Mereka masih melanjutkan obrolan sambil menunggu Ibu memasak. “Ingat nggak Bu waktu itu dia pernah murung banget waktu habis lulus SMA mau lanjut kuliah? Waktu itu kita bertiga ngomongin bagaimana Putri lanjut kuliah apa nggak, disini kan waktu itu?” tanya Bapak sambil menunjuk ke tempatnya berada, ruang tengah, “Bapak kan bilang kalau kuliah itu Bapak nggak tahu sanggup apa tidak untuk biayanya. Posisinya waktu itu uang pensiunan Bapak juga sudah terpakai untuk rumah ini.” “Iya Pak, habis selesai itu dia nyamperin Ibu ke kamar. Dia cerita sambil nangis-nangis kalau dia pengin banget lanjut kuliah dan setelah itu mau jadi guru. Tapi ya mau bagaimana lagi biayanya belum cukup. Itu kita sempet mau cari hutangan kan?” balas Ibu sambil mulai menyiapkan dan memotong-motong sayur. “Itu Bapak juga merasa terpukul lo Bu, kasihan kalau dia nggak jadi apa yang dia inginkan hanya karena biaya. Tapi kalau kita ambil uang waktu itu memang bisa untuk awal dia masuk kuliah, tapi ya kedepannya nggak tahu. Untungnya aja ada beasiswa dari universitas itu dan Putri berhasil dapat beasiswa itu.” “Ibu juga selalu berdoa semoga dia dapat beasiswa itu, cuma itu cara yang mungkin untuk dia bisa lanjut kuliah.” Ibu mulai meracik bumbu untuk sayur sop yang akan dia buat. “Iya Bu, akhirnya dia bisa dapat beasiswanya. Tapi tetap aja kedepanya kita juga masih keteteran sama biaya yang lain-lain,” diakhir kalimatnya bapak menghela napas panjang dan sedikit menyandarkan tubuhnya. “Tapi Ibu tetap bangga sama dia Pak. Nggak sia-sia kita biayain dia. Ingat nggak waktu wisuda, itu Ibu seneng dan bangga banget ternyata dia bisa jadi lulusan terbaik. Ibu merasa pencapaianya itu juga pencapaian kita untuk wujudin cita-citanya. Ibu benar-benar merasa dia ini anak yang penuh tanggung jawab. Bangga Ibu liat dia.”
Bapak mendengarkan Ibu sambil memandangi foto-foto Putri yang dibingkai dan dipajang di ruangan tersebut. Terbesit dalam pikiranya sebagai seorang ayah, bahwa salah satu tugasnya adalah untuk mewujudkan cita-cita anaknya dan sebenarnya keinginan anaknya adalah motivasi terkuatnya untuk kerja keras mencari nafkah. Dengan suara lirih yang tersamarkan suara kompor dia berkata “Andai kamu tahu usaha dan perasaan bapakmu Put…put…”
Satu persatu langkah untuk membuat sayur sop dilakukan Ibu. Semua tinggal direbus dalam satu panci dengan nyala api sedang dan ia aduk dengan mengingat setiap kenangan dari sop-sop sebelumnya yang telah ia buat dan sajikan bersama dan untuk keluarganya. Bapak mengingat setiap jejak anaknya yang tertinggal disetiap sudut ruangan. Mereka melihat kebersamaan keluarga mereka bersama sang anak yang masih tertinggal di ekor mata. Ingatan dalam benak mereka mulai berputar seperti sebuah film, yang bercerita perjalanan mereka berdua sebagai orangtua dalam sebuah keluarga.
Melihat Putri belajar berjalan dan berbicara hingga sekarang sudah bisa melangkah dan berdiri sepenuhnya, melihat Putri belajar berhitung dan membaca hingga bisa lulus dari universitas ternama dan bekerja mendidik anak bangsa, melihat Putri yang masih dibedaki ibunya hingga mengenal make up penuh warna, melihat Putri bertambah dewasa hingga bisa memilih jalan hidupnya.
Seorang Ibu yang tulus membesarkan anaknya, seorang Bapak yang bertanggungjawab akannya, dan ketika sang anak akan menjalani hidupnnya sendiri, dalam hati mereka akan terasa kesepian karena salah satu warna dalam kehidupan yang membuat mereka hidup sebagai orangtua harus meninggalkannya.
Saat pandangan Bapak terarah pada bingkai coklat tua yang berisi gambar dengan latar belakang penuh bunga dan didepanya berjajar mereka berdua bersama Putri dan seorang laki-laki yang kini menjadi suaminya, mereka berdua terlihat bahagia dengan mengenakan pakaian yang anggun dan gagah. Bapak yang masih duduk di kursinya menghela napas panjang, seketika suasana menjadi hening.
“Buk, menurut Ibu bapak ini sudah jadi Bapak yang baik untuk Putri belum?” Ibu tidak langsung menjawabnya, ia hanya mengaduk sopnya dengan perlahan, mungkin ia memikirkan apa yang harus ia katakan. Suasana hening di ruang itu hanya diisi dengan suara nyala api kompor dan kemricik air yang di alirkan ke tangan Ibu. Disisi lain Bapak terlihat menegakkan posisi duduknya.
Selesai membaurkan tanganya dengan air dan mengusapnya hingga kering, Ibu berjalan menuju samping Bapak dan duduk di salah satu kursi di samping meja makan, yang mana posisinya hanya dua langkah di samping Bapak berada. “Pak, sebelum acara nikahan Putri sepertinya Bapak ngobrol bareng dia kan?” “Iya Bu,” jawab Bapak dengan spontan dan masih dengan tatapan ke arah foto di ruang tersebut. “Mungkin Ibu kurang tepat untuk jawab itu Pak…” Ibu nampaknya mengarahkan bapak pada suatu kenangan yang mungkin dapat menjawab pertanyaan Bapak tadi.
Seiring jawaban Ibu tersebut, mata Bapak terbuka lebih lebar dan Bapak telah menemukan titik temu dari arahan Ibu tadi. Dari dua pernyataan ibu sebelumnya Bapak mengingat dengan jelas suatu hal yang dapat menjawab pertanyaan yang mengganjal dibenatnya. Bapak mendongakan kepalanya keatas seakan tidak ingin air dari matanya turun. Ibu yang paham dengan keadaan itu memberikan ruang yang lebih luas untuk Bapak, dengan pergi kembali ke belakang kompor.
Bapak mengingat kembali saat saat dimana Putri akan menikah. “Dulu waktu rumah ini baru saja jadi, Putri pertama kali ngenalin pacarnya disini. Waktu itu Bapak hanya ketawa dan berfikir kalau itu hanya ‘cinta-cintaan’ ala anak muda. Terus sampai nggak terasa, setelah dua tahun mereka pacaran, Rudi datang ke Bapak dan bilang kalau mau ngelamar Putri. Waktu itu jam delapan malam dia datang sambil bawa martabak dan pas kebetulan Bapak yang bukain pintu. Sudah biasa, Bapak ngobrol bareng dia dan Bapak nggak nyangka kalau dia bilang mau ngelamar Putri.” Bapak menceritakan hal itu dengan begitu lugas. Perlahan ia kembali menundukan kepalanya dan melanjutkan ceritanya.
“Bapak waktu itu cuma bisa jawab, ayo ajak keluargamu, kita ketemu. Setelah itu, malamnya Bapak mulai sadar kalau bayangan anak kecil yang kita gendong dulu, sekarang sudah bisa berjalan. Putri sudah dewasa dia mau nglampahi hidupnya sendiri. Sebenarnya Bapak merasa senang akan hal itu, tetapi disisi lain Bapak juga takut saat akan melepasnya. Memang itu salah, seharusnya sebagai orangtua Bapak tahu kalau itu sudah merupakan haknya. Tapi…” seiring kalimatnya Bapak terlihat mengusap dan menahan posisi tangan di kedua matanya, “tapi Bapak juga tidak tahu apa yang akan dihadapi burung ketika lepas dari sangkarnya. Mungkin itu juga terjadi pada kita kan Bu? Kita sudah tahu bagaimana kerasnya hidup itu, dan kita pasti ingin hidup anak kita lebih baik dari kita bukan?” “Hingga sampai saat dia bilang kalau dia mau menikah. Sekali lagi Bapak merasa senang akan hal itu, Bapak membayangkan kita dipanggil kakek dan nenek, lalu kita gendong cucu kita, kita ajak main di halaman, dan kita akhirnya punya keluarga besar kita sendiri. Tetapi sekali lagi juga Bapak harus menguatkan hati Bapak dan mungkin kali ini Bapak harus benar-benar percaya kalau itu sudah pilihan hidupnya.”
Seiring dengan ceritanya itu, badan Bapak semakin tertunduk dan kerap kali ia memejamkan matanya untuk sesaat. Ibu yang melihat hal itu mencoba mengecilkan api kompornya dan berjalan menuju samping Bapak dengan menyeret sebuah kursi dari meja makan tepat ke samping Bapak. Ibu duduk disampingnya mengelus-ngelus punggung Bapak sambil berkata, “Memang sudah sepantasnya Pak, seseorang memilih jalan hidupnya sendiri. Memang benar kita ingin anak kita mendapat hidup yang lebih baik dari kita dan kita ingin kepastian akan hal itu. Tetapi kalau dia tidak bisa memilih dan menjalani hidupnya sendiri, apakah itu berarti kita memberikan kehidupan kepadanya? Ibu tahu Pak, apa yang Bapak pikirkan. Setegas-tegasnya jenderal, apakah dia tega mengizinkan anaknya ke medan perang.” Ibu mencoba menenangkan gejolak yang kembali Bapak rasakan.
Mendengar perkataan Ibu, Bapak semakin kuat menahan kedua matanya yang tertutup agar air matanya tidak turun dan agar terlihat tegar sebagai laki-laki dihadapan istrinya. Tapi mau bagaimana lagi, seperti perkataan ibu tadi ‘Setegas-tegasnya jendral, apakah ia tega mengizinkan anaknya ke medan perang’. Bapak tidak bisa menahan bendungan air mata yang sedari tadi ia tahan, air mata yang bersumber dari memori bahagianya itu mengalir membasahi keriput-keriput di wajahnya.
Bapak dengan perlahan mengusap mata dan hatinya agar kembali bisa terlihat gagah sebagai seorang laki-laki dihadapan istrinya. Bapak kembali menegakkan badannya dan disaat yang bersamaan Ibu melepaskan usapan tangannya dan berkata, “Apa yang dilakukan Putri juga sama dengan apa yang kita lakukan dulu Pak, dan apa yang kita rasakan sekarang mungkin sama seperti apa yang orang tua kita dulu rasakan. Menurut Ibu ini hanya masalah waktu dimana seseorang akan menjadi cukup dewasa untuk memilih hidupnya. Putri hanya sedang menjadi apa yang Putri ingikan,” ucapan yang teramat bijak dari Ibu nampak benar-benar mengukuhkan hati Bapak.
Bapak menghela napas berat dan berkata, “Bu, mungkin jawaban dari pertanyaan Bapak tadi sudah pernah Bapak dengar. Waktu itu sebelum ijabnya Putri, Bapak sempet nemui Putri di kamarnya sehabis ia dandan. Bapak waktu itu cuma mau bilang untuk cepat keluar dan saat itu sambil berjalan keluar Putri meluk Bapak dan bilang kalau Putri benar-benar bersyukur besar dari kita dan dia bilang terimakasih untuk itu, dia juga memohon maaf karena tidak akan pernah bisa menggantinya. Bapak menjawabnya dengan bilang, ‘Bapak tidak mengharap balasanmu Put karena ini memang sudah jalanmu, nanti kamu akan menghadapi hidup bersama suamimu bukan lagi bapak ibumu. Tapi yang penting dan yang Bapak pengin tetap ingat sama kami, jangan lupa nanti kalau sudah punya rumah sendiri sowan kesini.’ Setelah itu secara sah tanggung jawab Putri sudah bukan lagi ditangan Bapak tapi sudah ditangan suaminya. Bapak nggak akan pernah lupa itu Bu.”
Tatapan Bapak mulai kembali kuat dengan hal itu. Sekarang suasana menjadi sangat hangat dan mesra. Bapak kembali melihat foto mereka pada saat pernikahan Putri, mungkin tanpa ia sadari senyum tipis terlukis dibibirnya dan kepalanya mengangguk-angguk menyiratkan kebahagiaan dalam dirinya.
Tiba-tiba Bapak dengan cepat menepuk paha Ibu yang berada disampingnya dan berkata dengan nada yang mengejutkan, “Hehh Bu, itu sudah selesai belum?” “Ohh iya, bentar lagi selesai itu Pak, buatin kopi lagi apa nggak?” ucap Ibu yang beranjak dari tempatnya menuju belakang kompor. “Iyaa, gulanya tambahi satu sendok ya Bu,” pinta bapak. “Kenapa? Biasanya aja kopi rasanya cuma pait kaya kopinya dukun, kok sekarang minta tambah gula.” “Halahh.. wes to,” pungkas Bapak. Ibupun segera merebus air dan menyiapkan kopi untuk Bapak, serta menyiapkan masakanya yang sudah selesai.
Mungkin hanya seperti ini yang bisa mereka lakukan di hari tua untuk mengisi kesepian mereka. Mengingat saat-saat dimana putri kecilnya beranjak dewasa. Mengaduk-ngaduk memori hingga terlarut didalamnya. Di rumah yang kini hanya ada mereka berdua, hari tua mereka habiskan dengan bercengkrama setiap harinya. Walaupun terasa lebih sepi dari saat mereka disana sebagai satu keluarga.
Untuk hari ini sayur sop masakan Ibu yang hangat sudah siap walaupun dengan sayur yang kurang lengkap dan warnanya yang tidak seramai biasanya.
Cerpen Karangan: Adhivana