukumanmu karena sudah berani membuat Victoria seperti itu!” Mamanya meninggalkan Violet yang menitihkan air matanya deras dengan rasa sakit yang menyebar ke seluruh badannya.
Setiap hari pasti ia akan selalu merasakan betapa bencinya sang mama kepada dirinya. Ditampar, dipukul, dibentak, bahkan dikurung tanpa makanan menjadi rutinitas sehari-harinya. Sejak kecil dirinya dan sang kakak—Victoria diperlakukan berbeda oleh orangtua mereka. Violet tidak diperbolehkan oleh mamanya untuk bertemu atau berinteraksi bersama kakaknya.
Tak seperti kakaknya, ia selalu tinggal di rumah saat ada acara keluarga, Violet juga tidak diperbolehkan keluar rumah oleh papanya. Namun, Violet yang polos berpikir bahwa semua yang orangtuanya lakukan itu untuk kebaikannya. Ia selalu berusaha membuat orangtuanya memperhatikan dan menyayanginya layaknya sang kakak.
“Psst, Violet. Kau tak apa?” seorang anak perempuan berambut hitam bergelombang mengintip dari jendela gudang bawah tanah. Violet yang mendengar ada suara kakaknya segera bangkit dari duduknya untuk menengok sang kakak. Wajah penuh luka Violet yang tadi murung berubah riang dengan senyum hangatnya yang lebar.
“Violet, ada apa dengan wajahmu? Astaga, Violet apa yang terjadi padamu?” ungkap Victoria yang memegang wajah adiknya lewat jendela gudang yang terbuka. Violet menggelengkan kepalanya sembari mengusap tangan kakaknya yang halus, “Violet tidak apa-apa kak. Oh iya, kakak kenapa datang kesini? Nanti kalau Mama—” Victoria menutup mulut Violet sebelum melanjutkan kata-kata. Ia mengeluarkan sebuah obat oles dan beberapa plester luka. Tanpa berbicara, Victoria memberi air putih ke seluruh wajah adiknya dengan pelan-pelan dan telaten. Iapun mengolesi obat oles ke area luka dengan jari lentiknya. Violet meringis kesakitan sembari menatap kedua mata kakaknya.
“Terima kasih, Kak Victoria,” lirih Violet sembari menerima plester luka dari kakaknya. “Gunakan plester luka ini jika saat malam.” Victoria menggenggam tangan hangat adiknya setelah memberikan plester luka itu. “Dan ini, cemilan juga air minum untukmu,” lanjutnya sembari mengelus rambut kusut adiknya. Tak sadar, air mata menitih dari kedua mata biru tua Victoria. Air mata itu terjatuh mengenai tangannya yang mencengkram gaun putihnya. Sadar akan yang terjadi, Victoria langsung menyeka air matanya dan berdeham pelan. “Ya sudah. Jaga diri baik-baik, ya Violet.”
Setelah kepergiaan kakaknya, anak perempuan berkantung mata hitam itu memakan camilan dengan mata berair. Sedari tadi ia tidak tahan untuk mengeluarkan air matanya yang sudah penuh terbendung. “Kenapa menyakitkan sekali?”
6 tahun kemudian.. Setahun yang lalu tepat kepergian Victoria menempuh pendidikan di luar negeri. Setelah kepergiannya, Violet semakin menjadi pendiam dan penurut. Bahkan ia selalu menurut saat sang mama menyuruhnya berpura-pura menjadi pembantu ketika pesta malam yang diadakan oleh kedua orangtuanya bersama para kerabat. Namun, berbeda dengan papanya yang mulai bisa atau sering berbicara dengannya. Violet sering berbincang dan melukis bersama papanya yang juga berprofesi sebagai pelukis. Walaupun begitu, saat mamanya memarahi Violet pasti papanya saat ada acara di keluarga. Jadi, papanya tidak mengetahui perbuatan sang mama yang semakin menjadi setelah kepergiaan kakaknya.
“Violet! Cepat ganti bajumu, seperti kemarin!” teriak mamanya dengan gaun merah panjang penuh berlian. “Kenapa, Ma?” kepala Violet yang menunduk langsung terangkat saat mamanya membentak di depan wajah tirusnya. “Sudah, cepat sana. Tidak usah banyak omong, cepat!”
Melihat mamanya yang murka, Violet segera masuk ke kamarnya dengan air mata menetes membasahi sweather ungu mudanya. Iapun mengambil sepasang baju coklat lusuh yang berdebu dari lemari bajunya. Ditatapnya sepasang baju itu dengan wajah yang datar namun mata tetap meneteskan air mata.
“Heh! Kau tidur di kamar hah!?” suara teriakan mamanya dari lantai bawah membuat Violet terperenjat dan tanpa pikir panjang memakai baju coklat itu dengan rambut pirang dikepang satu.
Di lantai bawah, suara perbincangan beberapa orang terdengar jelas masuk ke kedua telinga Violet yang sedang berjalan menuju dapur rumah. Sepasang suami istri yang mengenakan pakaian berwarna serba merah, di tengah-tengah mereka seorang anak laki-laki bermata biru yang kira-kira sepantaran Violet terdiam tanpa mengeluarkan suara seperti kedua orang tuanya.
“Wah, begitu. Bagaimana kabar Victoria dan adiknya?” tanya sang istri yang tersenyum lebar ke arah mamanya. “Kabar Victoria sangat baik. Bahkan ia berhasil mendapat beasiswa di luar negeri,” jawab mamanya dengan kedua tangan yang membenarkan rambut hitam semirnya ke belakang telinga. “Begitu juga adiknya.” Lanjutnya singkat. “Jessie! Tolong ambilkan tiga gelas teh hangat!”
Jessie, itulah panggilan baru untuk Violet. Ia akan dipanggil dengan nama itu ketika berpura-pura menjadi pembantu disana. Violet yang merasa terpanggil segera berjalan menuruni anak tangga menuju ruang tengah. Kepalanya yang ditunduk hampir membuatnya terjatuh karena terlalu gugup.
“Hei nak, kau tak apa?” tanya sang suami pelan karena khawatir dengannya yang bisa dikatakan lusuh dan pucat. Violet hanya menganggukan kepalanya dan segera membuatkan teh untuk keluarga tersebut. Di ruang tengah, anak laki-laki berambut hitam arang menyenggol lengan ayahnya pelan. Alis kanannya yang naik membuat sang ayah mengernyitkan dahinya. “Dad, bukankah itu mirip Violet? Tapi, kenapa wajahnya lebam ya?” tanya anak laki-laki itu pelan setelah kepergian ibu Violet dan mamanya. Sang ayah yang mulai menyadarinya terdiam memikirkan perkataan anaknya, “Kau pasti salah liat, Arthur.”
Anak bernama Arthur itu menggelengkan kepalanya merasa bahwa ia tak salah liat. Ia dan Violet sudah mengenal sejak 10 tahun dan ia tidak akan salah mengenali gerak-gerik sahabatnya itu. Arthur yang penasaran berbohong alih-alih meminta izin untuk menyusul sang ibu, ia bergegas menemui Violet.
Ia terus melangkahkan kakinya menuju ruang perpustakaan atau ruang baca kesukaan Violet. Benar saja, ia melihat Violet duduk dengan kaki yang ditekuk menutupi wajah pucatnya. Arthur mendekati Violet yang nampaknya sedang tertidur pulas. Sedangkan Violet yang peka merasa ada yang mendekatinya langsung bangun dari tidurnya.
“Siapa kau?” Violet bergegas berdiri dari duduknya dan melangkah mundur memberi jarak dengan Arthur yang membelalakkan kedua mata birunya. “Kau tak kenal aku? Aku Arthur, teman lamamu,” ujar Arthur dengan kepala sedikit miring ke kanan. Dahi Violet yang mengerut terlihat jelas dengan kepala yang tak berhenti menggeleng-geleng, “Tidak. Sejak kecil temanku hanya Qwery dan Kak Victoria.” “Kau pembohong!” Violet mendorong bahu Arthur dengan kencang hingga laki-laki itu terjatuh ke belakang. Violet melarikan diri menjauh dari ruang baca dengan tangis yang tak henti-henti. Di tengah ringisan, Arthur mengusap kasar wajahnya. “Ada apa dengannya?”
Kemarin malam, Violet tak sengaja mendengar percakapan mamanya dengan keluarga asing itu yang membahas sang kakak, Victoria. Sedengarnya, Victoria akan pulang ke rumah karena masa liburnya yang baru dimulai. Ia harus mempersiapkan sebuah hadiah untuk kakaknya yang sudah ia rindukan. Sekelebat ide muncul ketika Violet bersenandung riang sembari berjalan mondar-mandir di meja belajarnya.
“Sepertinya ini akan menjadi hadiah terindahmu, Kak,” gumam Violet dengan kedua tangannya yang memegang sebuah kotak music kesukaannya dan sang kakak.
Cerpen Karangan: Lakshita Santika