“Wah ini bakalan mundur setengah jam lagi kemungkinan bunda, ayah belum juga pulang sampai sekarang padahal udah setengah jam lagi. Belum nanti ayah masih mandi dan siap siap juga” celetuk Ino yang sudah tidak sabar merayakan ulangtahun ayah. Apalagi dia sudah membuatkan puisi spesial untuk ayah. “Iya gapapa ya kita tunggu dulu, mungkin ayah sedang banyak kerjaan jadi sedikit terlambat pulang. Semuanya sudah siap kan untuk surprise ayah nanti?” Sahut bunda menenangkan Ino agar sedikit lebih sabar menunggu ayah pulang. “Sudah dong bun” kataku dengan cepat.
Sembari menunggu ayah pulang aku membuat teh anget dulu karena lumayan dingin udara malam ini. Di ruang keluarga kita berbincang-bincang untuk mematangkan rencana kejutan ulang tahun ayah nanti. Tak lama kemudian ponselku berdering ada telepon dari nomor ayah lalu kuangkat. “Halo yah, kok belum pulang. Kita jadi makan malam kan?” Buru-buru aku menginterogasi ayah “Iya nak. Iya bentar lagi ayah pulang, maaf terlambat karena banyak kerjaan tadi. Bilang ke adikmu untuk sabar ya” jawab ayah “Oke deh yah. Hati hati di jalan ya yah” kataku “Iyaa” jawab ayah lalu menutup teleponnya.
Kemudian aku memberitahu Bunda dan Ino jika ayah akan pulang secepatnya, ia pulang terlambat karena tadi banyak pekerjaan katanya. “Yeyy. Kita jadi makan malam di restoran kesukaanku” ucap Ino dengan penuh semangat “Iya sabar ya, kata ayah tadi suruh kita sabar sebentar nungguin ayah pulang. Mungkin sedang perjalanan pulang saat ini” sahutku
Semuanya sangat semangat menunggu ayah pulang untuk makan malam bersama hari ini. Karena ini momen sangat langka setelah ayah tidak bekerja di kantor lamanya. “Tapi kok sudah hampir tiga puluh menit ayah belum juga sampai” batinku, padahal biasanya aku pulang pakai angkutan umum saja cuma buruh dua puluh menit untuk sampai rumah. Aku mulai tidak nyaman dengan pikiran pikiran buruk yang ada di kepalaku. Tapi aku berharap ayah segera pulang dan Ino akan sangat senang, karena malam hari ini akan makan malam bersama di restoran kesukaannya. Dan tentu saja puisi yang ia tulis untuk ayah akan dia bacakan setelah tiup lilin nanti.
Tiba tiba ponselku berdering lagi dan panggilan itu dari nomor ayah. Sekarang bukan aku, melainkan Ino yang mengangkat teleponnya untuk memastikan malam hari ini jadi makan malam bersama. “Halo ayah. Ayah cepat pulang dong ino udah ga sabar makan malam bersama nih” dengan semangat ino mengangkat telepon “Halo selamat malam. Ini dengan keluarga bapak Suherman?” Sahut seseorang dalam panggilan itu namun bukan ayah kata Ino mengisyaratkan kepada kami. Lalu aku rebut ponselnya “Iya benar saya anak bapak Suherman. Ini siapa ya kok ponsel ayah dibawa bapak?” Sahutku dengan curiga. Namun tiba tiba panggilannya mati sebelum orang itu memberitahu apa yang sedang terjadi. Tak lama kemudian ada sms masuk dari nomor ayah, dengan cepat aku membuka SMS itu lalu membacanya. “Ada apa Vin ?! Kevinn!!” Teriak bunda kepadaku yang melihat tubuhku terdiam kaku setelah membaca pesan itu, aku tak sanggup memberitahu ini kepada bunda, apalagi kepada adikku Ino. Tak terbendung air mataku keluar deras dengan mulut yang tidak bisa berkata apa-apa, direbutlah ponselku oleh bunda dan dibacanya dengan pelan.
Selamat malam, saya dari Polsek buah batu mengucapkan belasungkawa atas terjadinya kecelakaan yang menimpa bapak Suherman. Informasi yang kami dapat dari saksi mata disekitar TKP bapak Suherman meninggal dunia setelah tabrakan dengan truk muatan di jalan buah batu. Saat ini tubuh korban sedang dibawa ke rumah sakit Ananda untuk dicek lebih lanjut untuk kami periksa.
Membaca berita itu Bunda sangat shock lalu pingsan. Begitupun dengan Ino yang tadinya sangat riang dan semangat ingin membacakan puisi untuk ayah, kini tubuhnya redup dengan air mata bergelimang sangat deras setelah mendengar kabar ini. Senyap, hening dan tangisan menyelimuti ruang keluarga ini. Masih tak percaya rasanya ayah meninggalkan kami secepat ini. Aku mulai menenangkan Ino dan berusaha menyadarkan bunda. Setelah semuanya sedikit tenang, aku langsung memesan taksi online untuk memastikan keadaan ayah sebenarnya.
Tak lama kemudian taksi online yang aku pesan sudah datang. Tanpa basa-basi kami bergegas pergi ke rumah sakit yang diberitahukan pak polisi tadi. Sesampainya di rumah sakit kami menuju ruangan yang begitu sunyi, sepi dan suasana duka di dalamnya. Dan ternyata benar tubuh ayah terluka parah dibagian kepala dan kakinya patah kata dokter, kami hanya bisa membuka sebagian kain saja dibagian muka. Melihat keadaan ayah seperti itu, pecah suasana ruang mayat rumah sakit Ananda ini. Ino menangis sejadi jadinya, bunda pingsan untuk kedua kalinya yang kemudian dibawa perawat ke salah satu ruangan untuk dirawat agar pulih keadaannya. Aku hanya bisa terdiam kosong dan memeluk Ino sangat erat. Dipikiranku berlalu lalang pertanyaan-pertanyaan yang entah siapa yang akan menjawabnya “jadi apa aku tanpa ayah?, jadi apa keluarga ini tanpa ayah?, kenapa ini terjadi pada ayah?, kini sayap kami patah sebelah. Entah bagaimana cara menyembuhkan luka yang kenyataannya tidak akan pernah sembuh”. Aku berusaha untuk tegar demi Ino dan bunda.
“Abang kenapa Tuhan mengambil ayah secepat ini… Tidak adil!” Lirih terdengar suara Ino menggerutu kepada keadaan “Ini tandanya Tuhan sayang banget sama ayah. Kita harus kuat, kita juga harus kuatkan bunda. Kita tumbuh sama-sama tanpa ayah Ino. Kita bisa” ucapku memenangkan Ino yang masih belum reda tangisnya. “Belum sempat meminta maaf kepada ayah, Abang. Puisiku belum ku bacakan didepannya secara langsung” mulai tenang, aku melepas pelukkan. “Simpan puisimu, kita bacakan doa saja ya” ujarku sambil merapikan rambutnya. Senyum simpul Ino perlihatkan kepadaku, lalu mengajakku untuk melihat kondisi bunda.
Keesokkan harinya tentu saja kami mengadakan upacara pemakaman untuk ayah dengan sangat hormat. Tetap masih belum percaya dengan ini semua, namun kami sudah berjanji untuk kuat menghadapi hari-hari tanpa ayah. Upacara pemakaman ayah dihadiri sanak saudara dan tetangga sekitar rumah. Semua memberi ucapan dukacita dan doa sembari menenangkan kami.
“Yang sabar ya Kevin, turut berdukacita… kalian pasti bisa ngelewatin ini semua bareng-bareng bundamu dan Ino” ucap om Richard menghampiriku “Iya om, makasih ya udah dateng. Udah ikut doain ayah juga” sahutku “Aku bangga sama kamu. Tegar sekali kamu dari tadi om lihat. Itu Ino masih bengkak matanya disebelah bundamu” timpal om Richard “Iya om makasih hehe” kataku kepada om Richard yang tidak tahu sama sekali keadaanku yang sebenarnya seperti apa. Kalau om Richard tahu bahwa diriku hancur sehancur-hancurnya, aku seperti mayat hidup yang kehilangan arah, aku yang kehilangan sosok panutanku selama ini. Kata bangga yang tadi diucapkan mungkin ditarik kembali.
Hari demi hari berlalu tanpa sosok ayah yang selalu menjadi benteng bagi kami. Mulai saat ini, kami mulai ikhlas dengan apa yang telah terjadi kepada ayah dan keluarga ini. Kami berjanji untuk saling menguatkan dan tumbuh bersama tanpa ayah.
Selesai.
Cerpen Karangan: Celvin Septyan Himawan