Hari itu, papa dan mamanya pergi menjemput Victoria di bandara. Sedangkan Violet menjaga rumah dengan hati yang sangat bahagia. Wajah sumringahnya menatap pantulan dirinya dari kaca besar di pojok kamar classicnya. Gaun warna ungu bermotif bunga-bunga membuat dirinya tampak menawan dan pas dengan rambut pirang sepinggangnya yang dijepit oleh jepitan berbentuk bulan sabit.
Saat ia berputar-putar di depan cermin, suara klakson mobil orangtuanya membuat Violet berlompat-lompat kesenangan. Ia segera keluar dari kamar untuk menyambut kedatangan sang kakak. Terdengar jelas suara kakaknya yang sedikit memberat dan membuat Violet berhenti di salah satu anak tangga paling atas.
Seorang perempuan berambut hitam bergelombang yang mengenakan gaun hijau tua berjalan melangkah mendekati Violet yang terdiam. Senyum yang lebar menampakkan gigi rapinya yang putih. Sebuah kotak berwarna cream di tangannya kadang kala ditengoknya dengan bahagia. Akhirnya, ia tepat berada di depan Violet yang masih terdiam di tempatnya.
“Violet, ini aku Victoria,” sapa Victoria yang hendak memeluk adiknya yang sudah lama tidak berjumpa. “Tidak, kau bukan kakakku,” Violet menjauhi Victoria yang mengernyitkan dahinya. “Aku kakakmu, Violet. Kau mencoba bercanda denganku ya?”
Victoria yang sedang melangkah mendekati Violet malangnya terjatuh ke belakang karena Violet yang mendorongnya dengan keras. Victoria terjatuh dari anak tangga tertinggi hingga akhirnya berhenti di lantai bawah dengan kepala yang berdarah dan wajah memucat. Violet mengeluarkan air matanya deras dengan gigi yang menggertak.
“Kau pembohong! Kakakku bukan kau! Dasar pembohong!” Violet terduduk di anak tangga tertinggi dengan kepala yang menunduk dan tertutupi oleh rambut pirang panjangnya.
Kedua orangtuanya yang mendengar teriakan Violet segera memasuki rumah dan langsung disambut oleh tubuh Victoria yang sudah terkulai lemah. Darah keluar deras dari kepalanya yang membuat mamanya berteriak histeris. Papanya segera membawa Victoria ke rumah sakit terdekat sebelum terlambat. Namun, sang papa yang menyadari keberadaan Violet yang terus berteriak tanpa henti membuat hatinya pun teriris.
—
“James, bisakah kau memeriksa kiriman video ku?” ucap papa Violet yang sedang menggenggam ponselnya dengan tangan bergemetar. “Tentang Violet kan? Aku sudah membuat laporan tentangnya.” Suara dari laki-laki bernama James itu membuat wajah papa Violet memucat.
Suara notifikasi dari laptop berwarna silver di sampingnya membuat papa Violet menengokkan kepalanya. Sebuah email masuk dan tanpa basa-basi ia melihat laporan yang James buat. Layar yang semula putih sekarang menampakkan barisan kalimat tentang keadaan Violet yang membuat laki-laki itu membelalakkan matanya. Tak terasa air matanya menetes deras tanpa suara yang keluar. Ditutupnya laptop dengan pelan diikuti helaan napas gusar. “Kenapa sangat menyakitkan?”
Seminggu kemudian.. Tepat dua hari yang lalu, berita duka menyelimuti keluarga yang tinggal di kastil terkutuk itu. Victoria—anak sulung mereka dinyatakan meninggal karena pendarahan yang parah di kepalanya. Meninggal di umur 16 tahun membuat mereka sangat terpuruk. Mamanya sangat tersakiti dan sedih karena sang anak sulung yang meninggal karena ulah anak bungsunya. Ia semakin kasar terhadap anak bungsunya bahkan tubuh Violet yang semakin kurus. Berbeda dengan papanya yang mulai memperhatikan anak bungsunya itu.
“Violet, bagaimana keadaan hatimu sekarang?” tanya papanya yang sedang memberikan teh hangat untuk anak bungsunya itu. “Bermain bersama Qwery, Jessie, dan Sellie. Seperti kemarin, Ayah,” jawab Violet yang menerima teh dari papanya dengan tatapan kosong mengarah ke teh di cangkir.
Papanya yang mendengar perkataan Violet membuatnya mengernyitkan dahi. ‘Ayah’ sejak dulu Violet selalu memanggilnya Papa dan tiba-tiba memanggilnya Ayah. Namun, ia hanya mengganggukkan kepalanya dan mengambil ponselnya yang sedari tadi berdering. Ternyata, ia mendapat panggilan dari kantornya untuk urusan bisnis yang mengharuskan dirinya keluar kota.
“James, pantau dan jaga Violet,” ucap papa Violet yang sehabis menghubungi asistennya itu.
Malam tiba.. Papa Violet yang pergi ke luar kota membuat Violet kesepiaan. Ia tidak tau harus melakukan apa-apa. Bahkan ia merindukan Victoria yang belum pulang dari sekolah luar negerinya. Sejak kematian Victoria, Violet berpikir bahwa perempuan yang ia temui itu hanyalah orang lain. Ia tidak tau bahwa Victoria meninggal karenanya. Ditambah, saat hari pemakaman Victoria, ia dikurung oleh mamanya selama 5 hari dengan makanan yang hanya cukup untuk 2 hari.
“Mungkin menemui Mama untuk berbincang,” gumamnya sembari mengenakan sweater ungu mudanya dan segera bergegas menemui mamanya yang sedang menyiram tanaman di pekarangan rumah.
Namun, ternyata mamanya sedang terduduk di ruang tengah dengan tatapan kosong. Ia langsung mendekati mamanya dan duduk di sofa sebelah kiri sang mama. Tidak ada yang berbicara di antara mereka. Alih-alih mengajak berbicara mamanya, Violet sibuk bermain dengan jari kukunya yang digigiti. Sekelebat pikiran membuat Violet akhirnya mengeluarkan suara. “Mama, bagaimana kabar Kak Victoria di luar negeri?”
Mamanya yang menyadari keberadaan Violet yang tiba-tiba membahas mendiang anak sulungnya membuatnya naik pitam. Mata bulatnya yang merah disertai air mata membuat Violet merasa bersalah. “Apakah Violet—” “Dia sudah meninggal! Itu karena kau! Kau bukan anakku! Kau hanyalah iblis!”
Tanpa aba-aba, tangan Violet dicengkram keras dan menyeretnya ke gudang dekat kamar mendiang Victoria. Seperti dulu, Violet dikurung oleh mamanya tanpa makanan dan sekarang ia hanya bisa diam dengan air mata yang mengalir tanpa suara tangisan. Jiwanya sudah rusak sedari dulu.
6 hari berlalu.. Seorang laki-laki berbadan tegap dengan name tag James menelepon papa Violet yang sedang dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Tangannya yang bergemetar hampir membuat ponselnya terjatuh. Suara papa Violet terdengar jelas di telinganya.
“Violet kritis.” Kalimat yang membuat papa Violet mengendarai mobilnya cepat menembus gelapnya malam. Sekitar 2 jam lebih akhirnya ia sampai di rumahnya yang sangat sepi. Sehabis memarkirkan mobil, ia langsung memasuki rumahnya tanpa mengetuk pintu dan mendapati istrinya sedang tersenyum dengan alunan musik klasik di ruang tengah.
“Dimana Violet?” tanyanya yang mendapat balasan senyum lebar dari istrinya.
Hubungannya dengan sang istri memburuk setelah ia mengetahui keadaan jiwa Violet. Tambah memburuk saat ia mengetahui bahwa istrinya sering kali memukul Violet hingga keadaan anak bungsunya yang semakin parah.
“Kenapa? Dia sudah meninggal!” teriak sang istri yang diakhiri dengan tawa kencang. Disela tertawanya, tangan kanan penuh lukanya mengarah ke gudang dekat kamar mendiang anak sulungnya.
Ia segera berlari kencang ke arah gudang itu dan segera mendobrak pintu sekuat tenaganya. Dua kali dobrakan gagal dan dobrakan ke empat akhirnya berhasil. Kedua matanya terbelalak melihat anak bungsunya yang sudah terkulai tak bergerak dengan badan yang kurus. Wajahnya yang pucat membuat sang papa berteriak histeris. Tangan kering nan putih terlipat di perutnya dan terlihat sepucuk surat coklat yang terselip dengan tulisan tangan anak bungsunya itu. Diceknya Violet, yang sekarang tak ada deru napas, tak ada denyut jantung. Ia hanya bisa pasrah melihat anaknya yang bernasib seperti ini.
“Violet, kau sudah tidak sakit lagi kan?” lirihnya memeluk tubuh lemas anaknya yang sangat pucat. “Tuhan sayang Violet. Bahagialah disana bersama kakakmu.”
Setahun kemudian.. Setelah kematian Violet, papanya pindah keluar kota sedangkan mamanya ditahan di penjara karena melakukan kekerasan kepada anak dan percobaan pembunuhan kepada anaknya sendiri. Violet meninggal karena dehidrasi dan kelaparan, pada saat itu juga penyakit paru-parunya memburuk yang membuatnya sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Violet mengidap gangguan kejiwaan emosi, kepribadiaan ganda yang membuatnya kadang kala bersikap sangat berbeda seperti putus asa, dan memanggil nama Ayah, ia juga sulit mengenali wajah seseorang yang tidak dekat dengannya, seperti wajah sang kakak dan Arthur—teman masa kecilnya. Di akhir hayatnya, ia menulis sepucuk surat berwarna coklat lusuh yang berisi isi hatinya saat itu.
Mama, Papa, kakak Victoria.. Sakit rasanya melihat kalian berpergian melihat pemandangan indah di pantai. Sakit rasanya melihat kalian tertawa bersama rekan-rekan lain yang Violet tak kenali. Sakit rasanya melihat Kak Victoria yang bisa belajar di luar negeri. Memang sakit bahkan melebihi tamparan mama yang selalu mendarat di pipi Violet.
Violet hanya memiliki teman bernama Qwery, Jessie dan Sellie. Mereka selalu menemani Violet saat Violet dikurung berhari-hari oleh mama. Merekalah yang membuat Violet bahagia dan bebas. Mungkin ini takdir Violet, mungkin ini kehidupan yang cocok untuk Violet.
Violet mencoba untuk menerima semua perlakuan kasar mama. Bahkan hari ini, mama mengurungku lagi, tapi aku tak merengek seperti dulu. Violet sudah kuat, Papa. Violet sudah menjadi lebih baik, Kak Victoria.
Mungkin akhir seperti inilah yang baik untuk Violet. Mungkin ini lebih baik untuk Violet. Violet akan bertemu dengan Kak Victoria disana, bercanda bersama, bermain bersama. Tidak ada rasa sakit, tidak ada rengekan Violet yang membuat mama marah, tidak ada lagi suara tawa papa yang menyenangkan. Selamat tinggal mama dan papa..
Terima kasih untuk kasih yang kalian berikan..
Salam sayang penuh kasih Violet—Putri tersayang kalian
Cerpen Karangan: Lakshita Santika